Jakarta (ANTARA) - Kepala Penelitian Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Felippa Ann Amanta mengatakan Badan Pangan Nasional harus melibatkan multipihak guna mewujudkan ketahanan pangan nasional.

"Badan Pangan Nasional bertanggung jawab penuh untuk mencapai ketahanan pangan dalam artian ketersediaan dan keterjangkauan makanan yang beragam, berkualitas, dan bernutrisi bagi masyarakat Indonesia," kata Felippa dalam keterangan pers yang diterima di Jakarta, Rabu.

Presiden Joko Widodo melantik Arief Prasetyo sebagai Kepala Badan Pangan Nasional pada Senin (21/2). Pelantikan Arief sebagai Kepala Bapanas diharapkan berdampak pada pengelolaan sistem pangan di Indonesia. Badan Pangan Nasional diharapkan bisa fokus mewujudkan ketahanan pangan lewat pelibatan berbagai pihak di dalamnya.

Badan Pangan Nasional, kata Felippa, punya pekerjaan rumah yang besar karena ketahanan pangan Indonesia masih rendah. Berdasarkan Global Food Security Index dari The Economist Intelligence Unit, ketahanan pangan Indonesia ada di posisi 69 dari 113 negara, dengan nilai yang rendah di indikator-indikator terkait keterjangkauan pangan, kualitas, dan pengelolaan sumber daya alam dan resiliensi.

Felippa mengatakan masalah terbesar ketahanan pangan Indonesia adalah keterjangkauan. Harga beras yang menjadi salah satu komoditas strategis, kata dia, dua kali lipat lebih mahal dibanding harga beras internasional.

Alhasil, masyarakat Indonesia juga harus mengeluarkan proporsi yang lebih tinggi untuk makanan dibanding dengan masyarakat di negara lain. Rata-rata masyarakat Indonesia menghabiskan 56 persen dari pengeluaran mereka untuk membeli makan, lebih tinggi dari masyarakat Singapura (20 persen), Malaysia (21 persen) dan Thailand (26 persen).

“Makanan yang bernutrisi jauh lebih mahal lagi, bisa tiga kali lipat harga staple-based diet yang hanya mengandung makanan pokok. Ditambah dengan pandemi, daya beli tentu semakin menurun,” katanya.

Felippa mengemukakan bahwa proses ketersediaan dan akses pangan juga melibatkan banyak pihak, mulai dari petani, peternak, pedagang hingga industri pangan, yang peranannya harus saling memperkuat dan tidak dipersulit birokrasi.

Badan Pangan Nasional dinilai perlu memastikan kompetisi sehat, keterbukaan, dan efisiensi dalam rantai pasok pangan mulai dari produksi, pengolahan, hingga distribusi. Kompetisi dan keterbukaan yang melibatkan pihak swasta ini, kata Felippa, bisa mendorong inovasi di sektor pangan dan pertanian demi tujuan bersama untuk mencapai ketahanan pangan.

Felippa menyatakan, Badan Pangan Nasional juga perlu mengevaluasi penerapan kebijakan non-tarif dengan melakukan kajian dampak kebijakan impor bersama dengan Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan dan juga Kementerian Perindustrian, untuk memastikan dampak dari kebijakan tersebut pada pangan dan gizi masyarakat.

Kementerian Pertanian akan mendelegasikan pembuatan kebijakan untuk cadangan pangan pemerintah dan kebijakan harga (HPP) kepada Bapanas. Sementara Kementerian Perdagangan akan menyerahkan kewenangannya dalam pembuatan kebijakan untuk stabilisasi harga.

“Wewenang pembuatan kebijakan dan penentuan ekspor impor pangan komoditas strategis perlu dimanfaatkan oleh Badan Pangan Nasional secara strategis untuk mendorong ketahanan pangan Indonesia. Peraturan turunan perlu dirancang untuk menyederhanakan prosedur perdagangan pangan, sehingga memastikan ketersediaan dan keterjangkauan pangan bagi konsumen,” katanya.

Baca juga: KSP yakin Arief Prasetyo mampu wujudkan tata kelola pangan yang baik

Baca juga: Kepala Badan Pangan Nasional utamakan sinergisme pemangku kepentingan