ACWG C20: Ada 2 penyebab utama skor indeks persepsi korupsi sulit naik
18 Februari 2022 16:32 WIB
Tangkapan layar Chair (Ketua) Anti-Corruption Working Group (ACWG) Civil 20 (C20) Indonesia Dadang Trisasongko saat menjadi narasumber dalam diskusi media secara virtual bertajuk “Indeks Persepsi Korupsi dan Momentum Presidensi G20”, dipantau dari Jakarta, Jumat (18/2/2022). ANTARA/Tri Meilani Ameliya
Jakarta (ANTARA) - Chair (Ketua) Anti-Corruption Working Group (ACWG) Civil 20 (C20) Indonesia Dadang Trisasongko menyebutkan ada dua penyebab utama skor indeks persepsi korupsi beberapa negara anggota G20, termasuk Indonesia, sulit mengalami penaikan.
"Ada dua masalah utama yang membebani skor indeks persepsi korupsi Indonesia sehingga sulit untuk naik. Pertama, korupsi politik. Kedua, korupsi di lembaga-lembaga penegak hukum. Dua isu ini menjadi pekerjaan rumah (PR). Saya kira, ini terjadi juga di beberapa negara anggota G20 yang memiliki skor indeks korupsi di bawah 50," ujar Dadang Trisasongko saat menjadi narasumber dalam diskusi media secara virtual bertajuk Indeks Persepsi Korupsi dan Momentum Presidensi G20, dipantau dari Jakarta, Jumat.
Dadang menyampaikan negara anggota G20 pemilik skor indeks persepsi korupsi di bawah 50 yang dirilis oleh Transparency International pada tahun 2021 adalah Tiongkok, Afrika Selatan, India, Brazil, Argentina, Indonesia, Turki, Meksiko, dan Rusia.
Ia menjelaskan bahwa korupsi politik merupakan tindakan korupsi antara pihak swasta dan pejabat publik atau pejabat politik.
Terkait dengan korupsi yang terjadi di lembaga penegak hukum, Dadang memandang hal tersebut menjadi salah satu masalah utama yang membuat indeks persepsi korupsi di suatu negara sulit untuk naik karena ikut pula menimbulkan sejumlah masalah lain.
Ia menyebutkan sejumlah masalah, di antaranya impunitas atau tidak dapat dipidananya berbagai bentuk kejahatan dan memicu ketidakpercayaan publik terhadap lembaga penegak hukum dan peradilan yang mampu terbebas dari korupsi.
Dalam mengatasi persoalan korupsi yang masih terjadi di lembaga penegak hukum, Dadang memandang Mahkamah Agung sebagai pengadilan tertinggi di Indonesia sebenarnya telah melakukan banyak hal untuk mengembalikan kepercayaan publik itu.
Meskipun begitu, kata dia, nyatanya masih terdapat pula segelintir aparat penegak hukum yang melakukan tindak pidana korupsi.
"Untuk di Indonesia, saya kira Mahkamah Agung telah banyak berjuang mencoba memperbaiki kepercayaan publik. Reformasi internal juga dicoba untuk dibangun. Namun, sayangnya masih ada hakim yang ditangkap karena kasus dugaan korupsi," ujar Dadang.
Oleh karena itu, Dadang pun menilai penanganan korupsi di lembaga hukum ataupun korupsi politik di suatu negara memang terbilang berat untuk dilakukan.
Dengan demikian, G20 melalui ACWG akan terus memastikan adanya upaya bersama, terutama dari negara-negara anggota dan negara di luar keanggotaan G20 untuk memperbaiki tata kelola pemerintahannya.
Dengan demikian, kata Dadang, tata kelola pemerintahan yang baik akan mewujudkan sektor bisnis di suatu negara yang tidak mengandung suap dan memunculkan para pejabat publik yang berintegritas tinggi.
Baca juga: EIB di Indonesia dukung pembiayaan tangani perubahan iklim
Baca juga: Pejabat Kemlu: Indonesia dorong ekonomi dunia terbuka dan adil di G20
"Ada dua masalah utama yang membebani skor indeks persepsi korupsi Indonesia sehingga sulit untuk naik. Pertama, korupsi politik. Kedua, korupsi di lembaga-lembaga penegak hukum. Dua isu ini menjadi pekerjaan rumah (PR). Saya kira, ini terjadi juga di beberapa negara anggota G20 yang memiliki skor indeks korupsi di bawah 50," ujar Dadang Trisasongko saat menjadi narasumber dalam diskusi media secara virtual bertajuk Indeks Persepsi Korupsi dan Momentum Presidensi G20, dipantau dari Jakarta, Jumat.
Dadang menyampaikan negara anggota G20 pemilik skor indeks persepsi korupsi di bawah 50 yang dirilis oleh Transparency International pada tahun 2021 adalah Tiongkok, Afrika Selatan, India, Brazil, Argentina, Indonesia, Turki, Meksiko, dan Rusia.
Ia menjelaskan bahwa korupsi politik merupakan tindakan korupsi antara pihak swasta dan pejabat publik atau pejabat politik.
Terkait dengan korupsi yang terjadi di lembaga penegak hukum, Dadang memandang hal tersebut menjadi salah satu masalah utama yang membuat indeks persepsi korupsi di suatu negara sulit untuk naik karena ikut pula menimbulkan sejumlah masalah lain.
Ia menyebutkan sejumlah masalah, di antaranya impunitas atau tidak dapat dipidananya berbagai bentuk kejahatan dan memicu ketidakpercayaan publik terhadap lembaga penegak hukum dan peradilan yang mampu terbebas dari korupsi.
Dalam mengatasi persoalan korupsi yang masih terjadi di lembaga penegak hukum, Dadang memandang Mahkamah Agung sebagai pengadilan tertinggi di Indonesia sebenarnya telah melakukan banyak hal untuk mengembalikan kepercayaan publik itu.
Meskipun begitu, kata dia, nyatanya masih terdapat pula segelintir aparat penegak hukum yang melakukan tindak pidana korupsi.
"Untuk di Indonesia, saya kira Mahkamah Agung telah banyak berjuang mencoba memperbaiki kepercayaan publik. Reformasi internal juga dicoba untuk dibangun. Namun, sayangnya masih ada hakim yang ditangkap karena kasus dugaan korupsi," ujar Dadang.
Oleh karena itu, Dadang pun menilai penanganan korupsi di lembaga hukum ataupun korupsi politik di suatu negara memang terbilang berat untuk dilakukan.
Dengan demikian, G20 melalui ACWG akan terus memastikan adanya upaya bersama, terutama dari negara-negara anggota dan negara di luar keanggotaan G20 untuk memperbaiki tata kelola pemerintahannya.
Dengan demikian, kata Dadang, tata kelola pemerintahan yang baik akan mewujudkan sektor bisnis di suatu negara yang tidak mengandung suap dan memunculkan para pejabat publik yang berintegritas tinggi.
Baca juga: EIB di Indonesia dukung pembiayaan tangani perubahan iklim
Baca juga: Pejabat Kemlu: Indonesia dorong ekonomi dunia terbuka dan adil di G20
Pewarta: Tri Meilani Ameliya
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2022
Tags: