Kemenkeu yakin obligasi RI masih menarik bagi investor global
10 Februari 2022 15:44 WIB
Tangkapan layar Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu dalam Taklimat Media, Kamis (10/2/2022). ANTARA/Sanya Dinda.
Jakarta (ANTARA) - Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu meyakini obligasi pemerintah yang menjadi instrumen penarikan utang untuk membiayai defisit fiskal, masih menarik di mata investor global pada tahun ini.
Ia mengatakan imbal hasil yang ditawarkan Surat Utang Negara (SUN) maupun Surat Berharga Negara (SBN) tetap menarik, meski terdapat risiko arus modal keluar (capital outflow) akibat normalisasi kebijakan moneter bank sentral Amerika Serikat, The Fed.
"Harapan kita untuk bonds (obligasi) masih cukup menarik untuk Indonesia. Tapi kita harus tetap antisipasi," kata Febrio dalam Taklimat Media secara daring di Jakarta, Kamis.
Febrio memproyeksikan obligasi pemerintah masih cukup bagus karena sudah banyak arus modal keluar Indonesia pada tahun 2020 dan tahun 2021. Pada tahun 2020, arus modal keluar karena terdapat ketidakpastian yang cukup tinggi akibat COVID-19, sementara di tahun 2021 arus modal keluar lebih banyak disebabkan oleh sentimen investor terhadap isu tapering off The Fed.
Kedua hal tersebut membuat kepemilikan asing terhadap obligasi negara Indonesia mengerucut menjadi hanya 20 persen. Namun di tahun 2022, sentimen investor terhadap COVID-19 dan tapering off The Fed tidak setinggi dua tahun sebelumnya.
"Jadi memang kalau capital outflow sudah terjadi di 2020. Tapi untuk ke depan tampaknya ditopang sentimen dan kenaikan suku bunga sudah banyak ter-price in. Jadi saya mungkin melihatnya sedikit lebih optimistis," ucap Febrio.
Faktor serupa juga terjadi di pasar saham Indonesia yang kini kembali unggul karena pertumbuhan ekonomi sudah mulai kembali kepada level sebelum COVID-19. Meskipun demikian, ia mengakui di sisi lain pasar saham turut dipengaruhi oleh pergerakan saham secara global.
"Tapi Indonesia dengan pertumbuhan ekonomi positif dan stabil, ini jadi narasi tersendiri. Kita lihat pertumbuhan ekonomi dicerminkan oleh pertumbuhan aktivitas ekonomi oleh korporasi terutama perusahaan yang listed di bursa saham," ucapnya.
Febrio berujar, performa perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) mulai pulih sejak tahun 2021 yang tampak dari kinerja positif perseroan. Ia berharap perseroan yang telah melantai di bursa dapat melanjutkan kinerja positif 2022 dengan semakin terkendalinya COVID-19.
"Pertumbuhan ekonomi diharapkan sudah bisa di atas 5 persen sehingga aliran modal ke saham cukup kuat untuk tahun 2022. Dan sudah kita lihat dalam satu bulan terakhir aliran cukup kuat walaupun sentimen dari global masih cukup volatile. Ini yang memang akan kita pantau ke depan," tandas Febrio.
Baca juga: Pemerintah mulai tawarkan ORI-021 untuk biayai APBN 2022
Baca juga: BI: RI perlu lebih fleksibel hadapi potensi kenaikan bunga obligasi AS
Baca juga: Pasar saham dan obligasi diprediksi tumbuh positif tahun depan
Ia mengatakan imbal hasil yang ditawarkan Surat Utang Negara (SUN) maupun Surat Berharga Negara (SBN) tetap menarik, meski terdapat risiko arus modal keluar (capital outflow) akibat normalisasi kebijakan moneter bank sentral Amerika Serikat, The Fed.
"Harapan kita untuk bonds (obligasi) masih cukup menarik untuk Indonesia. Tapi kita harus tetap antisipasi," kata Febrio dalam Taklimat Media secara daring di Jakarta, Kamis.
Febrio memproyeksikan obligasi pemerintah masih cukup bagus karena sudah banyak arus modal keluar Indonesia pada tahun 2020 dan tahun 2021. Pada tahun 2020, arus modal keluar karena terdapat ketidakpastian yang cukup tinggi akibat COVID-19, sementara di tahun 2021 arus modal keluar lebih banyak disebabkan oleh sentimen investor terhadap isu tapering off The Fed.
Kedua hal tersebut membuat kepemilikan asing terhadap obligasi negara Indonesia mengerucut menjadi hanya 20 persen. Namun di tahun 2022, sentimen investor terhadap COVID-19 dan tapering off The Fed tidak setinggi dua tahun sebelumnya.
"Jadi memang kalau capital outflow sudah terjadi di 2020. Tapi untuk ke depan tampaknya ditopang sentimen dan kenaikan suku bunga sudah banyak ter-price in. Jadi saya mungkin melihatnya sedikit lebih optimistis," ucap Febrio.
Faktor serupa juga terjadi di pasar saham Indonesia yang kini kembali unggul karena pertumbuhan ekonomi sudah mulai kembali kepada level sebelum COVID-19. Meskipun demikian, ia mengakui di sisi lain pasar saham turut dipengaruhi oleh pergerakan saham secara global.
"Tapi Indonesia dengan pertumbuhan ekonomi positif dan stabil, ini jadi narasi tersendiri. Kita lihat pertumbuhan ekonomi dicerminkan oleh pertumbuhan aktivitas ekonomi oleh korporasi terutama perusahaan yang listed di bursa saham," ucapnya.
Febrio berujar, performa perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) mulai pulih sejak tahun 2021 yang tampak dari kinerja positif perseroan. Ia berharap perseroan yang telah melantai di bursa dapat melanjutkan kinerja positif 2022 dengan semakin terkendalinya COVID-19.
"Pertumbuhan ekonomi diharapkan sudah bisa di atas 5 persen sehingga aliran modal ke saham cukup kuat untuk tahun 2022. Dan sudah kita lihat dalam satu bulan terakhir aliran cukup kuat walaupun sentimen dari global masih cukup volatile. Ini yang memang akan kita pantau ke depan," tandas Febrio.
Baca juga: Pemerintah mulai tawarkan ORI-021 untuk biayai APBN 2022
Baca juga: BI: RI perlu lebih fleksibel hadapi potensi kenaikan bunga obligasi AS
Baca juga: Pasar saham dan obligasi diprediksi tumbuh positif tahun depan
Pewarta: Sanya Dinda Susanti
Editor: Faisal Yunianto
Copyright © ANTARA 2022
Tags: