Praktik pergeseran konsumsi rokok murah diprediksi marakpada 2022
23 Februari 2022 13:58 WIB
Buruh linting rokok beraktivitas di salah satu pabrik rokok di Blitar, Jawa Timur, Kamis (25/3/2021). (ANTARA FOTO/IRFAN ANSHORI/IRFAN ANSHORI)
Jakarta (ANTARA) - Kepala Riset Praus Capital, Marolop Alfred Nainggolan mengatakan, pergeseran konsumsi rokok ke produk yang lebih murah (downtrading) diperkirakan marak terjadi pada 2022.
Hal itu disebabkan oleh faktor variasi harga, meski pemerintah telah menetapkan kenaikan cukai hasil tembakau (CHT) dan harga jual eceran (HJE) sejak 1 Januari 2022.
Pergeseran konsumsi rokok ke produk yang lebih murah juga dikhawatirkan tidak menurunkan pravalensi konsumsi rokok masyarakat Indonesia, melainkan membuka peluang perokok untuk memilih opsi rokok di golongan bawah karena harga yang lebih terjangkau.
Ia mengatakan, kenaikan CHT dari tahun ke tahun membuat pengusaha mempertahankan volume penjualan dan margin di tengah biaya produksi dari cukai yang terus meningkat itu.
"Tarif cukai selama ini menjadi salah satu komponen biaya yang besar dan ini tidak mudah dikompensasi langsung kepada konsumen dalam bentuk kenaikan harga jual,” kata Marolop dalam siaran resmi pada Rabu.
Tren menjamurnya pabrikan di golongan rendah juga dapat terlihat dari fenomena perusahaan besar yang turun golongan dalam beberapa tahun belakangan.
Kenaikan harga jual produk yang terlampau tinggi, katanya, justru akan membuat pabrikan kehilangan pembeli dan pangsa pasar.
Oleh karena itu, dengan selisih tarif cukai antara golongan yang sangat lebar tersebut, pabrikan akan lebih memilih untuk menahan bahkan mengurangi produksinya untuk mendapatkan tarif cukai yang lebih rendah dan mampu menjual rokok dengan harga lebih murah.
"Perusahaan-perusahaan besar menurunkan produksinya untuk menekan pembayaran cukai ke tarif yang lebih murah, sehingga margin keuntungan dapat terjaga," kata Marolop.
Selain itu, di luar jumlah rokok ilegal yang masih tinggi, maraknya penjualan rokok di golongan 2 dan 3 inilah yang membuat konsumsi rokok tak menurun.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2021 mencatat tingkat konsumsi rokok masyarakat usia di atas 15 tahun sebesar 28,96 persen, sedikit lebih tinggi dibandingkan tahun 2020 sebesar 28,69 persen.
Sebelumnya, saat pengumuman kebijakan cukai hasil tembakau di Desember 2021, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati melalui kebijakannya berupaya untuk melakukan pengendalian konsumsi tembakau namun secara bersamaan memperhatikan kesejahteraan pekerja, penerimaan negara dan pengawasan terhadap peredaran rokok ilegal.
Baca juga: Otoritas China tindak keras penjualan rokok elektrik ke anak-anak
Baca juga: Mispersepsi bikin perokok dewasa enggan beralih ke tembakau alternatif
Baca juga: Cara enyahkan bau asap rokok dari dalam mobil
Hal itu disebabkan oleh faktor variasi harga, meski pemerintah telah menetapkan kenaikan cukai hasil tembakau (CHT) dan harga jual eceran (HJE) sejak 1 Januari 2022.
Pergeseran konsumsi rokok ke produk yang lebih murah juga dikhawatirkan tidak menurunkan pravalensi konsumsi rokok masyarakat Indonesia, melainkan membuka peluang perokok untuk memilih opsi rokok di golongan bawah karena harga yang lebih terjangkau.
Ia mengatakan, kenaikan CHT dari tahun ke tahun membuat pengusaha mempertahankan volume penjualan dan margin di tengah biaya produksi dari cukai yang terus meningkat itu.
"Tarif cukai selama ini menjadi salah satu komponen biaya yang besar dan ini tidak mudah dikompensasi langsung kepada konsumen dalam bentuk kenaikan harga jual,” kata Marolop dalam siaran resmi pada Rabu.
Tren menjamurnya pabrikan di golongan rendah juga dapat terlihat dari fenomena perusahaan besar yang turun golongan dalam beberapa tahun belakangan.
Kenaikan harga jual produk yang terlampau tinggi, katanya, justru akan membuat pabrikan kehilangan pembeli dan pangsa pasar.
Oleh karena itu, dengan selisih tarif cukai antara golongan yang sangat lebar tersebut, pabrikan akan lebih memilih untuk menahan bahkan mengurangi produksinya untuk mendapatkan tarif cukai yang lebih rendah dan mampu menjual rokok dengan harga lebih murah.
"Perusahaan-perusahaan besar menurunkan produksinya untuk menekan pembayaran cukai ke tarif yang lebih murah, sehingga margin keuntungan dapat terjaga," kata Marolop.
Selain itu, di luar jumlah rokok ilegal yang masih tinggi, maraknya penjualan rokok di golongan 2 dan 3 inilah yang membuat konsumsi rokok tak menurun.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2021 mencatat tingkat konsumsi rokok masyarakat usia di atas 15 tahun sebesar 28,96 persen, sedikit lebih tinggi dibandingkan tahun 2020 sebesar 28,69 persen.
Sebelumnya, saat pengumuman kebijakan cukai hasil tembakau di Desember 2021, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati melalui kebijakannya berupaya untuk melakukan pengendalian konsumsi tembakau namun secara bersamaan memperhatikan kesejahteraan pekerja, penerimaan negara dan pengawasan terhadap peredaran rokok ilegal.
Baca juga: Otoritas China tindak keras penjualan rokok elektrik ke anak-anak
Baca juga: Mispersepsi bikin perokok dewasa enggan beralih ke tembakau alternatif
Baca juga: Cara enyahkan bau asap rokok dari dalam mobil
Pewarta: Alviansyah Pasaribu
Editor: Ida Nurcahyani
Copyright © ANTARA 2022
Tags: