Wali Kota Bandung: Ormas Islam Menolak Revisi Perda
6 Agustus 2011 10:05 WIB
Seorang konsumen menunjukkan tiga jenis minuman beralkohol golongan A dengan label "Khusus Kawasan Bebas" yang dijual secara ilegal di luar Kawasan Perdagangan Babas dan Pelabuhan Bebas. (FOTO ANTARA/Henky Mohari)
Bandung (ANTARA News) - Wali kota Bandung Dada Rosada mengatakan Organisasi masyarakat (Ormas) Islam di Bandung menolak akan permintaan revisi peraturan daerah (Perda) tentang minuman keras (Miras) yang dilayangkan oleh Mendagri (Mentri Dalam Negeri) Indonesia.
"Kemarin Ormas Islam mengatakan kalau Perda tersebut jangan direvisi karena dianggap tidak ada yang bertentangan dengan kondisi saat ini," katanya.
Kepada wartawan, di Bandung, Sabtu, ia mengatakan akan membicarakan lebih lanjut mengenai masalah tersebut dengan DPRD kota Bandung dan masyarakat.
"Dalam Perda miras tersebut memang ada minuman jenis tertentu yang harus harusnya dijual tapi tidak dijual meski begitu hanya diatur tempat jualnya saja," jelasnya.
Ia mengatakan, untuk minuman beralkohol jenis A memang ada pembatasan tempat jual karena kami tidak ingin kalau minuman beralkohol tersebut bisa bebas diminum siapa saja.
"Kalau diperbolehkan dijual di pasaran seperti warung-warung pinggiran maka dikhawatirkan akan banyak anak-anak di bawah umur mengkonsumsinya," papar Dada.
Selain itu, Dada mengatakan kalau surat yang diberikan Mendagri padanya tidak berisi sanksi atau teguran, hanya permintaan revisi saja.
Sebelumnya, anggota Komisi A DPRD Kota Bandung Lia Noer Hambali mengatakan kalau DPRD akan berusaha untuk mempertahankan Perda miras tersebut.
"Kita hanya membatasi penjualan jenis-jenis miras tersebut di pasaran karena dikhawatirkan bila miras tersebut bisa sembarang dikonsumsi masyarakat," jelas Lia.
Ia menekankan bila Perda ini tidak ada yang harus di revisi karena perda tersebut sesuai dengan kesepakatan warga Bandung dan pemerintah kota Bandung.
Sementara itu, dalam Surat Mendagri yang dikeluarkan pada 31 Maret 2011, Perda miras dianggap bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, yaitu Keputusan Presiden (Kepres) tentang Pengawasan dan Pengendalian Minuman Beralkohol.
Di dalam Kepres tersebut untuk jenis golongan Miras B dan C yang harus diawasi sedangkan untuk golongan A tidak termasuk dalam barang pengawasan dan bebas produksi.
"Kemarin Ormas Islam mengatakan kalau Perda tersebut jangan direvisi karena dianggap tidak ada yang bertentangan dengan kondisi saat ini," katanya.
Kepada wartawan, di Bandung, Sabtu, ia mengatakan akan membicarakan lebih lanjut mengenai masalah tersebut dengan DPRD kota Bandung dan masyarakat.
"Dalam Perda miras tersebut memang ada minuman jenis tertentu yang harus harusnya dijual tapi tidak dijual meski begitu hanya diatur tempat jualnya saja," jelasnya.
Ia mengatakan, untuk minuman beralkohol jenis A memang ada pembatasan tempat jual karena kami tidak ingin kalau minuman beralkohol tersebut bisa bebas diminum siapa saja.
"Kalau diperbolehkan dijual di pasaran seperti warung-warung pinggiran maka dikhawatirkan akan banyak anak-anak di bawah umur mengkonsumsinya," papar Dada.
Selain itu, Dada mengatakan kalau surat yang diberikan Mendagri padanya tidak berisi sanksi atau teguran, hanya permintaan revisi saja.
Sebelumnya, anggota Komisi A DPRD Kota Bandung Lia Noer Hambali mengatakan kalau DPRD akan berusaha untuk mempertahankan Perda miras tersebut.
"Kita hanya membatasi penjualan jenis-jenis miras tersebut di pasaran karena dikhawatirkan bila miras tersebut bisa sembarang dikonsumsi masyarakat," jelas Lia.
Ia menekankan bila Perda ini tidak ada yang harus di revisi karena perda tersebut sesuai dengan kesepakatan warga Bandung dan pemerintah kota Bandung.
Sementara itu, dalam Surat Mendagri yang dikeluarkan pada 31 Maret 2011, Perda miras dianggap bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, yaitu Keputusan Presiden (Kepres) tentang Pengawasan dan Pengendalian Minuman Beralkohol.
Di dalam Kepres tersebut untuk jenis golongan Miras B dan C yang harus diawasi sedangkan untuk golongan A tidak termasuk dalam barang pengawasan dan bebas produksi.
Editor: Ella Syafputri
Copyright © ANTARA 2011
Tags: