Epidemiolog: PPKM level 3 langkah ideal ingatkan publik bahaya Omicron
7 Februari 2022 18:20 WIB
Tangkapan layar - Epidemiolog Griffith University Australia Dicky Budiman saat hadir secara virtual di Instagram Liputan6.SCTV yang diikuti dari Jakarta, Kamis (13/1/2022). ANTARA/Andi Firdaus.
Jakarta (ANTARA) - Epidemiolog Griffith University Australia Dicky Budiman mengatakan kembali diterapkannya Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) level 3 merupakan langkah ideal mengingatkan publik mengenai seriusnya bahaya akibat Omicron.
“Ini akan membantu dan menjamin efektivitas penguatan, menyadarkan dan mengingatkan semua pihak, ini masih dalam situasi serius. Itu esensinya sekarang,” kata Dicky dalam pesan suara yang diterima ANTARA di Jakarta, Senin.
Menanggapi diterapkannya kembali PPKM level 3 di sejumlah wilayah, Dicky menuturkan kebijakan tersebut cukup ideal karena dapat menjadi sebuah “payung” yang akan membantu membuat upaya 3T (testing, tracing dan treatment) serta disiplin protokol kesehatan berjalan dengan lebih efektif.
Dalam penerapan protokol kesehatan, kebijakan PPKM akan membatasi orang yang belum melakukan vaksinasi untuk melakukan aktivitas, sehingga dapat mencegah terjadi perluasan penularan.
Selain itu, adanya pembatasan juga mendorong pemerintah mencegah terjadinya lolosnya kasus akibat varian Omicron yang merebak dengan cepat dalam kondisi pandemi saat ini akibat tracing yang masih belum memadai.
Baca juga: Menko Luhut: PPKM Jabodetabek naik level 3 dengan penyesuaian baru
Baca juga: Pemprov DKI tingkatkan kapasitas 3T menyusul penetapan PPKM level tiga
Masa penerapan kebijakan itu, kata dia, merupakan waktu yang tepat supaya pemerintah bisa lebih memaksimalkan implementasi berbagai mitigasi dan strategi sebagai bentuk respon menghadapi pandemi seperti menggencarkan deteksi kasus melalui tracing.
Kemudian pada isolasi dan karantina yang dilakukan oleh pasien positif COVID-19, pemerintah dapat mencegah dan memutus mata rantai penularan dengan mempertajam kualitas serta kuantitas melalui penetapan masa karantina lima sampai tujuh hari.
Dicky menyarankan akan lebih baik bila jumlah orang yang menjalani isolasi maupun karantina itu setidaknya dapat mencapai sebesar 80 persen.
“Jadi 80 persen misalnya dari yang terinfeksinya 1.000 kalikan 30.000 ya, kemudian berapa 80 persennya seperti itu dan ini cukup mandiri. Tidak harus ke fasilitas kesehatan, kecuali dalam kondisi yang tidak memungkinkan secara klinis atau teknis seperti lansia komorbid dengan risiko,” ucap dia.
Pelaksanaan isolasi atau karantina secara mandiri itu, juga termasuk pada orang yang positif akibat belum melakukan vaksinasi.
Menurut dia kombinasi upaya penanggulangan tersebut harus terus ditingkatkan termasuk pada tingkat kepatuhan semua pihak menjalankan protokol kesehatan. Salah satunya adalah terus mengajak masyarakat melakukan vaksinasi yang saat ini masih terus menjadi tugas pemerintah.
Dicky mengingatkan semua pihak bahwa untuk meminimalkan dampak dari gelombang ketiga adalah hal yang sulit dan belum ada negara yang dapat menghalau gelombang ketiga COVID-19 akibat Omicron.
Oleh sebab itu, dia meminta keterlibatan semua pihak untuk tidak menganggap remeh Omicron dan terus memakai masker, mencuci tangan, menjaga jarak, menjauhi kerumunan dan mengurangi mobilitas supaya tidak terkena varian baru itu.
“Kita tidak bisa menghindari apalagi banyak kelompok rawan yang belum memiliki imunitas. Ini tentu bicara konteks Jawa-Bali, nanti luar Jawa. Kita harus lihat karena landscape imunitasnya berbeda,” kata Dicky.
Baca juga: Epidemiolog: PPKM Darurat diperlukan untuk landaikan kasus COVID-19
Baca juga: Luhut mengubah syarat indikator PPKM level 1 dan 2
“Ini akan membantu dan menjamin efektivitas penguatan, menyadarkan dan mengingatkan semua pihak, ini masih dalam situasi serius. Itu esensinya sekarang,” kata Dicky dalam pesan suara yang diterima ANTARA di Jakarta, Senin.
Menanggapi diterapkannya kembali PPKM level 3 di sejumlah wilayah, Dicky menuturkan kebijakan tersebut cukup ideal karena dapat menjadi sebuah “payung” yang akan membantu membuat upaya 3T (testing, tracing dan treatment) serta disiplin protokol kesehatan berjalan dengan lebih efektif.
Dalam penerapan protokol kesehatan, kebijakan PPKM akan membatasi orang yang belum melakukan vaksinasi untuk melakukan aktivitas, sehingga dapat mencegah terjadi perluasan penularan.
Selain itu, adanya pembatasan juga mendorong pemerintah mencegah terjadinya lolosnya kasus akibat varian Omicron yang merebak dengan cepat dalam kondisi pandemi saat ini akibat tracing yang masih belum memadai.
Baca juga: Menko Luhut: PPKM Jabodetabek naik level 3 dengan penyesuaian baru
Baca juga: Pemprov DKI tingkatkan kapasitas 3T menyusul penetapan PPKM level tiga
Masa penerapan kebijakan itu, kata dia, merupakan waktu yang tepat supaya pemerintah bisa lebih memaksimalkan implementasi berbagai mitigasi dan strategi sebagai bentuk respon menghadapi pandemi seperti menggencarkan deteksi kasus melalui tracing.
Kemudian pada isolasi dan karantina yang dilakukan oleh pasien positif COVID-19, pemerintah dapat mencegah dan memutus mata rantai penularan dengan mempertajam kualitas serta kuantitas melalui penetapan masa karantina lima sampai tujuh hari.
Dicky menyarankan akan lebih baik bila jumlah orang yang menjalani isolasi maupun karantina itu setidaknya dapat mencapai sebesar 80 persen.
“Jadi 80 persen misalnya dari yang terinfeksinya 1.000 kalikan 30.000 ya, kemudian berapa 80 persennya seperti itu dan ini cukup mandiri. Tidak harus ke fasilitas kesehatan, kecuali dalam kondisi yang tidak memungkinkan secara klinis atau teknis seperti lansia komorbid dengan risiko,” ucap dia.
Pelaksanaan isolasi atau karantina secara mandiri itu, juga termasuk pada orang yang positif akibat belum melakukan vaksinasi.
Menurut dia kombinasi upaya penanggulangan tersebut harus terus ditingkatkan termasuk pada tingkat kepatuhan semua pihak menjalankan protokol kesehatan. Salah satunya adalah terus mengajak masyarakat melakukan vaksinasi yang saat ini masih terus menjadi tugas pemerintah.
Dicky mengingatkan semua pihak bahwa untuk meminimalkan dampak dari gelombang ketiga adalah hal yang sulit dan belum ada negara yang dapat menghalau gelombang ketiga COVID-19 akibat Omicron.
Oleh sebab itu, dia meminta keterlibatan semua pihak untuk tidak menganggap remeh Omicron dan terus memakai masker, mencuci tangan, menjaga jarak, menjauhi kerumunan dan mengurangi mobilitas supaya tidak terkena varian baru itu.
“Kita tidak bisa menghindari apalagi banyak kelompok rawan yang belum memiliki imunitas. Ini tentu bicara konteks Jawa-Bali, nanti luar Jawa. Kita harus lihat karena landscape imunitasnya berbeda,” kata Dicky.
Baca juga: Epidemiolog: PPKM Darurat diperlukan untuk landaikan kasus COVID-19
Baca juga: Luhut mengubah syarat indikator PPKM level 1 dan 2
Pewarta: Hreeloita Dharma Shanti
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2022
Tags: