Jakarta (ANTARA News) - Kejaksaan Agung (Kejagung) mengaku sudah menerima salinan putusan Mahkamah Konstitusi (MA) yang mengabulkan sebagian permohonan mantan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM), Yusril Ihza Mahendra, yang menguji Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

"Vonis MK itu baru dilihat tadi Selasa (9/8) pagi. Kami pelajari dahulu," kata Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Noor Rachmad, di Jakarta, Selasa.

MK mengabulkan sebagian permohonan mantan Menteri Hukum dan HAM Yusril Ihza Mahendra yang menguji Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

"Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian," kata Ketua Majelis Hakim MK Mahfud MD, saat membacakan putusan di Jakarta, Senin (8/8).

Mahfud yang didampingi delapan hakim konstitusi lainnya, menyatakan bahwa Pasal 1 angka 26 dan angka 27; Pasal 65; Pasal 116 ayat (3) dan ayat (4), serta Pasal 184 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP bertentangan dengan UUD 1945.

"Sepanjang pengertian saksi dalam Pasal 1 angka 26 dan angka 27, Pasal 65, Pasal 116 ayat (3) dan ayat (4), Pasal 184 ayat (1) huruf a KUHAP tidak dimaknai termasuk pula orang yang dapat memberikan keterangan dalam rangka penyidikan, penuntutan, dan peradilan suatu tindak pidana yang tidak selalu ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri," kata Mahfud.

Gugatan Yusril ini terkait permintaan kehadiran Jusuf Kalla, Kwik Kian Gie, Megawati dan Susilo Bambang Yudhoyono yang ditolak oleh pihak Kejaksaan Agung.

Yusril mengatakan bahwa para saksi dinilai mengetahui tentang kebijakan Sisminbakum, karena Yusril telah dijadikan tersangka oleh Kejaksaan Agung sejak 24 Juni 2010.

Mantan Menteri Sekretaris Negara tersebut diduga terlibat dalam kasus korupsi sistem administrasi badan hukum.
(T.R021/P003)