Moskow (ANTARA News/Xinhua-OANA) - Perdana Menteri Rusia Vladimir Putin tak melihat penyelesaian militer bagi konflik di Libya dan menyerukan dilancarkannya dialog politik di negeri itu, demikian laporan media setempat, Senin (1/8).

"Sangat diinginkan bahwa semua negara yang mengumpulkan sejumlah senjata menggunakan kekuatan sebagai unsur penahanan diri tapi tak menggunakannya secara sembrono. Penggunaan kekuatan takkan menghasilkan penyelesaian akhir, hanya proses politik diperlukan," kata Putin pada pertemuan pendukung mudanya di wilayah Tver.

Perdana Menteri Rusia itu juga mengakui ia tak sepenuhnya mengerti cara menafsirkan pernyataan NATO, yang mengatakan perhimpunan tersebut siap beraksi sampai akhir dalam konflik Libya.

"Mandat PBB tak memberi (NATO) hak untuk berperang melawan salah satu pihak dan mencapai kemenangan atas satu pihak. Mandat PBB memberi hak untuk melindungi warga sipil dari serangan udara salah satu pihak," Putin menegaskan sebagaimana dikutip Xinhua, yang dipantau ANTARA di Jakarta, Selasa.

Moskow telah lama menuduh NATO bertindak ke luar dari resolusi Dewan Keamanan PBB yang memberi mandat bagi zona larangan terbang di negara Afrika Utara tersebut.

Pemberontak Libya pada Ahad (31/7) menangkap sedikitnya 63 orang dalam upaya berkelanjutan untuk memperketat keamanan di kota Benghazi, bagian timur negeri itu, dan mengalahkan kelompok bersenjata yang setia kepada Muamar Gaddafi, kata seorang juru bicara.

Penangkapan itu terjadi dalam pertempuran sengit selama lima jam terhadap sebuah pabrik bom pinggir jalan, dan pemberontak mengatakan alasan operasi adalah sebuah kelompok bersenjata mendapat perintah dari pemerintah Gaddafi dan dicurigai dalam pembunuhan pemimpin militer mereka.

Pemberontak, yang bangkit melawan Gaddafi pada Februari, merebut beberapa daerah di negara itu, tapi tetap kurang perlengkapan dan masih jauh dari keberhasilan mengusirnya, meskipun ada dukungan dari serangan NATO. (C003)