Jakarta (ANTARA News) - Seorang pria bertubuh kekar, berdiri tegap menatap tajam satu bajai yang memaksa maju melintas, berulang kali ia meniupkan peluit sambil menghalaukan tangan. Tujuannya jelas, agar bajaj itu tidak merangsek memaksa maju ke balik palang kayu yang sudah terpasang.

"Awas, awas kereta lewat…!!," Widodo berteriak. Dia seorang petugas penjaga pintu perlintasan kereta api Stasiun Pasar Senen; harus sering berteriak mencegah pengemudi mobil, motor, bajaj, dan manusia yang tidak mau peduli atas resiko melanggar palang itu. Bajaj bengal itu contohnya, tidak mau mengindahkan rambu lalu-lintas penting itu.

Tidak berapa lama bajai itu melintas, satu rangkaian kereta api commuterline jurusan Jakarta Kota-Bekasi melintas cepat sambil membunyikan pluitnya yang melengking tinggi. Rangkaian kereta api di Indonesia, biasanya terdiri dari delapan atau 12 gerbong, dengan kecepatan jelajah rata-rata 60 hingga 90 kilometer per jam.

Untuk tahu resiko jika sampai tertabrak lokomotif, gampang saja. Bayangkan saja ditabrak besi padat seberat 40 ton yang melaju dalam kecepatan 70 kilometer per jam di atas dua rel besi. Rel selebar 110 sentimeter itu terpasang mantap dengan selisih ketinggian sampai setengah paha orang dewasa; artinya kalau sampai panik dan ingin lari ke samping, masih ada resiko tersangkut.

Menurut perhitungan matematis yang sudah terbukti di lapangan, untuk bisa menghentikan satu rangkaian penuh kereta api dari kecepatan 70 kilometer per jam sampai benar-benar berhenti, bisa diperlukan jarak pengereman hingga ratusan meter. Jadi, bukan langsung berhenti begitu rem ditarik!

Bukan hal jarang sebetulnya mendengar atau mengetahui ada kecelakaan mobil atau bis atau manusia tertabrak kereta. Kecuali orang itu sakti mandraguna tidak mempan dilindas kapal laut, bisa dipastikan mereka mati seketika dalam keadaan hancur-hancuran.

Sudah begitupun, masih saja banyak orang tidak mau tahu bahwa dia bisa mati hanya karena tidak sabar menunggu kereta api lewat.

Betapa sia-sia sekali pilihan seperti itu.

"Ya gini Mas. Susah! Orang Indonesia, walaupun alarm sudah berbunyi dan pintu palang ditutup, tetap saja maksa masuk. Nanti kalau ada apa-apa siapa juga yang kena," kata pria usia 32 tahun itu.

Widodo salah satu dari ratusan petugas penjaga pintu perlintasan kereta api dalam jajaran PT Kereta Api Indonesia. Laiknya pelayan publik, dia terkena aturan piket kerja, tidak peduli bahwa itu hari Lebaran dan dia seorang muslim yang juga ingin bershalat Ied plus mudik ke kampung halaman dengan segala suka-citanya.

"Sedih juga sih, tapi mau gimana lagi, sudah kewajiban," kata pria dari Magelang, Jawa Tengah, itu. Pos jaganya seperti "dikepung" kendaraan yang menyemburkan asap ditambah kebisingan dan debu. Masih bagus dia tidak sakit-sakitan bekerja di lingkungan seperti itu.

Di pos tugasnya itu, dia hanya sendirian. Tidak ada "ornamen" atau penganan khas Lebaran, bahkan sekedar semangkuk opor ayam atau ketupat sayur. Dia tidak bertutur, di mana dia menunaikan shalat Ied kali ini.

Kesedihan Widodo bertambah lengkap di bulan penuh fitri ini karena ia hidup sebatang kara di Jakarta, lantaran istri dan sanak keluarga tinggal di Magelang. Dia pernah membujuk istrinya untuk pindah ke Jakarta tapi sayang istrinya tidak mau pergi dari kampung halamannya karena memiliki usaha catering makanan.

Untuk melepas rindu dengan istri tercintanya, dia akan meminta ijin cuti September nanti. PT KAI, melalui atasannya, hanya memberikan ijin cuti paling banyak selama tiga hari, itu pun hanya selama lebaran. Jika hari-hari biasa, dia hanya mendapatkan ijin cuti sehari dalam tiga bulan sekali.

"Bayangkan Mas, ketemu istri cuma sehari doang dalam tiga bulan sekali," katanya.

Untuk menghilangkan rasa penatnya itu, dia lebih memilih bermain ke dalam stasiun dan bersenda gurau dengan teman-temanya di pos penjagaan.

"Saya punya hoby bersepeda, tapi itu dulu di Jawa," katanya.

Tiba-tiba, Widodo menghentikan pembicaraan dengan jari telunjuk menempel ke mulut sebagai tanda untuk diam sejenak. Telepon pos penjaga berdering dan memberitahu ada kereta api yang akan masuk di jalur tiga.

Dia lantas berdiri dan memutar sebuah tombol merah untuk menyalakan alarm dan menutup palang pintu, lantas dia menelepon pengawas pusat. "Pintu tiga aman," katanya. Saat-saat seperti itu adalah saat menentukan bagi mereka, salah mendengar atau memberi keterangan sebagai respons, bisa berbahaya sekali.

Tak heran, bagi penjaga pintu KA karena mereka membutuhkan konsentrasi dan pendengaran yang tajam, mengingat suara perintah di telepon itu tidak begitu jelas dan mereka harus mendengar dengan seksama setiap pesan yang masuk, walaupun pekerjaannya terlihat sepele hanya menjaga pintu KA.

Penjaga palang pintu di KA Senen terbagi menjadi empat gilir jam kerja, setiap gilir kerja terdiri dari enam jam sehingga ada empat orang petugas yang menjaganya. Dalam sehari, mereka harus menjaga 570 KA api yang lewat di pintu perlintasan Stasiun Pasar Senen.

"Ada 570 kereta yang lewat tiap hari," katanya yang telah mengabdi sebagai penjaga palang pintu KA sejak sembilan tahun yang lalu. Ternyata banyak sekali rangkaian kereta yang lewat di sana.

Widodo punya kenangan manis sebagai petugas penjaga palang pintu KA. Selain boleh naik kereta gratis, dia bisa ketemu dengan pejabat-pejabat pemerintah asing seperti duta besar China yang pernah menginspeksi sistem perkeretaapian Indonesia.

Dia pun sangat mengharapkan suatu saat nanti Presiden Soesilo Yudhoyono mengunjungi pos penjagaannya. "Pengennya sih, Pak SBY yang datang," katanya, yang tiga tahun sebelumnya menjaga palang pintu Setasiun Jatinegara.

Namun tidak enaknya, selain waktu cuti yang sangat singkat, banyak kendaraan seperti Metro Mini dan Bajai yang bandel masuk perlintasan KA bahkan ada pintu perlintasan KA yang terbuat dari besi rusak karena ditabrak Metro Mini. Hingga detik ini, pintu perlintasan itu belum diganti malah ditambal bambu panjang.

"Pernah dulu ada bajai yang nyolong masuk langsung diseret kereta api. Jika mereka para pengemudi masih bandel, ya itu salahnya," katanya yang ingin menjadi petani ketika pensiun nanti.

Yang terpenting, kata Widodo, seorang penjaga palang pintu KA harus menyalakan alarm, lalu menutup palang pintu dan memperingatkan pengemudi kendaraan dengan peluit.

Dia mengharapkan PT. KAI meremajakan teknologi alat penutup palang pintu KA dengan alat yang otomatis seperti alat palang pintu KA di negara maju.

Dia melihat penanganan pemudik tahun ini sangat bagus dibanding tahun kemarin. Jika tahun kemarin banyak pemudik yang berjubel naik kereta api lantaran tidak mendapatkan tempat duduk, maka penanganan mudik tahun ini, PT KAI lebih ketat dan hanya yang memiliki tiket yang bisa naik KA.

Mungkin, Widodo salah satu kisah yang terlupakan dari sekian banyak petugas pelayanan publik di negeri ini yang harus meninggalkan keluarga tercinta mereka untuk bertugas. Tugas merekapun bukanlah tugas mudah karena lengah sedikit nyawa orang taruhannya. (*)