Satgas: Kenaikan positivity rate mingguan bukti penularan masih tinggi
24 Februari 2022 20:47 WIB
Tangkapan layar Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan COVID-19 Wiku Adisasmito dalam Konferensi Pers Perkembangan Penanganan COVID-19 di Indonesia per 24 Februari 2022 yang diikuti secara daring di Jakarta, Kamis (24/2/2022) (ANTARA/Hreeloita Dharma Shanti)
Jakarta (ANTARA) - Satuan Tugas (Satgas) Penanganan COVID-19 mengatakan terjadinya kenaikan pada indikator angka positivity rate mingguan merupakan bukti penularan COVID-19 di dalam masyarakat masih berpotensi tinggi terjadi.
“Berkaca pada data, kita perlu untuk tetap waspada mengingat tren kenaikan positivity rate mingguan masih belum menunjukkan tanda-tanda penurunan. Hal ini menunjukkan masih tingginya potensi penularan di tengah masyarakat,” kata Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan COVID-19 Wiku Adisasmito dalam Konferensi Pers Perkembangan Penanganan COVID-19 di Indonesia per 24 Februari 2022 yang diikuti secara daring di Jakarta, Kamis.
Wiku menyebutkan per tanggal 20 Februari 2022, angka positivity rate Indonesia naik tajam menjadi 17,61 persen,dibanding pada akhir Januari lalu yang hanya berada pada kisaran 1 persen. Hal tersebut menunjukkan bahwa tren kasus masih belum menunjukkan tanda-tanda akan mengalami penurunan.
Baca juga: Satgas: Positivity rate mingguan RI naik tajam jadi 17,61 persen
Bahkan peningkatan positivity rate pada masa Omicron itu juga terjadi pada saat capaian tes COVID-19 dengan menggunakan rapid antigen jauh lebih besar dibandingkan dengan PCR. Sebab, Omicron memunculkan gejala yang lebih ringan dan tanpa gejala dan banyak orang memilih tetap beraktivitas dengan normal.
Sedangkan pada masa terjadinya gelombang Delta, Wiku mengatakan proporsi antara tes rapid antigen dengan PCR cenderung berimbang karena Delta banyak orang terkena gejala sedang hingga berat.
“Akibatnya, di masa Delta proporsi PCR sebagai alat peneguhan diagnosa lebih banyak. Karena orang yang bergejala sedang hingga berat pun cenderung lebih banyak. Sementara di masa Omicron, orang cenderung bergejala ringan bahkan tanpa gejala dan masih tetap beraktivitas normal,”
Bahkan Wiku mengakui bila mobilitas yang dilakukan secara nasional saat ini, juga terbilang setara bahkan lebih tinggi dibandingkan dengan saat terjadinya Delta. Sehingga banyak orang melakukan tes COVID-19 untuk tujuan skrining.
Meskipun proses skrining itu berhasil membantu pemerintah mengidentifikasi orang yang terinfeksi lebih cepat, banyak orang didapati positif pada saat menjalankan proses skrining yang digunakan sebagai syarat perjalanan ataupun aktivitas lainnya itu.
“Ini menunjukkan kesadaran protokol kesehatan masyarakat yang masih belum cukup baik. Orang-orang yang beraktivitas dan melakukan perjalanan ternyata masih banyak yang tertular,” kata Wiku.
Wiku menekankan seharusnya seluruh pihak mencegah penularan agar dapat memutus rantai COVID-19. Namun hal tersebut hanya dapat terjadi bila masyarakat mau disiplin menerapkan protokol kesehatan.
“Jangan sampai ketidaktaatan kita akan protokol kesehatan, menempatkan kita sebagai bahaya laten bagi mereka yang rentan. Ingat! bukan tidak mungkin kita tertular dan menjadi orang tanpa gejala (OTG),” ucap dia.
Baca juga: Sembilan warga Kaltara positif COVID-19 varian Omicron
“Berkaca pada data, kita perlu untuk tetap waspada mengingat tren kenaikan positivity rate mingguan masih belum menunjukkan tanda-tanda penurunan. Hal ini menunjukkan masih tingginya potensi penularan di tengah masyarakat,” kata Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan COVID-19 Wiku Adisasmito dalam Konferensi Pers Perkembangan Penanganan COVID-19 di Indonesia per 24 Februari 2022 yang diikuti secara daring di Jakarta, Kamis.
Wiku menyebutkan per tanggal 20 Februari 2022, angka positivity rate Indonesia naik tajam menjadi 17,61 persen,dibanding pada akhir Januari lalu yang hanya berada pada kisaran 1 persen. Hal tersebut menunjukkan bahwa tren kasus masih belum menunjukkan tanda-tanda akan mengalami penurunan.
Baca juga: Satgas: Positivity rate mingguan RI naik tajam jadi 17,61 persen
Bahkan peningkatan positivity rate pada masa Omicron itu juga terjadi pada saat capaian tes COVID-19 dengan menggunakan rapid antigen jauh lebih besar dibandingkan dengan PCR. Sebab, Omicron memunculkan gejala yang lebih ringan dan tanpa gejala dan banyak orang memilih tetap beraktivitas dengan normal.
Sedangkan pada masa terjadinya gelombang Delta, Wiku mengatakan proporsi antara tes rapid antigen dengan PCR cenderung berimbang karena Delta banyak orang terkena gejala sedang hingga berat.
“Akibatnya, di masa Delta proporsi PCR sebagai alat peneguhan diagnosa lebih banyak. Karena orang yang bergejala sedang hingga berat pun cenderung lebih banyak. Sementara di masa Omicron, orang cenderung bergejala ringan bahkan tanpa gejala dan masih tetap beraktivitas normal,”
Bahkan Wiku mengakui bila mobilitas yang dilakukan secara nasional saat ini, juga terbilang setara bahkan lebih tinggi dibandingkan dengan saat terjadinya Delta. Sehingga banyak orang melakukan tes COVID-19 untuk tujuan skrining.
Meskipun proses skrining itu berhasil membantu pemerintah mengidentifikasi orang yang terinfeksi lebih cepat, banyak orang didapati positif pada saat menjalankan proses skrining yang digunakan sebagai syarat perjalanan ataupun aktivitas lainnya itu.
“Ini menunjukkan kesadaran protokol kesehatan masyarakat yang masih belum cukup baik. Orang-orang yang beraktivitas dan melakukan perjalanan ternyata masih banyak yang tertular,” kata Wiku.
Wiku menekankan seharusnya seluruh pihak mencegah penularan agar dapat memutus rantai COVID-19. Namun hal tersebut hanya dapat terjadi bila masyarakat mau disiplin menerapkan protokol kesehatan.
“Jangan sampai ketidaktaatan kita akan protokol kesehatan, menempatkan kita sebagai bahaya laten bagi mereka yang rentan. Ingat! bukan tidak mungkin kita tertular dan menjadi orang tanpa gejala (OTG),” ucap dia.
Baca juga: Sembilan warga Kaltara positif COVID-19 varian Omicron
Pewarta: Hreeloita Dharma Shanti
Editor: Triono Subagyo
Copyright © ANTARA 2022
Tags: