"Rencana pengadaan pesawat tempur, baik Rafale maupun F-15 EX beserta persenjataannya, merupakan salah satu langkah yang dilakukan oleh Pemerintah, yang harus dilihat dalam konteks pembangunan kekuatan komponen utama khususnya matra udara," kata Donny dalam webinar "Menyongsong Pesawat Rafale" di Jakarta, Kamis.
Menurut dia, kondisi kesiapan pesawat tempur di Indonesia dalam beberapa tahun belakangan ini mengalami kemunduran.
Pesawat tempur F5 Tiger tidak lagi dioperasionalkan dalam beberapa tahun terakhir dan belum ada penggantinya hingga saat ini. Begitu pun, pesawat Hawk 100/200 yang sudah berusia lebih dari 25 tahun, tambahnya.
"Dalam kondisi tingkat kesiapan yang rendah tentunya akan memasuki masa purna tugas beberapa tahun mendatang," tukasnya.
Saat ini, lanjutnya, Indonesia hanya mengandalkan 33 pesawat F-16 AM, BM, C dan D, yang sudah berusia lebih dari 30 tahun, serta 16 pesawat Sukhoi 27 dan 30 dengan usia hampir 20 tahun sebagai pesawat tempur utama.
"Keterbatasan beberapa suku cadang pesawat serta keterbatasan jenis dan jumlah peluru kendali juga menyebabkan kesiapan tempur pesawat F16 dan Sukhoi 27 dan 30 tidak maksimal," jelasnya.
Dengan kondisi yang demikian, maka menjadi kewajiban Kemhan untuk merencanakan pesawat tempur, yang akan bertugas di tahun 2030 dan 2040-an.
Proses pengadaan pesawat tempur beserta persenjataannya yang cukup panjang waktunya paling cepat 5 tahun mengharuskan pemerintah untuk mengadakannya pada Renstra 2020-2024, bila pesawat tempur tersebut akan dioperasionalkan pada tahun 2030-an.
"Kegagalan untuk mengadakan pesawat tempur beserta persenjataannya pada renstra ini akan menyebabkan semakin berkurangnya jumlah skadron udara yang siap tempur," katanya.
Dengan demikian, Rencana Strategis 2020-2024 merupakan periode kritis dalam upaya mempertahankan kesinambungan kemampuan skadron udara tempur.
Alasan pemilihan Perancis sebagai produsen Rafale, katanya, karena alat utama sistem pertahanan (alutsista) buatan Prancis kualitasnya tidak kalah dengan alutsista buatan negara maju lainnya; terlebih, Prancis mempunyai posisi tawar cukup netral.
"Posisi tawar Prancis di kancah internasional dan politik luar negerinya yang relatif lebih netral dibandingkan dengan negara Eropa, ini menjadikan Perancis menjadi satu pilihan sumber pengadaan alutsista bagi Indonesia," ujarnya.
Sementara itu, mantan Kepala Staf Angkatan Udara (Kasau) Marsekal TNI Purn. Chappy Hakim mengatakan pembelian 42 pesawat tempur generasi 4,5 dapat dikatakan memecahkan rekor jumlah pembelian pesawat terbang tempur sepanjang sejarah Indonesia pascatahun 1965.
Menurut Chappy, pembelian pesawat tempur Rafale itu merupakan bagian dari penguatan sistem pertahanan Indonesia.
"Pesawat itu merupakan salah satu sub sistem dari sebuah sistem besar pertahanan udara," katanya.
Dengan demikian, proses pengadaan pesawat tempur pada hakikatnya sebuah upaya meningkatkan kemampuan sistem pertahanan udara nasional.
Chairman Pusat Studi Air Power Indonesia ini pun mengingatkan soal kontrak pembelian pesawat Rafale itu. Dia mengatakan perlu dipelajari terkait pengadaan yang sedikit bermasalah saat India melakukan pembelian Rafale pada tahun 2016.
Ketika itu, tambahnya, dicapai perjanjian dalam proses pengadaan sejumlah 36 pesawat Rafale oleh India.
Persetujuannya 50 persen dari nilai kontrak akan menjadi nilai offset yang menjadi kewajiban pihak Dassault Aviation sebagai pabrik pesawat terbang Rafale.
Namun, sengketa yang mencuat itu belum begitu jelas terekspos di media.