Jakarta (ANTARA News) - Pemerintah Korea Selatan berharap pemerintah Indonesia melalui Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) bersikap tegas dan mendenda TKI pelanggar batas izin tinggal (overstayers).

Kepala BNP2TKI Moh Jumhur Hidayat dalam surat elektronik dari Seoul, Korsel, Jumat malam, menyebutkan harapan itu disampaikan Wakil Presiden "Human Resource Development of Korea" (HRD Korea) Kim Nam Ill.

Jumhur berada di Korsel 22-25 Juli 2011 untuk bersama pihak HRD Korea dan Kedutaan Besar RI di Seoul menangani para TKI "overstayers" atau ilegal di negeri ginseng itu.

Keberadaan mereka telah masuk daftar pihak imigrasi Korsel yang sewaktu-waktu dapat ditangkap.

Penempatan TKI ke Korsel merupakan kerja sama pemerintah kedua negara (Government to Government) sejak 2004.

Dari pemerintah Korsel diselenggarakan oleh HRD Korea sementara penempatan TKI ke Korsel pada 2004-2006 diselenggarakan oleh Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi sedangkan sejak 2007 hingga kini oleh BNP2TKI.

Sejak 2004 terdapat 30.858 TKI yang ditempatkan ke Korsel. Pada 2004 terdapat 360 TKI yang berangkat kerja ke Korsel, pada 2005 sebanyak 4.367 TKI, pada 2006 sebanyak 1.274 TKI, pada 2007 sebanyak 4.303 TKI, pada 2008 sebanyak 11.885 TKI, pada 2.024 TKI, pada 2010 sebanyak 3.962 TKI. Sedangkan untuk 2011 hingga 22 Juni lalu, TKI yang diberangkatkan ke Korsel mencapai 2.683 orang.

Masa kontrak kerja di Korsel adalah tiga tahun dan sejak April 2010 BNP2TKI dan Korsel membuat aturan perpanjangan kontrak menjadi lima tahun untuk seluruh TKI yang ditempatkan per April 2010 itu.

Para TKI di Korsel bekerja di bidang manufaktur, konstruksi, perikanan, pertanian, dan jasa dengan masing-masing menerima gaji antara Rp9 juta sampai Rp15 juta per bulan.

Menurut Jumhur terdapat 2.800-2.900 TKI "overstayers" atau ilegal di Korsel sejak penempatan 2004-2006 karena mereka tidak pulang setelah masa kontraknya berakhir melainkan bekerja di perusahaan lain di Korsel.

Sementara sejak penempatan 2007 terdapat sekitar 13 ribu yang berakhir masa kontrak kerjanya pada tahun ini sehingga harus dipulangkan ke Indonesia.

Dalam pertemuan dengan Jumhur, Kim juga mengatakan pengenaan denda terhadap para tenaga kerja "overstayers" asal Bangladesh di Korsel oleh pemerintah Bangladesh dengan aturan tertentu oleh pemerintahnya.

Di antara 15 negara yang mengikat kerja sama "G to G" dengan Korsel, Bangladesh adalah negara kedua yang penempatan tenaga kerjanya terkecil setelah Timor Leste, negara yang hanya menempatkan tidak sampai 3.000 orang per tahun.

Sedangkan Indonesia merupakan negara keempat terbesar dalam menempatkan tenaga kerjanya di Korsel, setelah Vietnam, Filipina, dan Thailand.

Mengomentari permintaan Kim, Jumhur mengatakan akan memikirkan langkah serius ke arah itu tetapi tidak memberi jaminan dalam bentuk pemberlakuan denda.

Ia menyambut baik perhatian HRD Korea khususnya mengenai fenomena para TKI "overstayers" agar tidak mengganggu program penempatan TKI Korsel yang sudah berjalan baik.

Dalam kunjungannya ke Korsel, Jumhur didampingi Direktur Pelayanan Penempatan Pemerintah Haposan Saragih, Direktur Perlindungan dan Advokasi Kawasan Asia Pasifik BNP2TKI Sadono, staf Ditjen Perlindungan WNI dan Badan Hukum Indonesia Kementerian Luar Negeri Adi Dzulfuat berikut sejumlah staf Kedutaan Besar RI di Seoul.

(B009) (Z002)