Pembenahan sistem logistik perdagangan daging penting jelang puasa
26 Februari 2022 18:20 WIB
Dokumentasi. Penjual memotong daging sapi di pasar Rangkasbitung, Lebak, Banten, Sabtu (26/2/2022). ANTARA FOTO/Muhammad Bagus Khoirunas/foc.
Jakarta (ANTARA) - Anggota Komisi VI DPR RI Amin Ak menyatakan, pembenahan sistem logistik perdagangan daging sapi, baik daging impor maupun daging sapi lokal, merupakan hal penting dalam menjaga harga menjelang bulan puasa hingga memasuki Idul Fitri nanti.
"Harga daging melonjak karena melambungnya biaya logistik penyimpanan daging impor. Jika dibiarkan, kondisi tersebut kian memperbesar inflasi. Kasihan rakyat, apalagi kita akan segera memasuki bulan suci Ramadhan," kata Amin Ak dalam keterangan di Jakarta, Sabtu.
Menurut dia, penyebab kenaikan harga daging sapi di pasar karena kenaikan biaya logistik penyimpanan daging sapi beku.
Ia mengemukakan bahwa menurunnya permintaan daging selama pandemi berdampak kepada menumpuknya stok daging impor atau daging beku, terutama daging khusus.
Dengan demikian, lanjutnya, maka sebenarnya yang dibutuhkan adalah gudang penyimpanan atau cold storage dalam jumlah banyak. "Diberlakukannya kebijakan pembatasan sosial dan juga merosotnya daya beli masyarakat menyebabkan penurunan permintaan daging sapi," katanya.
Merujuk pada penjelasan Asosiasi Importir Daging, Amin menyebut, perubahan sistem integrasi seluruh layanan bea cukai ikut menaikkan biaya logistik penyimpanan karena proses di bea cukai menjadi lebih lama, dari yang biasanya hanya 2 hari sampai 3 hari menjadi 12 hari.
Hal tersebut, masih menurut dia, juga dinilai membuat biaya penyimpanan ikut terkerek dari sekitar Rp12 juta, melonjak hingga menembus Rp100 juta.
"Selain itu, saya melihat adanya kenaikan harga daging sapi di pasar internasional karena terganggunya sistem produksi global selama pandemi. Akibatnya harga daging sapi impor pun mengalami kenaikan," ungkapnya.
Hasil kajian berbagai lembaga menunjukkan, rantai distribusi daging sapi lokal harus melewati tujuh hingga sembilan tahapan sebelum sampai di tangan konsumen, sehingga membuat biaya distribusi sangat tinggi.
Secara terpisah, Ketua Jaringan Pemotongan dan Pedagang Daging Indonesia (JAPPDI) Asnawi menyampaikan pemotong dan pedagang sapi di bawah organisasinya menyatakan tidak jadi mogok jualan karena tuntutan sudah dipenuhi oleh pemerintah.
"Kami bersama pengurus Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) dan Dewan Pimpinan Daerah (DPD), serta anggota menyatakan tidak ada aksi mogok," kata Asnawi dihubungi Antara di Jakarta, Sabtu.
Asnawi menyampaikan, sebelumnya JAPPDI ikut mendukung aksi libur berdagang yang diserukan, namun setelah mendapat jalan keluar dan terpenuhi tuntutannya, maka JAPPDI menolak aksi mogok jualan dan bahkan menginstruksikan kepada pemotong dan pedagang sapi untuk tetap berjualan seperti biasa.
Pedagang daging sapi dalam hal ini memandang bahwa kenaikan harga pada level 5 persen adalah masih wajar. Namun, yang terjadi saat ini adalah kenaikan hingga 15 persen di tingkat pemotong.
Dengan kenaikan 15 persen, maka harga jual daging sapi kepada konsumen mencapai Rp140.000 per kilogram (kg). Harga tersebut dipandang terlalu membebani konsumen yang akhirnya berpengaruh terhadap daya beli.
Namun, dengan kenaikan 5 persen, lanjut Asnawi, harga jual daging sapi ke konsumen menjadi Rp125.000 per kg atau Rp130.000 per kg untuk daging sapi jenis has dalam.
Baca juga: KAI, Pelindo, dan Pos Indonesia kerja sama integrasi layanan logistik
Baca juga: Pertamina Shipping fokus jadi perusahaan logistik hijau
Baca juga: Kementan: Stok daging aman jelang Ramadhan hingga Lebaran
"Harga daging melonjak karena melambungnya biaya logistik penyimpanan daging impor. Jika dibiarkan, kondisi tersebut kian memperbesar inflasi. Kasihan rakyat, apalagi kita akan segera memasuki bulan suci Ramadhan," kata Amin Ak dalam keterangan di Jakarta, Sabtu.
Menurut dia, penyebab kenaikan harga daging sapi di pasar karena kenaikan biaya logistik penyimpanan daging sapi beku.
Ia mengemukakan bahwa menurunnya permintaan daging selama pandemi berdampak kepada menumpuknya stok daging impor atau daging beku, terutama daging khusus.
Dengan demikian, lanjutnya, maka sebenarnya yang dibutuhkan adalah gudang penyimpanan atau cold storage dalam jumlah banyak. "Diberlakukannya kebijakan pembatasan sosial dan juga merosotnya daya beli masyarakat menyebabkan penurunan permintaan daging sapi," katanya.
Merujuk pada penjelasan Asosiasi Importir Daging, Amin menyebut, perubahan sistem integrasi seluruh layanan bea cukai ikut menaikkan biaya logistik penyimpanan karena proses di bea cukai menjadi lebih lama, dari yang biasanya hanya 2 hari sampai 3 hari menjadi 12 hari.
Hal tersebut, masih menurut dia, juga dinilai membuat biaya penyimpanan ikut terkerek dari sekitar Rp12 juta, melonjak hingga menembus Rp100 juta.
"Selain itu, saya melihat adanya kenaikan harga daging sapi di pasar internasional karena terganggunya sistem produksi global selama pandemi. Akibatnya harga daging sapi impor pun mengalami kenaikan," ungkapnya.
Hasil kajian berbagai lembaga menunjukkan, rantai distribusi daging sapi lokal harus melewati tujuh hingga sembilan tahapan sebelum sampai di tangan konsumen, sehingga membuat biaya distribusi sangat tinggi.
Secara terpisah, Ketua Jaringan Pemotongan dan Pedagang Daging Indonesia (JAPPDI) Asnawi menyampaikan pemotong dan pedagang sapi di bawah organisasinya menyatakan tidak jadi mogok jualan karena tuntutan sudah dipenuhi oleh pemerintah.
"Kami bersama pengurus Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) dan Dewan Pimpinan Daerah (DPD), serta anggota menyatakan tidak ada aksi mogok," kata Asnawi dihubungi Antara di Jakarta, Sabtu.
Asnawi menyampaikan, sebelumnya JAPPDI ikut mendukung aksi libur berdagang yang diserukan, namun setelah mendapat jalan keluar dan terpenuhi tuntutannya, maka JAPPDI menolak aksi mogok jualan dan bahkan menginstruksikan kepada pemotong dan pedagang sapi untuk tetap berjualan seperti biasa.
Pedagang daging sapi dalam hal ini memandang bahwa kenaikan harga pada level 5 persen adalah masih wajar. Namun, yang terjadi saat ini adalah kenaikan hingga 15 persen di tingkat pemotong.
Dengan kenaikan 15 persen, maka harga jual daging sapi kepada konsumen mencapai Rp140.000 per kilogram (kg). Harga tersebut dipandang terlalu membebani konsumen yang akhirnya berpengaruh terhadap daya beli.
Namun, dengan kenaikan 5 persen, lanjut Asnawi, harga jual daging sapi ke konsumen menjadi Rp125.000 per kg atau Rp130.000 per kg untuk daging sapi jenis has dalam.
Baca juga: KAI, Pelindo, dan Pos Indonesia kerja sama integrasi layanan logistik
Baca juga: Pertamina Shipping fokus jadi perusahaan logistik hijau
Baca juga: Kementan: Stok daging aman jelang Ramadhan hingga Lebaran
Pewarta: M Razi Rahman
Editor: Biqwanto Situmorang
Copyright © ANTARA 2022
Tags: