Indonesia perlu alternatif pengganti kedelai untuk tempe
1 Maret 2022 23:42 WIB
Perajin menyiapkan kedelai impor sebagai bahan baku tahu takwa khas Kediri di sentra industri tahu, Kelurahan Tinalan, Kota Kediri, Jawa Timur, Senin (21/2/2022). ANTARA FOTO/Prasetia Fauzani/YU/aa.
Solo (ANTARA) - Pengamat Pertanian dari Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta Mercy Bientri Yunindanova menyebut Indonesia perlu memikirkan alternatif pengganti kedelai menyusul terjadinya kenaikan harga pada komoditas tersebut.
"Kita harus mencari alternatif, budi daya tidak bisa 100 persen mencukupi kebutuhan kedelai dalam negeri karena membutuhkan sistem budi daya lebih terpadu, seragam, dan manajemen yang baik," kata Dosen Agroteknologi Fakultas Pertanian UNS tersebut di Solo, Jawa Tengah, Selasa.
Dengan demikian, kata dia, perlu ada proses diversifikasi pangan sumber protein dengan penggunaan alternatif biji-bijian lain sebagai bahan baku yang mengandung protein mendekati kedelai.
"Indonesia sangat kaya dengan keanekaragaman tanaman biji-bijian dan telah terbukti dapat diolah menjadi olahan tempe. Sebetulnya tidak perlu khawatir karena banyak kearifan lokal tentang tempe," katanya.
Bahkan, dikatakannya, saat ini ilmu teknologi pangan sudah melakukan penelitian mengenai pemanfaatan biji, selain kedelai, untuk bahan pangan kaya protein seperti tempe.
Baca juga: Peneliti: Kenaikan harga kedelai momentum perbesar produksi domestik
"Memang pengenalannya kepada masyarakat belum masif, harus secara gradual (bertahap) mengubah mindset bahwa tahu dan tempe tidak hanya berbahan dasar kedelai. Protein itu bisa diperoleh dari bahan makanan yang lain, bahkan diversifikasi pangan dalam artian makan dalam berbagai jenis itu lebih baik," katanya.
Indonesia sebagai negara yang mengandalkan impor, menurut dia, kenaikan harga kedelai seharusnya menjadi momentum.
"Karena makin ke depan harga kedelai akan makin naik dengan permintaan kedelai dunia yang tinggi karena makin diminati di pasar dunia," katanya.
Ia mengatakan permintaan kedelai dunia tinggi karena ada empat faktor yaitu untuk pemanfaatan energi biodiesel, pemanfaatan kedelai sebagai pakan ternak, konsumsi dalam jumlah tinggi seperti di China dan Amerika, serta plant based meat atau produk daging berbasis tanaman yang sedang tren.
Baca juga: Teten: Kacang koro pedang dapat menjadi alternatif pengganti kedelai
Mengenai pengembangan pertanian kedelai di Indonesia selama ini, menurut dia, dari sisi kualitas dan kuantitas lebih rendah dibandingkan negara produsen lain.
"Ini karena mayoritas petani di Indonesia menanam secara sendiri-sendiri, berbeda tempat dengan lahan yang kecil, dan tidak dikelola dalam satu sistem yang sama sehingga hasil panennya kurang seragam. Meskipun ada yang telah dikoordinir oleh gapoktan (gabungan kelompok tani), namun variasi kualitas dan kuantitas masih rendah," katanya.
Ia mengatakan produktivitas kedelai di Indonesia cukup rendah, yakni sekitar 1,5 ton/hektare dan maksimum 1,6 ton/hektare di Jawa.
"Jika dibandingkan dengan Brazil dan Amerika sebagai leader produsen kedelai produksinya mencapai 3,5 ton/hektare," katanya.
Baca juga: Kementan ungkap 2 kelebihan kedelai lokal dibanding impor
Baca juga: Kementan paparkan upaya perbaikan kualitas kedelai lokal
"Kita harus mencari alternatif, budi daya tidak bisa 100 persen mencukupi kebutuhan kedelai dalam negeri karena membutuhkan sistem budi daya lebih terpadu, seragam, dan manajemen yang baik," kata Dosen Agroteknologi Fakultas Pertanian UNS tersebut di Solo, Jawa Tengah, Selasa.
Dengan demikian, kata dia, perlu ada proses diversifikasi pangan sumber protein dengan penggunaan alternatif biji-bijian lain sebagai bahan baku yang mengandung protein mendekati kedelai.
"Indonesia sangat kaya dengan keanekaragaman tanaman biji-bijian dan telah terbukti dapat diolah menjadi olahan tempe. Sebetulnya tidak perlu khawatir karena banyak kearifan lokal tentang tempe," katanya.
Bahkan, dikatakannya, saat ini ilmu teknologi pangan sudah melakukan penelitian mengenai pemanfaatan biji, selain kedelai, untuk bahan pangan kaya protein seperti tempe.
Baca juga: Peneliti: Kenaikan harga kedelai momentum perbesar produksi domestik
"Memang pengenalannya kepada masyarakat belum masif, harus secara gradual (bertahap) mengubah mindset bahwa tahu dan tempe tidak hanya berbahan dasar kedelai. Protein itu bisa diperoleh dari bahan makanan yang lain, bahkan diversifikasi pangan dalam artian makan dalam berbagai jenis itu lebih baik," katanya.
Indonesia sebagai negara yang mengandalkan impor, menurut dia, kenaikan harga kedelai seharusnya menjadi momentum.
"Karena makin ke depan harga kedelai akan makin naik dengan permintaan kedelai dunia yang tinggi karena makin diminati di pasar dunia," katanya.
Ia mengatakan permintaan kedelai dunia tinggi karena ada empat faktor yaitu untuk pemanfaatan energi biodiesel, pemanfaatan kedelai sebagai pakan ternak, konsumsi dalam jumlah tinggi seperti di China dan Amerika, serta plant based meat atau produk daging berbasis tanaman yang sedang tren.
Baca juga: Teten: Kacang koro pedang dapat menjadi alternatif pengganti kedelai
Mengenai pengembangan pertanian kedelai di Indonesia selama ini, menurut dia, dari sisi kualitas dan kuantitas lebih rendah dibandingkan negara produsen lain.
"Ini karena mayoritas petani di Indonesia menanam secara sendiri-sendiri, berbeda tempat dengan lahan yang kecil, dan tidak dikelola dalam satu sistem yang sama sehingga hasil panennya kurang seragam. Meskipun ada yang telah dikoordinir oleh gapoktan (gabungan kelompok tani), namun variasi kualitas dan kuantitas masih rendah," katanya.
Ia mengatakan produktivitas kedelai di Indonesia cukup rendah, yakni sekitar 1,5 ton/hektare dan maksimum 1,6 ton/hektare di Jawa.
"Jika dibandingkan dengan Brazil dan Amerika sebagai leader produsen kedelai produksinya mencapai 3,5 ton/hektare," katanya.
Baca juga: Kementan ungkap 2 kelebihan kedelai lokal dibanding impor
Baca juga: Kementan paparkan upaya perbaikan kualitas kedelai lokal
Pewarta: Aris Wasita
Editor: Risbiani Fardaniah
Copyright © ANTARA 2022
Tags: