Jakarta (ANTARA News) - Sejumlah akademisi mengajukan permohonan pengujian Undang-undang (UU) Nomor 8 tahun 2011 tentang perubahan atas UU Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (MK).

Pemohon itu adalah Prof Saldi Isra, Yuliandri, Prof Arief Hidayat, Zainal Daulay, Zaenal Arifin Mochtar, Moh Ali Syafa`at. Para pemohon ini menggugat pasal 4, 15, 27, 27a, 57, 59 UU MK.

Menurut Saldi Isra, saat ditemui wartawan usai mendaftarkan permohonan di MK, Jakarta, Jumat, pihaknya menilai ada beberapa ketentuan yang tercantum dalam UU hasil revisi UU 24 tahun 2003 berpotensi merusak MK sebagai pemegang kekuasaan kehakiman yang independen.

"Kami merasa ada beberapa substansi hasil revisi yang berpotensi merusak MK sebagai pemegang kekuasaan kehakiman yang independen," kata Saldi.

Guru Besar Universitas Andalas ini menjelaskan, sejumlah ketentuan tersebut adalah terkait dengan ketentuan Majelis Kehormatan Hakim (MKH).

"Itu ada yang berasal DPR dan Pemerintah, itu kan agak sulit kalau MKH-nya MK berasal dari institusi itu yang nanti akan dikiritik dan diperbaiki undang-undangnya oleh MK," katanya.

Permohonan ini juga mempersoalkan Pengganti Antar Waktu (PAW), untuk menggantikan salah satu hakim yang berhenti di tengah jalan dan penggantinya hanya meneruskan sisa jabatannya saja.

"Konteks teori lembaga independen artinya bila ada hakim yang berhenti di tengah jalan, kemudian yang mengganti sesuai masa jabatannya, bukan melanjutkan sisa waktu," katanya.

Selain itu, kata Saldi, pemohon juga mempersoalkan ketentuan mengenai batasan MK tidak boleh melakukan ultra petita (penjatuhan putusan oleh hakim atas perkara yang tidak dituntut atau mememutus melebihi dari pada yang diminta).

"Menurut saya ini keliru cara pikir dari pembuat UU, karena ultra petita itu bagian dari proses di MK. Nah kalau Hakim Konstitusi dilarang melakukan ultra petita, nanti hakim konstitusi akan menjadi corong pembuat undang-undang saja. Tidak bisa mencari atau memutuskan keadilan substantif," katanya.