Jakarta (ANTARA) - Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Fadli Ramadhanil mengungkapkan bahwa pihaknya sangat menyayangkan keputusan DPR yang hanya memilih satu orang perempuan sebagai anggota di KPU dan Bawaslu.

“Dengan tersedianya calon anggota KPU dan Bawaslu perempuan yang kompeten dan berintegritas, Komisi II DPR punya kesempatan melaksanakan mandat UU Pemilu untuk memilih 30 persen perempuan dari komposisi anggota KPU dan Bawaslu,” kata Fadli ketika dikonfirmasi oleh ANTARA dari Jakarta, Kamis.

Tidak hanya tersedia calon yang kompeten, publik pun secara aktif menyuarakan dorongan mereka agar kuota 30 persen perempuan di Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) dapat terpenuhi.

Baca juga: Komisi II DPR tetapkan tujuh anggota KPU RI

Akan tetapi, Komisi II DPR akhirnya memilih satu orang perempuan untuk menjadi anggota KPU, yakni Betty Epsilon Idroos, serta satu orang perempuan untuk menjadi anggota Bawaslu, yakni Lolly Suhenty.

“Adanya Ketua DPR perempuan untuk pertama kalinya ternyata juga tidak berdampak signifikan terhadap sikap politik di parlemen, terhadap pemenuhan keterwakilan perempuan di KPU dan Bawaslu,” ucapnya.

Fadli juga merasa bahwa proses pemilihan anggota KPU dan Bawaslu saat ini berbeda dengan pemilihan saat dua periode yang lalu. Pada tahun 2012 dan 2017, kata dia, publik bisa melihat secara langsung proses pemungutan suara yang dilakukan oleh Komisi II saat memilih anggota KPU dan Bawaslu.

Akan tetapi, dini hari, pemilihan dilakukan secara tertutup yang tidak dapat disaksikan oleh publik sehingga menjadi pertanyaan bagaimanakah metode penentuan ranking yang dibuat.

Lebih lanjut, ia mengingatkan bahwa Pemilu 2024 memiliki tantangan yang sangat berat dan kompleks. Salah satunya adalah menghadapi himpitan tahapan Pemilu dan Pilkada. Penyelenggara pemilu yang baru harus mampu mengatur tantangan tersebut dengan sedemikian rupa.

“Penyelenggara pemilu terpilih mesti merancang manajemen pemilu yang efektif, rasional, dan transparan, sehingga pelaksanaan pemilu dan pilkada tetap berada dalam koridor nilai-nilai demokrasi dan berintegritas,” ucapnya.

Sebagai penyelenggara pemilu, mereka akan menghadapi ujian integritas sepanjang waktu. Sebab, perbuatan yang melanggar integritas tidak hanya akan merusak individu penyelenggara, tetapi juga kepercayaan terhadap penyelenggaraan pemilu dan merusak demokrasi Indonesia.

“Jangan sampai kasus Wahyu Setiawan terulang. Ini yang harus dijaga betul oleh anggota KPU dan Bawaslu terpilih,” kata Fadli.

Baca juga: Komisi II DPR menetapkan lima anggota Bawaslu RI
Baca juga: Profil tujuh anggota KPU periode 2022-2027
Baca juga: Profil lima anggota Bawaslu RI periode 2022-2027