Jakarta (ANTARA) - Tidak ada yang dapat memberi kepastian sudah sejauh apa bibit-bibit radikal berkembang di Indonesia. Barangkali, saat ini, cikal bakal pelaku tindak pidana terorisme telah sedekat nadi.
Namun, tak ada yang menyadarinya. Terlebih, dengan keterlibatan anak di bawah umur yang mulai menjadi tren. Anak di bawah umur merupakan SDM baru atau ‘sumber daya mudah’ bagi para perekrut tindak pidana terorisme.
Mitra Deradikalisasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Iqbal Khusaini mengungkapkan bahwa mereka, para anak di bawah umur, cenderung lebih mudah untuk direkrut dan lebih lincah dalam melakukan perintah.
Apalagi, Gen Z yang ia sebut sebagai generasi ‘galau’ menjalani hidup berdampingan dengan media sosial. Hal ini memudahkan para pelaku tindak pidana terorisme untuk memengaruhi mereka dan menarik para generasi muda ke dalam jerat radikalisme. Paham yang merupakan jantung dari gerakan terorisme.
Berbagai konten radikal seolah memberi jawaban bagi gundah gulana yang para anak muda alami ketika berselancar di media sosial. Konten-konten tersebut lantas membentuk pola pikir mereka, bahkan memunculkan persepsi tersendiri akan ajaran-ajaran agama yang mereka peroleh dari kegiatan di dunia maya.
Lebih lanjut, anak di bawah umur, khususnya dalam rentang usia 12—15 tahun, tidak begitu mudah untuk terdeteksi oleh instrumen keamanan, misalnya oleh para aparat penegak hukum. Kelengahan para aparat keamanan memberikan celah bagi mereka untuk berkembang dan bahkan melancarkan aksinya.
Dengan demikian, mereka merupakan ancaman keamanan yang serius bagi masyarakat. Para pelaku teror kini bermanifestasi dalam wujud seorang anak kecil yang terdahulu tidak diragukan keluguannya.
Keresahan pun mulai bangkit di tengah masyarakat. Berbagai diskusi publik turut bermunculan, baik yang mendiskusikan cara mencegah dan mengenali anak muda yang telah terpapar oleh pengaruh radikal maupun yang menyatakan bahwa sesungguhnya para pelaku tindak pidana terorisme di bawah umur merupakan sosok yang tidak sadar bahwa dirinya adalah korban.
Yang mereka ketahui adalah mereka mengabdi di dalam sebuah perjuangan demi mempertahankan paham yang mereka percayai.
Baca juga: BNPT terapkan konsep pentahelix untuk cegah terorisme dan radikalisme
Baca juga: Bupati Bantul: Pencegahan terorisme jadi tanggung jawab bersama
Media Sosial
Psikolog Detasemen Khusus (Densus) Mabes Polri Inspektur Polisi Satu (Iptu) Sidik Laskar mengatakan bahwa anak sebagai pelaku teror tidak terlepas dari lingkungan kehidupan sosial yang terbentuk dalam masa perkembangannya.
Kondisi kejiwaan anak yang masih labil, kata Laskar, memudahkan doktrin hal-hal yang bersifat radikal. Masa keemasan anak-anak merupakan masa mereka lebih banyak mendengar, memperhatikan, dan menyerap seluruh ilmu atau masukan yang ada di sekitar mereka.
Laskar juga menjelaskan bahwa mereka cenderung memiliki daya ingat yang cukup baik ketika ada hal-hal buruk atau hal-hal negatif yang masuk ke dirinya, termasuk konten-konten bernuansa negatif yang berada di media sosial.
Dahulu, orang tua, teman sebaya, dan lingkungan masyarakat mungkin menjadi tiga unsur terdekat yang dapat mengakibatkan seorang anak di bawah umur terjerumus ke jurang radikalisme. Namun, dengan perkembangan teknologi yang saat ini sedang berlangsung, para penganut paham radikalisme mengintai target baru mereka melalui media sosial.
Meskipun orang tua, teman sebaya, dan lingkungan masyarakat di sekitar anak tidak menganut paham radikal, paparan pengetahuan dan konten media sosial yang bernuansa penuh kebencian dapat menjadi pemicu ketertarikan mereka terhadap dunia radikalisme dan berpangkal pada terorisme.
Apalagi, kehadiran Facebook, Telegram, atau media sosial lain yang memungkinkan interaksi dua arah dapat semakin menarik seseorang untuk terlibat di dalam paham radikalisme dan membentuk suatu komunitas. Sebuah perkumpulan yang menjadi wadah pertukaran berbagai literasi, diskusi, hingga sudut pandang tentang paham radikalisme.
Tidak terbatas pada menemukan rekan untuk berdiskusi, anak-anak pada usia remaja awal juga cenderung mencari figur kharismatik yang dapat menjadi idola bagi mereka. Sebagaimana yang telah diucapkan oleh Iqbal sebelumnya, remaja membutuhkan seseorang yang dapat menjadi pegangan ketika mereka sedang dilanda oleh kebingungan.
Berbagai forum diskusi di dunia maya juga menjadi kontributor terhadap perkembangan paham ini. Melalui forum diskusi, para anak muda yang masih dipenuhi oleh rasa penasaran dapat semakin menggali informasi dan memuaskan rasa keingintahuan mereka.
Laskar mengungkapkan bahwa beberapa topik yang paling sering menjadi konten adalah perkembangan gerakan-gerakan jihad di Timur Tengah, serta perkembangan aksi-aksi ekstremis yang pernah dipaparkan oleh lingkungan sekitarnya.
Berbagai konten ekstrem tersebut memiliki tujuan untuk memupuk rasa ketidakpuasan, ketidakadilan, balas dendam, serta menanamkan perbedaan identitas antara ‘kita’ dan ‘mereka’ yang lebih lanjut menjadi landasan bagi para pelaku tindak pidana terorisme untuk menyerang orang lain.
Baca juga: Kemen PPPA: Anak-anak rentan jadi target rekrutmen kelompok teroris
Baca juga: Kapolri inginkan Densus tingkatkan kemampuan tangani terorisme
Karakteristik Anak Terpapar
Karakteristik yang paling familier bagi masyarakat adalah perilaku antitoleransi dan antibudaya dalam hidup beragama. Akan tetapi, terdapat karakteristik lainnya yang menandakan bahwa anak telah terpapar oleh doktrin radikalisme.
Laskar menjelaskan, anak yang sudah terpapar paham radikal acap kali mendikte orang tuanya mengenai paham agama, seolah dirinya merupakan sosok yang paling ahli mengenai ajaran tersebut. Anak yang telah terpapar, biasanya, akan mendikte orang tua mereka dengan ajaran-ajaran yang mereka peroleh dari media sosial atau internet dengan validitas yang tidak jelas.
Lebih lanjut, mereka cenderung sensitif terhadap hal-hal yang bersifat pemerintahan. Hal ini merupakan akibat dari paparan konten yang memicu rasa kebencian terhadap negara, bukan hanya kepada pemerintah.
Kebencian yang kian menjadi-jadi bahkan mengakibatkan seseorang untuk berbaiat atau melantik diri mereka sendiri menjadi ‘pasukan’ tanpa harus dibayar oleh senior dari organisasi radikal tempat mereka bernaung.
Mereka yang berbaiat sendiri bahkan berpotensi menjadi pasukan yang berdiri sendiri tanpa bergabung dengan organisasi mana pun.
Lebih lanjut, anak yang terpapar radikalisme cenderung tidak ingin bersekolah di sekolah negeri atau umum, kurang bersosialisasi dengan teman sebayanya yang berasal dari keluarga berbeda pemahaman, serta enggan mengikuti kegiatan yang bersifat nasionalis, seperti upacara bendera, lomba 17 Agustus, hingga menolak untuk hormat kepada bendera Merah Putih.
Anak yang terpapar juga cenderung selektif dalam memakan hewan sembelihan yang berasal dari orang-orang tidak dikenal.
Keterlibatan anak di bawah umur menunjukkan kepada publik bahwa paham radikal telah menyerang hingga ke lapisan akar rumput. Bahkan, tidak menutup kemungkinan ajaran radikal sudah memengaruhi para calon pemimpin bangsa yang akan mengawal Indonesia mewujudkan visi Indonesia Emas 2045.
Sudah saatnya orang dewasa, khususnya orang tua, menjadi lebih selektif dan memperhatikan konten apa saja yang menjadi konsumsi dari anak-anak di sekitar mereka. Hal ini merupakan salah satu upaya untuk menangkal hal-hal negatif yang dapat memengaruhi pola pikir anak.
Demi membangun generasi muda yang berkualitas dan bebas radikalisme menuju Indonesia Emas 2045.
Artikel
Jerat radikalisme pada anak di bawah umur
Oleh Putu Indah Savitri
17 Februari 2022 17:36 WIB
Ilustrasi penolakan terhadap aksi terorisme dan radikalisme. ANTARA FOTO/Maulana Surya/foc./aa.
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2022
Tags: