"Sapu di Tangan", Memburu Kota Bersampah
28 Juli 2011 21:01 WIB
Sejumlah seniman dari grup teater pantomim Sena Didi Mime Jakarta menampilkan pantomim berjudul "Sapu di Tangan" di pendopo Rumah Buku Dunia Tera, Dusun Tingal, Wanurejo, Borobudur, Magelang, Jateng, Rabu (27/7) malam. Pertunjukan pantomim dengan tema lingkungan hidup tersebut menceritakan masalah sampah yang tidak ada habisnya sehingga menimbulkan kerusakan lingkungan yang akan menghancurkan dunia. (ANTARA/Anis Efizudin)
Jakarta (ANTARA News) - Sang sutradara pementasan pantomim kontemporer berjudul "Sapu di Tangan" mengaku bahwa karya itu bukan bertutur secara linier tentang persoalan sampah, tetapi dibikin secara sketsa sehingga penonton mendapat ruang bebas untuk memaknainya.
Maka tak ayal seperti salah seorang penonton pementasan Grup Teater "Sena Didi Mime" Jakarta dengan sutradara Yayu AW Unru di Pendopo Rumah Buku Dunia Tera yang dikelola penyair Magelang Dorothea Rosa Herliany, sekitar 500 meter timur Candi Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Oei Hong Djien, menanyakan alur ceritanya.
"Pertunjukan yang luar biasa, bagus, dan mengesankan. Apa inspirasi dan ceritanya bagaimana?" kata Oei Hong Djien yang juga kolektor lukisan Kota Magelang, malam itu, saat dialog usai pementasan berdurasi sekitar 75 menit yang terbagi dalam dua babak itu.
Malam itu Teater "Sena Didi Mime" yang didirikan oleh Sena A. Utoyo dan aktor kondang Didi Petet, pada 1977, saat mereka mahasiswa di Institut Kesenian Jakarta, mengusung karya pantomim kontemporer "Sapu di Tangan" dengan lima pemain masing-masing Ciprut, Meo, Abu, Ozi, dan Yehuda.
Karya pantomim itu sejak tiga tahun terakhir hingga saat ini pernah mereka pentaskan antara lain beberapa kali di Jakarta, Slovakia, Austria, dan Berlin, Jerman.
"Habis pentas di sini (Rumah Buku Dunia Tera Borobudur, red.) akan pentas di Taman Budaya Jawa Tengah di Solo (29/7)," kata Yayu yang mengaku dirinya sebagai anak didik Sena, sebelum pementasan dengan ditonton puluhan orang antara lain pelajar, pekerja seni, budayawan, pemerhati seni, dan sejumlah seniman petani Komunitas Lima Gunung Magelang.
Pementasan "Sapu di Tangan" menggambarkan lima orang yang masih tersisa hidup di bumi, sedangkan lainnya telah musnah akibat kerusakan lingkungan.
Tidak murni pantomim yang umumnya dipahami tanpa suara pemainnya, lakon itu dibawakan dengan tetap mengedepankan olah gerak mimik dan tubuh menguasai pendopo yang berinstalasi gantungan berbagai bentuk sampah dari bahan plastik sebagai latar panggung.
Pemain pantomim juga menembang, "beryel-yel", dan berdialog dengan sebagian besar kata-kata improvisasi tanpa jelas artinya namun kemasan gerak dan olah suara membuat maksud mereka bisa ditangkap penonton.
Properti utama yang digunakan oleh setiap adalah sapu lidi. Salah satu adegan mereka juga mengeksplorasi lima tirai bewarna hitam sebagai properti lain atas pementasan tersebut.
"`Nek dikandhani wong tuwo ki manut. Mengko nek wis lara ati lagi eling marang Gusti. Sing penting ki resik atine... Kae delok dokter Oei Hong Djien. Mantep to...??? ha iyo... ue...dan`," demikian sepenggal kalimat bernuansa sketsa diucapkan seorang pemain, Ciprut.
Memang tidak mudah menangkap maksud kalimat itu sebagai salah satu dialog antarpemain pada babak kedua pementasan yang menggambarkan persoalan sampah dan kerusakan lingkungan.
Tetapi kira-kira mereka ingin mengatakan bahwa hati yang bersih sebagai hal utama sering dinasihatkan para orang tua. Semestinya orang muda menjalani nasihat itu. Umumnya, ketika seseorang menghadapi persoalan hingga sakit hati, baru ingat kepada Tuhan. Mereka seakan secara spontan menyebut Oei Hong Djien sebagai figur orang tua yang mesti diperhatian secara baik nasihatnya.
Kemasan tabuhan antara lain sejumlah perkusi, kendang, lonceng, dan tiupan seruling serta permainan tata lampu menambah daya kuat pementasan pantomim kontemporer tersebut.
Penonton nampak sering tertegun, seakan berusaha memahami maksud gerakan pemain terkait dengan tema sampah yang disuguhkan, tetapi sering pula penonton dibuat terpingkal-pingkal oleh gerakan mereka yang memang menyulut penonton membetot syaraf humor masing-masing.
Salah satu adegan memperlihatkan pelakon tak berjarak dengan penonton. Mereka memainkan repertoar yang agaknya ingin menyuarakan publik untuk memiliki budaya membersihkan lingkungan dari sampah dengan sebagian di antara pemain memainkan gerak pantomim di tengah-tengah mereka yang duduk bersila di atas tikar mengelilingi pendopo tersebut.
Tabuhan perkusi yang ditata secara apik dari sudut pendopo terkesan menguatkan setiap gerakan pantomim mereka, meskipun sesekali musik dari pemutar di komputer jinjing juga mengiringinya.
Seorang penikmat seni di Magelang, Bambang Eko Prasetyo berujar bahwa pementasan itu tak sekadar menyangkut sampah sebagaimana dilihat masyarakat setiap hari.
"Pementasan ini memang memberi ruang penafsiran secara terbuka. Hari ini kita menghadapi sampah yang sungguh sulit dihilangkan yaitu orang hina, orang kaya, orang kuasa. Siapa yang bisa mengalahkan. Yang bisa mengalahkan adalah orang yang lebih dari mereka," katanya.
Ia menyebut mereka berkategori itu sebagai sampah yang sedang menjamur di negeri ini. Sering kali terbesit bahwa mereka hanya bisa dikalahkan oleh orang yang lebih kaya dan lebih berkuasa. "Sehingga orang ramai-ramai ingin mengalahkan, sehingga mendatangkan korban," katanya.
Ia mengemukakan, orang perlu tetap optimistis bisa menjadi pemenang atas persoalan membersihkan "sampah negeri", tanpa harus menghancurkan dunia.
"Kita perlu mempunyai kompetensi, peduli, ringan untuk mengulurkan tangan, dan berpegang kepada hati nurani," katanya.
Yayu menjelaskan, ide cerita itu berangkat dari keprihatinan atas limbah yang setiap hari diproduksi manusia dalam bentuk berbagai macam sampah dan persoalan menyangkut pemanasan global yang mengancam kehidupan di muka bumi.
"Lima orang itu dikisahkan sebagai manusia yang tersisa, yang lainnya telah musnah oleh sampah dan kerusakan lingkungan," katanya.
Mereka yang masih tersisa itu, katanya, menggambarkan berbagai situasi kehidupan manusia antara lain saling berharap, saling marah, saling menghibur, dan merasa saling menyisihkan.
Lima manusia terakhir itu, katanya, sesungguhnya ingin akhir cerita hidup sebagai suatu kebaikan atas lingkungan. Gantungan harapan mereka disimbolkan terhadap sapu.
"Namun harapan terhadap sapu juga menjadi sia-sia karena hancur," katanya.
Babak pantomim yang menggambarkan mereka berusaha menyapu sampah secara kompak, mungkin untuk menujukkan kebersamaan atas harapan lingkungan hidup di bumi yang lebih baik dan nyaman, meskipun hanya mereka berlima yang tersisa.
