Kejagung segera menaikkan kasus Krakatau Steel ke penyidikan
3 Maret 2022 21:54 WIB
Arsip - (Dari kiri ke kanan) Wakil Menteri BUMN Kartika Wirjoatmodjo, Dirut Inalum Orias Petrus Moedak, Dirut Krakatau Steel Silmy Karim, dan Dirut Pupuk Indonesia Bakir Pasaman saat menandatangani nota kesepahaman pemberantasan korupsi bersama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Jakarta, Selasa (2/3/2021). ANTARA/HO Kementerian BUMN.
Jakarta (ANTARA) - Penyidik Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung segara menaikkan status perkara dugaan tindak pidana korupsi proyek pembangunan pabrik “blast furnace” PT Krakaau Steel ke tahap penyidikan.
Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung Supardi mengatakan pihaknya sudah berkoordinasi dengan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) untuk menentukan potensi kerugian keuangan negara dalam kasus tersebut.
“Yang jelas kami sudah ke BPKP, semacam sudah ada kesepakatan clear akan naik ke penyidikan. Jadi kami sudah ada diskusi, sudah clear,” kata Supardi saat dikonfirmasi di Jakarta, Kamis.
Saat ini proses hukum terhadap perkara tersebut masih dalam tahap penyidikan. Penyidik telah menemukan adanya peristiwa pidana, sehingga dalam waktu dekat akan ditingkatkan ke tahap penyidikan umum.
Sementara itu, koordinasi yang telah dilakukan penyidik Jampidsus dengan BPKP, sehingga dalam waktu dekat Jampidsus Kejagung akan mengumumkan kerugian rill terkait perkara tersebut.
Sebelumnya dalam konferensi pers pada Kamis (24/2) lalu, Jaksa Agung ST Burhanuddin menyampaikan pada awalnya proyek pembangunan pabrik Blast Furnace (BFC) tersebut dilaksanakan oleh Konsorsium MCC CERI (asal China) dan PT Krakatau Engineering sesuai hasil lelang tanggal 31 Maret 2011 dengan nilai kontrak setelah mengalami perubahan adalah Rp6,92 triliun.
Kontrak tersebut telah dibayarkan ke pihak pemenang lelang senilai Rp5,3 triliun, namun demikian pekerjaan kemudian dihentikan pada tanggal 19 Desember 2019 padahal pekerjaan belum 100 persen dan setelah dilakukan uji coba operasi biaya produksi lebih besar dari harga baja di pasar. Selain itu, pekerjaan sampai saat ini belum diserahterimakan dengan kondisi tidak dapat beroperasi lagi.
PT Karakatau Steel membangun Pabrik Blast Furnace (BFC) dengan menggunakan bahan bakar batubara agar biaya produksi lebih murah. Pembangunan proyek tersebut menggunakan bahan bakar gas sehingga memerlukan biaya yang lebih mahal.
Menurut Supardi, pabrik peleburan tersebut tidak bisa dioperasikan, karena akan mengeluarkan biaya tinggi.
“Tidak bisa beroperasi, kalau dipakai high cost tidak bisa bersaing,” ujarnya.
Baca juga: Anggota DPR dukung Kejaksaan usut dugaan korupsi Garuda-Krakatau Steel
Baca juga: KPK terima aduan dugaan korupsi di PT Krakatau Steel
Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung Supardi mengatakan pihaknya sudah berkoordinasi dengan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) untuk menentukan potensi kerugian keuangan negara dalam kasus tersebut.
“Yang jelas kami sudah ke BPKP, semacam sudah ada kesepakatan clear akan naik ke penyidikan. Jadi kami sudah ada diskusi, sudah clear,” kata Supardi saat dikonfirmasi di Jakarta, Kamis.
Saat ini proses hukum terhadap perkara tersebut masih dalam tahap penyidikan. Penyidik telah menemukan adanya peristiwa pidana, sehingga dalam waktu dekat akan ditingkatkan ke tahap penyidikan umum.
Sementara itu, koordinasi yang telah dilakukan penyidik Jampidsus dengan BPKP, sehingga dalam waktu dekat Jampidsus Kejagung akan mengumumkan kerugian rill terkait perkara tersebut.
Sebelumnya dalam konferensi pers pada Kamis (24/2) lalu, Jaksa Agung ST Burhanuddin menyampaikan pada awalnya proyek pembangunan pabrik Blast Furnace (BFC) tersebut dilaksanakan oleh Konsorsium MCC CERI (asal China) dan PT Krakatau Engineering sesuai hasil lelang tanggal 31 Maret 2011 dengan nilai kontrak setelah mengalami perubahan adalah Rp6,92 triliun.
Kontrak tersebut telah dibayarkan ke pihak pemenang lelang senilai Rp5,3 triliun, namun demikian pekerjaan kemudian dihentikan pada tanggal 19 Desember 2019 padahal pekerjaan belum 100 persen dan setelah dilakukan uji coba operasi biaya produksi lebih besar dari harga baja di pasar. Selain itu, pekerjaan sampai saat ini belum diserahterimakan dengan kondisi tidak dapat beroperasi lagi.
PT Karakatau Steel membangun Pabrik Blast Furnace (BFC) dengan menggunakan bahan bakar batubara agar biaya produksi lebih murah. Pembangunan proyek tersebut menggunakan bahan bakar gas sehingga memerlukan biaya yang lebih mahal.
Menurut Supardi, pabrik peleburan tersebut tidak bisa dioperasikan, karena akan mengeluarkan biaya tinggi.
“Tidak bisa beroperasi, kalau dipakai high cost tidak bisa bersaing,” ujarnya.
Baca juga: Anggota DPR dukung Kejaksaan usut dugaan korupsi Garuda-Krakatau Steel
Baca juga: KPK terima aduan dugaan korupsi di PT Krakatau Steel
Pewarta: Laily Rahmawaty
Editor: Budisantoso Budiman
Copyright © ANTARA 2022
Tags: