Jakarta (ANTARA) - Associate Researcher pada Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Ajisatria Suleiman menilai adanya urgensi peningkatan literasi keuangan seiring tingginya animo masyarakat untuk berinvestasi pada instrumen-instrumen keuangan baru.

Literasi tersebut merupakan bentuk perlindungan konsumen agar masyarakat benar-benar memahami profil risiko dari produk keuangan yang diambil.

“Yang dibutuhkan ke depan adalah pengetahuan masyarakat terkait cara kerja produk-produk investasi, dan agar tidak mudah tergiur keuntungan cepat. Literasi dibutuhkan sejak dini, sejak dari sekolah. Oleh karena itu, agar optimal perlu kerja sama lebih erat antara regulator, industri, dan instansi pendidikan,” kata Ajisatria dalam keterangannya di Jakarta, Selasa.

Penguasaan literasi keuangan itu pun mengacu pada Peraturan OJK nomor 1 / POJK.7/ tahun 2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan, perlindungan konsumen menerapkan beberapa prinsip yaitu transparansi, perlakuan yang adil, keandalan, kerahasiaan dan keamanan data konsumen dan penanganan pengaduan serta penyelesaian sengketa konsumen secara sederhana, cepat dan dengan biaya yang terjangkau.

Ia menjelaskan bahwa implementasi dari prinsip-prinsip tersebut antara lain adalah konsumen berhak mendapatkan informasi yang jelas dan akurat terkait sebuah produk jasa keuangan. Para tenaga pemasar juga bertanggung jawab untuk menyampaikan semua informasi yang dibutuhkan konsumen guna menghindari kesalahpahaman yang mungkin saja terjadi di kemudian hari.

Konsumen berhak mengakses semua pelayanan dan produk jasa keuangan yang sesuai dengan kemampuan mereka. Perusahaan penyedia jasa keuangan juga bertanggung jawab atas kerahasiaan data dan informasi para nasabahnya.

“Konsumen juga berhak mengajukan pengaduan terkait transaksi yang ia lakukan yang berhubungan dengan jasa keuangan. Pengaduan ini harus direspon oleh pihak penyedia jasa dengan cepat dan solutif,” jeas Ajisatria.

Terkait kasus binary option, Ajisatria mengatakan, harus dilihat penggunaan dana tersebut memang benar digunakan untuk membeli produk option atau justru digunakan untuk membayar downline sebagaimana marak terjadi dalam skema piramida atau bahkan digunakan untuk kepentingan pribadi upline/influencer.

“Prinsipnya skema piramida itu dilarang, karena menggunakan tipu muslihat untuk menarik dana dari orang lain untuk dipergunakan untuk kepentingan lain / kepentingan pribadi. Ini tergolong penggelapan, dan juga tegas dilarang di UU Perdagangan dan sanksinya pidana,” tegasnya.

Atas dasar itu, lanjutnya, regulator berwenang untuk mengatur kegiatan perdagangan efek atau option. Bagi yang tidak terdaftar maka dianggap sebagai produk investasi ilegal dan dapat dipidanakan.

Adapun teknologi mendorong lahirnya produk investasi baru yang semakin beragam dan memudahkan masyarakat membeli produk tersebut dengan harga yang sangat terjangkau. Di tahun 2021, terjadi perkembangan pesat dalam jumlah investor ritel di Bursa Efek Indonesia. Diperkirakan perkembangan terjadi lebih pesat untuk investor produk aset kripto.

“Investor ritel perlu mendalami produk-produk ini agar berinvestasi yang sesuai dengan karakter risiko dan tujuan investasi. Literasi juga dibutuhkan agar investor ritel mampu melakukan diversifikasi produk yang bersifat spekulasi jangka pendek dengan investasi jangka panjang,” ujar dia.

Baca juga: Pengamat: Kasus "binary option" karena kurangnya literasi keuangan
Baca juga: Penguatan literasi keuangan bantu akses ultra mikro ke keuangan formal
Baca juga: OJK terbitkan 19 modul terkait literasi keuangan digital
Baca juga: OJK ingatkan perbankan untuk perkuat literasi keuangan digital