Kisah itu juga berangkat dari ironi sebagian masyarakat Indonesia. Saat orang Indonesia melakukan perjalanan ke luar negeri seperti ke Singapura, Jepang, atau negara-negara di Eropa, katanya, mereka bisa tertib dan disiplin membuang sampah karena jika mereka buang sampah sembarang akan terkena denda.
"Tetapi begitu turun di Cengkareng (Bandara, red.) mereka buang sampah sembarangan. Jadi persoalannya adalah sikap disiplin diri dan penegakan hukum yang harus kuat, di negara lain juga ada hukumnya, di negeri kita juga ada hukumnya, tetapi kalau buang sampah sembarangan di Indonesia, hukuman tidak dijalankan," katanya.
Ia yakin publik Magelang mampu menangkap makna atas pementasan "Sapu Di Tangah", meskipun grup itu tidak ingin menyampaikan pesan khusus atas lakon yang disuguhkan.
Pementasan "Sapu Di Tangah" nampaknya sekadar untuk menebarkan kesan terutama menyangkut sampah dalam pengertian luas sehingga dikemas sebagai sketsa-sketsa gerak mimik, tubuh, olah suara, musik, dan permainan properti sapu.
"Hanya menyindir bahwa kita terlambat memikirkan sampah, tetapi juga problem disiplin masyarakat dan penegakan hukum yang kurang serius," katanya.
Ia mengatakan, lakon itu tanpa skenario secara rinci dan suguhannya mengandalkan improvisasi pemain yang memang telah berpengalaman berpentas baik di dalam maupun di luar negeri.
Sentuhan cerita, dialog, dan improvisasi pementasan, katanya, bisa menyesuaikan diri dengan kondisi kota di mana grup itu menyuguhkan "Sapu di Tangan".
"Waktu di Slovekia dan Austria tahun 2010, kami sesuaikan dengan keadaan di sana. Tahun depan ke Eropa lagi, April sampai Oktober di Belanda dan Prancis. Di Indonesia ingin mengunjungi lebih banyak kota karena ada satu hal yang membuat kami berpikir bahwa lakon ini harus dimainkan terus," katanya.
Kota-kota lain mungkin boleh mulai bersiap-siap jadi panggung buruan pantomim kontemporer "Sapu di Tangan".
(M029*H018)
Maka tak ayal seperti salah seorang penonton pementasan Grup Teater "Sena Didi Mime" Jakarta dengan sutradara Yayu AW Unru di Pendopo Rumah Buku Dunia Tera yang dikelola penyair Magelang Dorothea Rosa Herliany, sekitar 500 meter timur Candi Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Oei Hong Djien, menanyakan alur ceritanya.
"Pertunjukan yang luar biasa, bagus, dan mengesankan. Apa inspirasi dan ceritanya bagaimana?" kata Oei Hong Djien yang juga kolektor lukisan Kota Magelang, malam itu, saat dialog usai pementasan berdurasi sekitar 75 menit yang terbagi dalam dua babak itu.
Malam itu Teater "Sena Didi Mime" yang didirikan oleh Sena A. Utoyo dan aktor kondang Didi Petet, pada 1977, saat mereka mahasiswa di Institut Kesenian Jakarta, mengusung karya pantomim kontemporer "Sapu di Tangan" dengan lima pemain masing-masing Ciprut, Meo, Abu, Ozi, dan Yehuda.
Karya pantomim itu sejak tiga tahun terakhir hingga saat ini pernah mereka pentaskan antara lain beberapa kali di Jakarta, Slovakia, Austria, dan Berlin, Jerman.
"Habis pentas di sini (Rumah Buku Dunia Tera Borobudur, red.) akan pentas di Taman Budaya Jawa Tengah di Solo (29/7)," kata Yayu yang mengaku dirinya sebagai anak didik Sena, sebelum pementasan dengan ditonton puluhan orang antara lain pelajar, pekerja seni, budayawan, pemerhati seni, dan sejumlah seniman petani Komunitas Lima Gunung Magelang.
Pementasan "Sapu di Tangan" menggambarkan lima orang yang masih tersisa hidup di bumi, sedangkan lainnya telah musnah akibat kerusakan lingkungan.
Tidak murni pantomim yang umumnya dipahami tanpa suara pemainnya, lakon itu dibawakan dengan tetap mengedepankan olah gerak mimik dan tubuh menguasai pendopo yang berinstalasi gantungan berbagai bentuk sampah dari bahan plastik sebagai latar panggung.
Pemain pantomim juga menembang, "beryel-yel", dan berdialog dengan sebagian besar kata-kata improvisasi tanpa jelas artinya namun kemasan gerak dan olah suara membuat maksud mereka bisa ditangkap penonton.
Properti utama yang digunakan oleh setiap adalah sapu lidi. Salah satu adegan mereka juga mengeksplorasi lima tirai bewarna hitam sebagai properti lain atas pementasan tersebut.
"`Nek dikandhani wong tuwo ki manut. Mengko nek wis lara ati lagi eling marang Gusti. Sing penting ki resik atine... Kae delok dokter Oei Hong Djien. Mantep to...??? ha iyo... ue...dan`," demikian sepenggal kalimat bernuansa sketsa diucapkan seorang pemain, Ciprut.
Memang tidak mudah menangkap maksud kalimat itu sebagai salah satu dialog antarpemain pada babak kedua pementasan yang menggambarkan persoalan sampah dan kerusakan lingkungan.
Tetapi kira-kira mereka ingin mengatakan bahwa hati yang bersih sebagai hal utama sering dinasihatkan para orang tua. Semestinya orang muda menjalani nasihat itu. Umumnya, ketika seseorang menghadapi persoalan hingga sakit hati, baru ingat kepada Tuhan. Mereka seakan secara spontan menyebut Oei Hong Djien sebagai figur orang tua yang mesti diperhatian secara baik nasihatnya.
Kemasan tabuhan antara lain sejumlah perkusi, kendang, lonceng, dan tiupan seruling serta permainan tata lampu menambah daya kuat pementasan pantomim kontemporer tersebut.
Penonton nampak sering tertegun, seakan berusaha memahami maksud gerakan pemain terkait dengan tema sampah yang disuguhkan, tetapi sering pula penonton dibuat terpingkal-pingkal oleh gerakan mereka yang memang menyulut penonton membetot syaraf humor masing-masing.
Salah satu adegan memperlihatkan pelakon tak berjarak dengan penonton. Mereka memainkan repertoar yang agaknya ingin menyuarakan publik untuk memiliki budaya membersihkan lingkungan dari sampah dengan sebagian di antara pemain memainkan gerak pantomim di tengah-tengah mereka yang duduk bersila di atas tikar mengelilingi pendopo tersebut.
Tabuhan perkusi yang ditata secara apik dari sudut pendopo terkesan menguatkan setiap gerakan pantomim mereka, meskipun sesekali musik dari pemutar di komputer jinjing juga mengiringinya.
Seorang penikmat seni di Magelang, Bambang Eko Prasetyo berujar bahwa pementasan itu tak sekadar menyangkut sampah sebagaimana dilihat masyarakat setiap hari.
"Pementasan ini memang memberi ruang penafsiran secara terbuka. Hari ini kita menghadapi sampah yang sungguh sulit dihilangkan yaitu orang hina, orang kaya, orang kuasa. Siapa yang bisa mengalahkan. Yang bisa mengalahkan adalah orang yang lebih dari mereka," katanya.
Ia menyebut mereka berkategori itu sebagai sampah yang sedang menjamur di negeri ini. Sering kali terbesit bahwa mereka hanya bisa dikalahkan oleh orang yang lebih kaya dan lebih berkuasa. "Sehingga orang ramai-ramai ingin mengalahkan, sehingga mendatangkan korban," katanya.
Ia mengemukakan, orang perlu tetap optimistis bisa menjadi pemenang atas persoalan membersihkan "sampah negeri", tanpa harus menghancurkan dunia.
"Kita perlu mempunyai kompetensi, peduli, ringan untuk mengulurkan tangan, dan berpegang kepada hati nurani," katanya.
Yayu menjelaskan, ide cerita itu berangkat dari keprihatinan atas limbah yang setiap hari diproduksi manusia dalam bentuk berbagai macam sampah dan persoalan menyangkut pemanasan global yang mengancam kehidupan di muka bumi.
"Lima orang itu dikisahkan sebagai manusia yang tersisa, yang lainnya telah musnah oleh sampah dan kerusakan lingkungan," katanya.
Mereka yang masih tersisa itu, katanya, menggambarkan berbagai situasi kehidupan manusia antara lain saling berharap, saling marah, saling menghibur, dan merasa saling menyisihkan.
Lima manusia terakhir itu, katanya, sesungguhnya ingin akhir cerita hidup sebagai suatu kebaikan atas lingkungan. Gantungan harapan mereka disimbolkan terhadap sapu.
"Namun harapan terhadap sapu juga menjadi sia-sia karena hancur," katanya.
Babak pantomim yang menggambarkan mereka berusaha menyapu sampah secara kompak, mungkin untuk menujukkan kebersamaan atas harapan lingkungan hidup di bumi yang lebih baik dan nyaman, meskipun hanya mereka berlima yang tersisa.
Kisah itu juga berangkat dari ironi sebagian masyarakat Indonesia. Saat orang Indonesia melakukan perjalanan ke luar negeri seperti ke Singapura, Jepang, atau negara-negara di Eropa, katanya, mereka bisa tertib dan disiplin membuang sampah karena jika mereka buang sampah sembarang akan terkena denda.
"Tetapi begitu turun di Cengkareng (Bandara, red.) mereka buang sampah sembarangan. Jadi persoalannya adalah sikap disiplin diri dan penegakan hukum yang harus kuat, di negara lain juga ada hukumnya, di negeri kita juga ada hukumnya, tetapi kalau buang sampah sembarangan di Indonesia, hukuman tidak dijalankan," katanya.
Ia yakin publik Magelang mampu menangkap makna atas pementasan "Sapu Di Tangah", meskipun grup itu tidak ingin menyampaikan pesan khusus atas lakon yang disuguhkan.
Pementasan "Sapu Di Tangah" nampaknya sekadar untuk menebarkan kesan terutama menyangkut sampah dalam pengertian luas sehingga dikemas sebagai sketsa-sketsa gerak mimik, tubuh, olah suara, musik, dan permainan properti sapu.
"Hanya menyindir bahwa kita terlambat memikirkan sampah, tetapi juga problem disiplin masyarakat dan penegakan hukum yang kurang serius," katanya.
Ia mengatakan, lakon itu tanpa skenario secara rinci dan suguhannya mengandalkan improvisasi pemain yang memang telah berpengalaman berpentas baik di dalam maupun di luar negeri.
Sentuhan cerita, dialog, dan improvisasi pementasan, katanya, bisa menyesuaikan diri dengan kondisi kota di mana grup itu menyuguhkan "Sapu di Tangan".
"Waktu di Slovekia dan Austria tahun 2010, kami sesuaikan dengan keadaan di sana. Tahun depan ke Eropa lagi, April sampai Oktober di Belanda dan Prancis. Di Indonesia ingin mengunjungi lebih banyak kota karena ada satu hal yang membuat kami berpikir bahwa lakon ini harus dimainkan terus," katanya.
Kota-kota lain mungkin boleh mulai bersiap-siap jadi panggung buruan pantomim kontemporer "Sapu di Tangan".
(M029*H018)
Oleh M. Hari Atmoko
Editor: Ella Syafputri
Copyright © ANTARA 2011
Tags: