Jakarta (ANTARA News) - Pemerintah telah menyiapkan langkah-langkah mitigasi sebagai upaya antisipasi terhadap kemungkinan terjadinya gejolak ekonomi akibat krisis yang melanda Amerika Serikat (AS) dan Eropa.

"Pemerintah tetap akan mewaspadai dampak perekonomian global dengan berbagai upaya mitigasi krisis melalui percepatan penyerapan anggaran, stabilisasi pasar menggunakan sisa anggaran lebih dan buyback surat berharga negara oleh BUMN melalui bond stabilisation framework," ujar pelaksana tugas Kepala Badan Kebijakan Fiskal Bambang Brodjonegoro dalam jumpa pers terkait kondisi perekonomian terkini di Jakarta, Selasa.

Ia mengatakan manajemen protokol krisis ini juga dibantu melalui alokasi dana mitigasi dalam APBN Perubahan 2011 dan akan berlaku efektif apabila indikator telah menunjukkan krisis mulai tiba.

"Ada beberapa tahapan, apabila pasar siaga, kita bisa melakukan buyback dengan dana APBN, atau menggunakan SAL. Itu berdasarkan indikator misal harga Surat Berharga Negara turun sekian basis poin, dan ketika imbal hasilnya turun berapa basis poin, kita harus melakukan apa," ujar Bambang.

Bambang mengatakan fundamental perekonomian Indonesia saat ini dalam kondisi baik dan kuat walaupun Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) masih tertekan dan nilai tukar rupiah sempat melemah.

"Rupiah terdepresiasi masih sangat manageable karena masih pada kisaran Rp8500an. Itu cukup melegakan karena biasanya kalau bursa terpengaruh, nilai tukar juga terpengaruh signifikan. Saat ini bursa terpengaruh signifikan tapi rupiah terkontrol," kata dia.

Menurut dia, seluruh bursa global sedang mengalami pelemahan sebagai dampak kekhawatiran pelemahan ekonomi AS dan masalah krisis utang Eropa yang belum tuntas.

"Selain itu Jepang dan China masih menghadapi resiko. Sektor industri dan ekspor Jepang masih melemah pasca bencana tsunami. Sedangkan sektor manufaktur China masih menunjukkan perlambatan dengan inflasi Juni mencapai 6,4 persen," katanya.

Sementara, ia mengatakan, apabila beberapa negara mengalami penurunan pertumbuhan PDB pada triwulan II 2011, Indonesia tetap tumbuh 6,5 persen.

"AS mengalami pelambatan hanya 1,6 persen pada triwulan II dan ini mencerminkan rendahnya penyerapan tenaga kerja," ujar Bambang.

Rasio Utang Indonesia, lanjut Bambang, juga masih dalam tingkat aman sekitar 26 persen terhadap PDB, dibandingkan AS yang mencapai 100 persen, Yunani 147,3 persen, Portugal 103,1 persen, Irlandia 102,4 persen, Italia 124,8 persen dan Jepang 227,4 persen.

"Jepang, AS, menunjukkan tingkat yang mengkhawatirkan, China menyimpan potensi utang yang sangat besar dari perusahaan milik negara. Indonesia kemungkinan akhir tahun 25 persen, maka kita boleh lega tidak ada ancaman terhadap kemampuan Indonesia memenuhi kewajiban utang," kata Bambang.

Sedangkan defisit anggaran terhadap PDB Indonesia juga masih rendah mencapai 0,67 persen pada 2010 dan menurut rencana ditargetkan 2,1 persen pada 2011, jauh dibawah defisit AS 9,1 persen dan negara-negara Eropa yang bermasalah dengan utang.

"Ini menjelaskan pengelolaan kita lebih prudent daripada negara-negara maju di dunia maupun negara-negara emerging economies," ujarnya.

Namun, ia mengatakan menurunnya permintaan barang-barang produksi di AS, Eropa dan Jepang bisa berpengaruh terhadap ekspor Indonesia serta berdampak pada menurunnya permintaan minyak mentah dunia.

"Kalau AS karena kejadian ini mengalami pertumbuhan ekonomi lebih rendah dan lebih pelan, maka otomatis mungkin ada gangguan ekspor dari Indonesia ke AS," kata Bambang.(*)

(T.S034/S006)