Air Mata, Karangan Bunga, Lilin, Bendera: Oslo Berduka
Bendera Norwegia dikibarkan setengah tiang di depan sebuah hotel tempat kerabat korban penembakan berkumpul di Sundvollen, Sabtu (23/7). Tragedi penembakan terjadi saat sayap muda dari Partai Buruh yang berkuasa bertemu di Pulau Utoeya, Jumat (22/7). Seorang pria bersenjaata mengenakan seragam polisi menembak mati setidaknya 84 orang di perkemahan musim panas yang diikuti oleh kader muda partai politik Norwegia yang berkuasa, beberapa jam setelah sebuah bom menewaskan tujuh orang di distrik pemerintahan di Oslo. (FOTO ANTARA/REUTERS/Fabrizio Bensch/ox/11.)
Di jantung kota Oslo, penghormatan berjejal di depan katedral kota itu Sabtu. Rombongan kawan, pasangan, seluruh keluarga -- mereka semua datang untuk memberi hormat, lapor AFP.
Di dekatnya para prajurit berdiri mengawasi: sebuah pemandangan tak lazim di ibukota Norwegia.
Namun di sektor pemerintah yang berdekatan, dimana bom Jumat meledak, masih ditutup karena para penyelidik meneruskan pekerjaan mereka.
Tone Bjorkli, didampingi oleh temannya Mirja, menambahkan sebuah karangan bunga putih kecil pada tumpukan yang semakin tinggi.
"Cukup mengerikan melihat jumlahnya," kata seorang artis berusia 31 tahun itu.
"Namun di sisi lain, melegakan datang ke sini dan menyaksikan setiap orang begitu terharu."
Namun kemudian seperti yang mereka jelaskan, seakan mereka tidak dapat memikirkan apapun lainnya selain pemboman Jumat yang menewaskan tujuh orang di kompleks pemerintahan; dan pembunuhan ria itu kemudian di pulau Utoeya, tidak jauh dari ibukota.
Polisi mengatakan paling sedikit 85 orang yang menghadiri perkemahan musim panas yang diselenggarakan oleh sayap pemuda Partai Buruh yang berkuasa kehilangan nyawa mereka. Dan polisi mengingatkan bahwa jumlah kematian bisa bertambah.
"Ini satu-satunya yang dibicarkan orang," kata Tone. "Kami perlu memahaminya dengan keras."
Diantara mereka yang memberikan penghormatan kepada yang meninggal di sini adalah para anggota keluarga kerajaan, yang datang untuk menyalakan lilin. Sabtu sebelumnya, bersama dengan Perdana Menteri Jens Stoltenberg dan para anggota pemerintahan, mereka berbincang dengan mereka yang selamat dari pembantaian massal pulau itu.
Selain Tone dan Mirja di kerumunan, berdiri Farid Omar, warga negara Burundi berusia 23 tahun yang sudah tinggal di Norwegia selama tujuh tahun.
Dia datang, katanya, untuk menunjukkan "bahwa bukan saja rakyat Norwegia yang terkena dampaknya. Saya juga, sebagai seorang imigran, saya dapat mengatakan bahwa peristiwa yang telah terjadi itu memalukan".
Peristiwa tersebut telah mengingatkan kembali pada kekerasan di Burundi, tambahnya. Namun dia tidak pernah mengharapkan sesuatu seperti ini terjadi di Norwegia.
Sebagai seorang Muslim Farid mengaku lega bahwa tersangka utama dalam pembunuhan ini adalah warga negara Norwegia, "karena jika tidak hal itu pasti sudah menghancurkan multikulturalisme yang ada di sini.
"Lihat, ada banyak orang asing di mana-mana, ada 24.000 orang Somalia di Oslo pusat saja," tambahnya.
Farid juga bukan satu-satunya dari ribuan imigran yang memasuki katedral.
"Bahkan juga ada orang Mulim berjilbab yang telah datang di katedral ini," kata Pastor Anne Anita Lilleboe, pendeta universitas. Dia menjadi sukarelawan untuk membantu mengorganisasi hari duka cita itu.
Di dalam katedral, pasangan-pasangan saling bersandar satu sama lain ketika lusinan orang berhimpitan melewati kapel itu, diterangi nyala ratusan lilin.
Pastor itu menaksir sekitar 400 orang memberikan penghormatan di sini setiap jam.
Katedral, bersama dengan Hotel Sundvolden di luar ibukota dimana mereka yang selamat dari penembakan ditampung dan dihibur, telah menjadi fokus gelombang kesedihan dan keharuan yang melanda begitu banyak orang di sini.
Di seluruh penjuru kota, bendera dikibarkan setengah tiang.
Di luar halaman gedung pengadilan, Einar Andresen berusia 64, hampir pecah menahan tangis, memeluk temannya Nicolas.
"Ini adalah kejahatan terburuk yang pernah saya kenal di Norwegia," katanya, suaranya kental dengan emosi.
"Saya perlu ke gereja bersama dengan banyak orang. Saya bukan siapa siapa, tetapi penting bahwa kami bersatu," katanya.
"Anak-anak ini...," kata Nicolas, mengenangkan korban penembakan itu.
"Saya tidak bersimpati dengan Partai Buruh -- namun herannya, jika saya tidak suka seseorang saya tidak mau mengambil senjata dan membunuhnya."
Hanya berjarak 50 meter, sekelompok kecil orang berkumpul di pinggiran area tertutp dimana bom mobil merusakkan sudut bangunan pemerintah.
Tentara mengenakan seragam tempur lengkap dan membawa senjata otomatis berdiri berjaga selagi warga setempat dan turis menatap bagian depan bangunan yang hancur, jendela-jendela berantakan akibat kekuatan ledakan.
Pemilik sejumlah toko di dekatnya tidak buka untuk menjalankan bisnis: "Tutup karena situasi," sebut tulisan pada secarik kertas.
Linn Elese Amundsen, mahasiswa berusia 24 tahun dan rekan fotografernya Nichlas Andersen menyatakan
ungkapan mereka sendiri. Keduanya mengenakan t-shirt "Saya Cinta Oslo", kata "cinta" digambarkan dengan sebuah jantung.
"Ketika saya bangun, saya pikir inilah hari untuk mengenakannya," kata Linn.
"Saya masih tidak dapat percaya, ini Norwegia kecil, biasanya tak terjadi apa-apa pada kami."
Namun dia menambahkan: "Hari ini, saya pikir semua ini membawa kita lebih dekat." (ANT/K004)
Penerjemah: Kunto Wibisono
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2011