Ekonom: Eskalasi Rusia dan Ukraina dapat untungkan Indonesia
16 Februari 2022 15:28 WIB
Tank tempur utama T-72B3 Rusia terlihat selama latihan yang diadakan oleh angkatan bersenjata Distrik Militer Selatan di jajaran Kadamovsky di wilayah Rostov, Rusia, 27 Januari 2022. (ANTARA/Reuters/Sergey Pivovarov/as)
Jakarta (ANTARA) - Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Yusuf Rendy Manilet menilai eskalasi hubungan Rusia dan Ukraina akan mempengaruhi harga minyak dunia sehingga menguntungkan Indonesia terutama dalam hal penerimaan negara.
“Jika tren harga minyak yang saat ini berada pada kisaran 90 USD/barel untuk WTI (West Texas Intermediate) berlanjut, tentu ini akan semacam menjadi faktor windfall (keuntungan tak terduga) bagi penerimaan negara karena asumsi makro harga minyak yang disepakati sebelumnya (dalam APBN 2022) ada pada harga 63 USD/barel,” kata dia ketika dihubungi Antara, Jakarta, Rabu.
Namun, di balik faktor blessing in disguisse (berkah terselubung), kenaikan harga komoditas tersebut berpeluang mendorong kenaikan inflasi domestik.
Hal ini dapat terjadi apabila kenaikan harga minyak global direspon oleh otoritas terkait dengan menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) di dalam negeri.
Di sisi lain, sebagai negara net importir, Indonesia berpotensi mendorong naiknya nilai impor minyak.
“Sentimen juga bisa berdampak jika serangan betul-betul terjadi. Artinya, dengan terlibatnya Rusia dalam perang dengan Ukraina, berpotensi besar dalam menggerek harga komoditas global,” ungkapnya.
Baca juga: Analis: Minyak bisa sentuh 100 dolar karena krisis Rusia-Ukraina
Yusuf berpendapat bahwa sensitivitas eskalasi memiliki korelasi erat dengan naik-turunnya harga minyak dunia.
Misalnya, harga minyak sempat turun di level sangat terbatas disebabkan adanya sentimen dari Rusia yang menyatakan tidak akan menyerang Ukraina dan hanya menginginkan negosiasi. Bahkan, ucapnya, negara yang dijuluki Beruang Putih itu mengklaim telah menarik pasukan dari perbatasan Rusia dan Ukraina.
“Namun setelah klaim ini diragukan oleh Amerika Serikat, kenaikan harga minyak kembali terjadi,” ujar dia.
Sebagai salah satu eksportir produk komoditas utama seperti minyak dan gas, dinamika yang dialami Rusia juga akan mempengaruhi beberapa harga komoditas tersebut.
Seperti kejadian beberapa bulan lalu, dikatakan ekspor gas dari Rusia yang mengalami hambatan pada akhirnya mendorong permintaan batu bara oleh sejumlah negara, termasuk China, untuk mengisi sumber daya energi.
Baca juga: Minyak melonjak, khawatir serangan Rusia ke Ukraina segera terjadi
Pada saat itu, harga batu bara bahkan sempat menyentuh harga tertinggi dalam 10 tahun terakhir.
Kondisi ini akhirnya menguntungkan ekspor Indonesia karena batu bara merupakan salah satu komoditas utama tanah air.
“Pertumbuhan ekspor hasil pertambangan yang mencatatkan pertumbuhan 74 persen sepanjang tahun 2021 tidak terlepas dari kinerja ekspor dari komoditas batu bara,” ucap ekonom CORE tersebut.
Baca juga: Minyak tembus 90 dolar AS, pertama sejak 2014 dipicu ketegangan Rusia
Baca juga: Penerimaan negara dari subsektor migas capai Rp81,90 triliun
“Jika tren harga minyak yang saat ini berada pada kisaran 90 USD/barel untuk WTI (West Texas Intermediate) berlanjut, tentu ini akan semacam menjadi faktor windfall (keuntungan tak terduga) bagi penerimaan negara karena asumsi makro harga minyak yang disepakati sebelumnya (dalam APBN 2022) ada pada harga 63 USD/barel,” kata dia ketika dihubungi Antara, Jakarta, Rabu.
Namun, di balik faktor blessing in disguisse (berkah terselubung), kenaikan harga komoditas tersebut berpeluang mendorong kenaikan inflasi domestik.
Hal ini dapat terjadi apabila kenaikan harga minyak global direspon oleh otoritas terkait dengan menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) di dalam negeri.
Di sisi lain, sebagai negara net importir, Indonesia berpotensi mendorong naiknya nilai impor minyak.
“Sentimen juga bisa berdampak jika serangan betul-betul terjadi. Artinya, dengan terlibatnya Rusia dalam perang dengan Ukraina, berpotensi besar dalam menggerek harga komoditas global,” ungkapnya.
Baca juga: Analis: Minyak bisa sentuh 100 dolar karena krisis Rusia-Ukraina
Yusuf berpendapat bahwa sensitivitas eskalasi memiliki korelasi erat dengan naik-turunnya harga minyak dunia.
Misalnya, harga minyak sempat turun di level sangat terbatas disebabkan adanya sentimen dari Rusia yang menyatakan tidak akan menyerang Ukraina dan hanya menginginkan negosiasi. Bahkan, ucapnya, negara yang dijuluki Beruang Putih itu mengklaim telah menarik pasukan dari perbatasan Rusia dan Ukraina.
“Namun setelah klaim ini diragukan oleh Amerika Serikat, kenaikan harga minyak kembali terjadi,” ujar dia.
Sebagai salah satu eksportir produk komoditas utama seperti minyak dan gas, dinamika yang dialami Rusia juga akan mempengaruhi beberapa harga komoditas tersebut.
Seperti kejadian beberapa bulan lalu, dikatakan ekspor gas dari Rusia yang mengalami hambatan pada akhirnya mendorong permintaan batu bara oleh sejumlah negara, termasuk China, untuk mengisi sumber daya energi.
Baca juga: Minyak melonjak, khawatir serangan Rusia ke Ukraina segera terjadi
Pada saat itu, harga batu bara bahkan sempat menyentuh harga tertinggi dalam 10 tahun terakhir.
Kondisi ini akhirnya menguntungkan ekspor Indonesia karena batu bara merupakan salah satu komoditas utama tanah air.
“Pertumbuhan ekspor hasil pertambangan yang mencatatkan pertumbuhan 74 persen sepanjang tahun 2021 tidak terlepas dari kinerja ekspor dari komoditas batu bara,” ucap ekonom CORE tersebut.
Baca juga: Minyak tembus 90 dolar AS, pertama sejak 2014 dipicu ketegangan Rusia
Baca juga: Penerimaan negara dari subsektor migas capai Rp81,90 triliun
Pewarta: M Baqir Idrus Alatas
Editor: Subagyo
Copyright © ANTARA 2022
Tags: