Ahli: Imunisasi rubella rendah bisa naikkan risiko bayi lahir tuli
1 Maret 2022 15:59 WIB
Tangkapan layar Ketua Perhimpunan Ahli Ilmu Penyakit THT-KL (PERHATI-KL) Jenny Bashiruddin dalam Temu Media Hari Pendengaran Sedunia Tahun 2022 yang diikuti secara daring di Jakarta, Selasa (1/3/2022). (ANTARA/Hreeloita Dharma Shanti)
Jakarta (ANTARA) - Ketua Perhimpunan Ahli Ilmu Penyakit THT-KL (PERHATI-KL), Jenny Bashiruddin mengatakan cakupan imunisasi penyakit rubella yang rendah di sejumlah daerah dapat menaikkan risiko bayi lahir menjadi tuli.
“Beberapa tahun lalu Kementerian Kesehatan sudah menyampaikan untuk vaksinasi rubella. Tapi, ternyata cakupannya juga masih ada yang sedikit di beberapa daerah,” kata Jenny dalam Temu Media Hari Pendengaran Sedunia Tahun 2022 yang diikuti secara daring di Jakarta, Selasa.
Baca juga: 87,33 persen, rata-rata cakupan imunisasi campak-rubella Indonesia
Jenny menuturkan salah satu faktor yang dapat menyebabkan anak mengalami kecacatan pada saat lahir seperti menjadi tuli kongenital adalah cakupan imunisasi penyakit rubella yang rendah. Di Indonesia, kasus bayi lahir dalam keadaan tuli angkanya satu per 1.000 kelahiran.
Selain penyakit rubella, bayi yang terkena penyakit toksoplasma dan herpes juga dapat mengalami ketulian. Sehingga, cakupan imunisasi dasar pada anak harus segera diperluas agar pemerintah dapat mencegah terjadinya gangguan pendengaran kongenital pada putra-putri bangsa.
“Kami khawatir dapat terjadi tuli kongenital. Jadi, vaksinasi itu perlu untuk mencegah terjadinya gangguan pendengaran kongenital ini,” ucap Jenny yang juga Guru Besar Neuro-Otologist Universitas Indonesia (UI) itu.
Senada dengan Jenny, Plt. Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular (P2PTM) Kemenkes Elvieda Sariwati mengatakan bila bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR) juga menjadi faktor lain yang dapat membuat bayi lahir dalam kondisi tuli.
Baca juga: Pemerintah petakan daerah yang belum tercakup imunisasi MR
Baca juga: Imunisasi campak-rubella dilanjutkan hingga mencapai target 95 persen
Kondisi bayi-bayi yang lahir dengan berat badan rendah harus dipantau melalui skrining, juga pemeriksaan kesehatan secara rutin dalam kurun waktu sampai enam bulan sejak bayi dilahirkan supaya dapat dipastikan apakah bayi terkena tuli kongenital atau tidak.
“Indonesia termasuk negara di Asia nomor tiga untuk kejadian bayi yang lahir dengan berat badan lahir rendah. Ternyata ini merupakan salah satu risiko untuk terjadinya tuli kongenital,” kata Elvieda.
“Beberapa tahun lalu Kementerian Kesehatan sudah menyampaikan untuk vaksinasi rubella. Tapi, ternyata cakupannya juga masih ada yang sedikit di beberapa daerah,” kata Jenny dalam Temu Media Hari Pendengaran Sedunia Tahun 2022 yang diikuti secara daring di Jakarta, Selasa.
Baca juga: 87,33 persen, rata-rata cakupan imunisasi campak-rubella Indonesia
Jenny menuturkan salah satu faktor yang dapat menyebabkan anak mengalami kecacatan pada saat lahir seperti menjadi tuli kongenital adalah cakupan imunisasi penyakit rubella yang rendah. Di Indonesia, kasus bayi lahir dalam keadaan tuli angkanya satu per 1.000 kelahiran.
Selain penyakit rubella, bayi yang terkena penyakit toksoplasma dan herpes juga dapat mengalami ketulian. Sehingga, cakupan imunisasi dasar pada anak harus segera diperluas agar pemerintah dapat mencegah terjadinya gangguan pendengaran kongenital pada putra-putri bangsa.
“Kami khawatir dapat terjadi tuli kongenital. Jadi, vaksinasi itu perlu untuk mencegah terjadinya gangguan pendengaran kongenital ini,” ucap Jenny yang juga Guru Besar Neuro-Otologist Universitas Indonesia (UI) itu.
Senada dengan Jenny, Plt. Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular (P2PTM) Kemenkes Elvieda Sariwati mengatakan bila bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR) juga menjadi faktor lain yang dapat membuat bayi lahir dalam kondisi tuli.
Baca juga: Pemerintah petakan daerah yang belum tercakup imunisasi MR
Baca juga: Imunisasi campak-rubella dilanjutkan hingga mencapai target 95 persen
Kondisi bayi-bayi yang lahir dengan berat badan rendah harus dipantau melalui skrining, juga pemeriksaan kesehatan secara rutin dalam kurun waktu sampai enam bulan sejak bayi dilahirkan supaya dapat dipastikan apakah bayi terkena tuli kongenital atau tidak.
“Indonesia termasuk negara di Asia nomor tiga untuk kejadian bayi yang lahir dengan berat badan lahir rendah. Ternyata ini merupakan salah satu risiko untuk terjadinya tuli kongenital,” kata Elvieda.
Pewarta: Hreeloita Dharma Shanti
Editor: Endang Sukarelawati
Copyright © ANTARA 2022
Tags: