Jakarta (ANTARA) - "Dulu saya pun pernah tinggal di rumah kontrakan. Kamarnya ada dua. Sembilan tahun lamanya mengontrak, baru bisa beli rumah. Alhamdulillah.." ungkap Jokowi.

Setiap orang yang telah memiliki rumah, pasti punya kisahnya sendiri. Ada yang harus ngontrak dulu sekian tahun sambil menabung supaya bisa beli rumah seperti yang dilakukan Pak Presiden, ada yang ketiban warisan properti dari orang tua, sampai ada yang nekat ambil KPR puluhan tahun agar punya tempat bernaung bersama keluarga meski gaji pas-pasan.

Untuk kisah terakhir, tampaknya jamak terjadi di masyarakat. Kredit Pemilikan Rumah atau KPR menjadi opsi terbaik untuk bisa memperoleh tempat tinggal walau konsekuensinya terikat cicilan jangka panjang. Berdasarkan hasil Survei Harga Properti Residensial (SHPR) Bank Indonesia pada kuartal IV 2021, pembiayaan perbankan dengan fasilitas KPR masih menjadi pilihan utama konsumen dalam pembelian properti residensial dengan pangsa mencapai 75,65 persen dari total pembiayaan.

Di Indonesia, jika bicara soal KPR, mau tidak mau dan suka tidak suka juga harus bicara Bank Tabungan Negara (BTN). KPR ya BTN, BTN ya KPR. Keduanya memang identik.

Menilik sejarah, BTN mendapatkan tugas dari pemerintah untuk membiayai proyek perumahan rakyat pada 1974 lalu, namun baru terwujud pada 10 Desember 1976 yang kemudian diperingati sebagai Hari KPR bagi BTN. Kala itu, BTN untuk pertama kalinya menyalurkan kredit perumahan pada sembilan debitur di daerah Tanah Mas, Semarang.

Sejak saat itu, BTN diberi kepercayaan pemerintah untuk menyalurkan dana untuk mempermudah dan memperluas akses pembiayaan perumahan bagi masyarakat, khususnya Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR). Dalam perjalanannya, Bank BTN pun menghadirkan program dan produk tidak hanya KPR subsidi tapi juga non subsidi serta kredit konstruksi yang mendukung perumahan.

Hingga kini BTN telah menyalurkan pembiayaan senilai Rp352 triliun dan mewujudkan rumah impian ke lebih dari lima juta keluarga di Indonesia. Dari keseluruhan pembiayaan KPR tersebut, sebanyak lebih 76 persen mengalir ke segmen KPR subsidi, sementara sisanya mengalir ke segmen KPR non subsidi.

Dengan pencapaian tersebut, bank yang dulunya bernama Postpaarbank itu telah menjadi kontributor utama pada Program Sejuta Rumah pemerintah dengan kontribusi rata-rata 60 persen per tahunnya, baik untuk pembiayaan kepemilikan maupun kredit konstruksi bagi pengembang.

Baca juga: Kementerian PUPR bakal terus dorong Program Sejuta Rumah rakyat

Program KPR atau Kredit Pemilikan Apartemen (KPA) juga selalu disesuaikan dengan segmen masyarakat, misalnya KPR Gaess for Millenial. Bahkan program KPR juga dibuat sedemikian rupa sesuai dengan peruntukannya, misalnya ke TNI Angkatan Darat, Peserta BP Jamsostek dan lain sebagainya.

Tahun ini, seiring dengan perekonomian nasional yang mulai pulih usai terimbas pandemi COVID-19, BTN pun tengah fokus menerapkan digitalisasi ekosistem pembiayaan perumahan atau digital mortgage ecosystem.

"Mortgage ecosystem merupakan upaya pengembangan bisnis yang berorientasi pada nasabah dengan menyediakan tidak hanya rumah tapi juga kelengkapannya, sehingga bisa menggandeng berbagai stakeholder untuk mengoptimalkan layanan," kata Haru Koesmahargyo yang hampir genap setahun menahkodai BTN.

Dalam ekosistem perumahan nasional, BTN berupaya menciptakan layanan one stop shopping perumahan di era digital. One stop shopping yang dimaksud adalah BTN menyediakan layanan digital mulai dari pencarian rumah, pembelian rumah, pembiayaan perumahan, pembangunan atau renovasi rumah, penyewaan, penjualan dan dukungan pembayaran utilitas di perumahan.

Kesiapan BTN dalam digital mortgage ecosystem sebenarnya sudah dimulai sejak 2015 di mana BTN merilis portal www.btnproperti.co.id disusul peluncuran website dan aplikasi www.rumahmurahbtn.co.id untuk penjualan rumah lelang. Keduanya kemudian ditingkatkan fiturnya, khusus BTN Properti yang telah diubah tampilannya sehingga memberikan pengalaman yang lebih baik bagi masyarakat untuk membeli dan mengajukan KPR atau KPA.

Teranyar, BTN meluncurkan aplikasi baru, yaitu Smart Residence yaitu aplikasi yang mempermudah hubungan antara penghuni dan pengelola dalam proses pembayaran tagihan, iuran, pertukaran informasi sampai dengan keluhan atau pengaduan. Aplikasi Smart Residence dapat mempermudah penghuni mengakses pengelola properti dan mempermudah pembayaran tagihan.

Kepala Center of Innovation and Digital Economy Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Nailul Huda menilai positif upaya digitalisasi ekosistem pembiayaan perumahan oleh BTN tersebut.

"Saya rasa memang bagus bagi BTN untuk adaptasi dengan digitalisasi. Sebenarnya kan untuk beberapa layanan digital yang ingin dikembangkan BTN sudah ada layanan milik swasta, namun masuknya BTN bisa menjadikan masyarakat hanya butuh satu aplikasi untuk semua layanan mengenai perumahan. Dan ini sesuatu yang positif," ujar Nailul.

Namun demikian, ia menyampaikan BTN juga perlu melihat target pangsa pasarnya, apakah memang pangsa pasar tersebut sudah mampu untuk menerima digitalisasi, atau pangsa pasar tersebut memang lebih senang langsung saja ke bank untuk mendapatkan layanan. Ia pun mewanti-wanti jangan sampai peningkatan digitalisasi tidak cocok dengan target pasarnya.

"Jadi masalah digitalisasi ini memang harus diimbangi dengan pangsa pasar yang cocok. Digitalisasi ini sebenarnya lebih cenderung ke segmen milenial, nah sekarang BTN harus bisa masuk ke segmen milenial karena milenial sekarang mungkin merasa lebih enak ngontrak," kata Nailul.

Baca juga: Menteri PUPR: Masyarakat MBR harus bisa miliki rumah layak huni
Ilustrasi - Pekerja menyelesaikan pembangunan rumah subsidi di Bogor, Jawa Barat. ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya/hp.


Rumah layak huni

Persepsi bahwa rumah bersubsidi memiliki kualitas rendah mungkin memang tak sepenuhnya benar, tapi masih menjadi rahasia umum di masyarakat.

Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) pun mengingatkan kepada pengembang hunian bersubsidi untuk memastikan produknya berkualitas sebab masih ada pengembang hunian bersubsidi yang tidak mematuhi kualitas bangunan dengan tidak mengantongi Sertifikat Laik Fungsi (SLF). Padahal sertifikat itu penting sebagai dasar pelaksanaan akad kredit.

Sejumlah hal yang menyebabkan tidak diterbitkannya SLF tersebut terkait dengan sejumlah temuan seperti ketersediaan air minum, jaringan listrik, dan utilitas di perumahan yang dibangun para pengembang. Bahkan ada temuan rumah yang belum dialiri listrik serta jauh dari angkutan umum. Pengembang diminta mematuhi kebijakan pemerintah daerah untuk memastikan hunian subsidi yang dibangunnya memenuhi standar kelayakan.

Hasil temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), dan Inspektorat Jenderal Kementerian PUPR juga menunjukkan masih adanya rumah KPR bersubsidi yang tidak sesuai tata ruang atau perizinan. Temuan lainnya yaitu terkait bank pelaksana seperti keterlambatan penyaluran subsidi bantuan uang muka, keterlambatan penyetoran dana bergulir, tarif dana fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan (FLPP), serta adanya dua unit rumah KPR subsidi digabung menjadi satu rumah.

Baca juga: REI: Tren pertumbuhan properti perlu didukung insentif pemerintah

Pengamat properti Aleviery Akbar mengatakan kualitas rumah bersubsidi setidaknya harus memenuhi sejumlah kriteria seperti lokasi perumahan tidak banjir, tersedianya akses listrik, air, dan transportasi umum untuk warga bekerja atau anak-anak sekolah, serta konstruksi rumah yang kuat baik itu pondasi, atap rumah, lantai, dinding, dan lainnya.

"Pemerintah harus berkomunikasi baik dengan pengembang soal ketersediaan hal di atas, sebab dampaknya rumah yang dibangun dengan kualitas rendah tidak terhuni. Dampak lainnya pembayaran cicilan kredit ke bank akan terhenti atau bermasalah. Selain itu, pengembang tidak boleh asal bangun rumah bersubsidi di lokasi yang akan menimbulkan masalah. Inspeksi oleh pemda untuk memberikan izin harus benar-benar sesuai dengan persyaratan yang ditentukan," ujar Aleviery.

Pada 2022, Kementerian PUPR mengalokasikan program bantuan pembiayaan perumahan sebesar Rp28 triliun yang akan disalurkan melalui empat program subsidi perumahan yakni Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) sebanyak 200,000 unit, Bantuan Pembiayaan Perumahan Berbasis Tabungan (BP2BT) 24.426 unit, Subsidi Selisih Bunga (SSB) 769.903 unit, dan Subsidi Bantuan Uang Muka (SBUM) 200.000 unit.

Untuk penyaluran KPR bersubsidi pada tahun ini, Kementerian PUPR akan lebih fokus untuk mendorong para pemangku kepentingan, khususnya perbankan dan pengembang, agar memperhatikan kualitas perumahan. Untuk mewujudkan perumahan yang berkualitas tersebut, dibutuhkan dukungan dari BTN sebagai lembaga jasa keuangan serta BUMN yang sejak awal berkomitmen mendukung pemenuhan kebutuhan perumahan di Tanah Air.

BTN pun diharapkan dapat bersama-sama mengawasi kualitas dan menyediakan perumahan yang layak huni, serta terus melakukan pengawasan dan evaluasi dalam proses kepemilikan rumah melalui KPR yang dijalankan. Antara BTN, KPR, dan hunian layak untuk rakyat, memang sudah seyogyanya seiring sejalan.

Baca juga: PUPR berharap perluasan bantuan rumah ke MBR berpendapatan tidak tetap

Baca juga: BTN siap terapkan digitalisasi ekosistem pembiayaan perumahan

Baca juga: BTN akan rilis aplikasi permudah nasabah bayar tagihan terkait hunian