Jakarta (ANTARA) - Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia mengingatkan aspek techno-commercial yang akan dirancang oleh PLN tidak mempengaruhi harga listrik Energi Baru Terbarukan (EBT) menjadi terlalu tinggi.

Ketua Komite Tetap Energi Baru dan Terbarukan Kadin Muhammad Yusrizki dalam pernyataan di Jakarta, Rabu, menyatakan aspek techno-commercial untuk kebutuhan energi hijau ini sedang menjadi fokus perhatian dunia usaha.

"Jangan sampai untuk alasan mengejar penetrasi EBT yang tinggi, akhirnya membuat harga listrik EBT akan menjadi terlalu tinggi," katanya.

Saat ini, PLN sedang menyiapkan rancangan program De-Dieselisasi untuk menekan konsumsi BBM, mengurangi impor energi Indonesia serta meningkatkan bauran energi terbarukan.

Untuk itu, PLN merencanakan untuk melakukan konversi Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) ke pembangkit EBT dengan total kapasitas pembangkit PLTD sampai dengan 499 MW.

Pada tahap pertama, yang akan dimulai oleh PLN dalam waktu dekat, total kapasitas PLTD yang akan di konversi mencapai 250MW. Sementara tahap kedua, yang masih dalam kajian PLN, kapasitas PLTD yang akan dikonversi 249MW.

PLN juga menyatakan bahwa untuk mendorong kompetisi dan inovasi, pada proses pengadaan pembangkit EBT terkait De-Dieselisasi PLN tidak akan membatasi teknologi PLTS maupun battery.

Dengan demikian, kondisi ini akan memberikan ruang bagi pengembang untuk membawa teknologi-teknologi baru tidak terbatas pada teknologi battery VLRA ataupun lithium, tetapi juga teknologi baru seperti vanadium redox flow.

Untuk itu, Yusrizki menekankan bahwa program De-Dieselisasi PLN merupakan program EBT pertama dalam beberapa tahun dengan kapasitas yang masif dan memiliki kepentingan nasional yang sangat kuat.

"Oleh karena itu Kadin mengajak PLN dan dunia usaha untuk bersama-sama mengawal aspek-aspek techno-commercial sehingga inisiatif PLN ini menjadi inisiatif yang feasible dan terutama investable," katanya.

Menurut dia, Program De-Dieselisasi ini juga memberikan jalan untuk pasar Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) yang besar di Indonesia dan regulasi sudah seharusnya mendukung dan memberikan jalan bagi program PLN.

Yusrizki pun meyakinkan KADIN untuk mendukung industri nasional sekaligus harus realistis mengingat pabrikan lokal hanya mampu memberikan kandungan lokal hingga 40 persen-42 persen untuk kebutuhan panel surya.

Padahal, menurut dia, dalam Peraturan Menteri Perindustrian, tingkat komponen dalam negeri untuk kebutuhan panel surya harus mencapai 60 persen pada 2022.

"Mari kita sesuaikan regulasi itu dengan realitas yang ada, lalu bersama-sama kita cari jalan untuk meningkatkan tingkat komponen dalam negeri dan nilai tambah domestik," kata Yusrizki.

Dalam kesempatan ini, Direktur Mega Proyek dan Energi Baru Terbarukan PT PLN (Persero) Wiluyo Kusdwiharto mengharapkan KADIN dapat menjembatani komunikasi dengan Kementerian Perindustrian terkait program energi hijau.

Salah satunya terkait fleksibilitas penggunaan tingkat komponen dalam negeri dalam program De-Dieselisasi mengingat industri nasional tidak boleh hanya menjadi penonton.

“Ketentuan TKDN yang ada saat ini tidak perlu dihilangkan, kita dukung industri nasional, tetapi PLN berharap KADIN dapat menjembatani diskusi dengan Kementerian Perindustrian sehingga ada fleksibilitas TKDN," katanya.

Baca juga: PLN tingkatkan efisiensi pembangkit listrik Jawa-Bali
Baca juga: PLN proyeksi EBT isi kekurangan energi listrik 230 GW hingga 2060
Baca juga: Kadin: Industri saat ini lebih siap hadapi Omicron
Baca juga: Kadin akan amplifikasi isu net zero via B20 Indonesia Summit