Jakarta (ANTARA) - Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Lamhot Sinaga meminta agar revisi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU PPP) mengatur secara rinci terkait norma partisipasi publik.

"Yang penting masuk dalam revisi UU PPP itu bagaimana partisipasi publik menggunakan pendekatan kualitatif, tidak kuantitatif," kata Lamhot dalam Rapat Pleno Baleg yang mendengarkan penjelasan Badan Keahlian (BK) DPR terkait Revisi UU Nomor 12 Tahun 2011, di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu.

Dia menjelaskan kalau pendekatan kuantitatif yang digunakan maka akan terjadi kebingungan dalam proses implementasinya.

Baca juga: BK DPR: Revisi UU 12/2011 atur metode omnibus dan partisipasi publik

Lamhot mencontohkan saat pembahasan RUU Cipta Kerja apabila menggunakan pendekatan kuantitatif, maka harus mengundang semua organisasi buruh saat membahas klaster ketenagakerjaan.

"Karena itu penting memasukkan pendekatan kualitatif untuk digunakan dalam norma terkait partisipasi publik," ujarnya.

Anggota Baleg DPR RI Guspardi Gaus menilai BK DPR perlu menjelaskan secara rinci terkait tolok ukur mengukur tingkat partisipasi masyarakat yang memadai dalam penyusunan dan pembahasan RUU.

Baca juga: Ketua DPR RI minta evaluasi PTM prioritaskan kesehatan anak

Hal itu, menurut dia, sangat diperlukan agar ketika DPR "diserang" beberapa pihak terkait penyusunan sebuah RUU, maka dapat dibantah dengan argumentasi yang memiliki dasar hukum kuat.

"Saat saya menjadi anggota Panitia Khusus (Pansus) RUU Ibu Kota Negara (IKN) terjadi 'serangan' terhadap Pansus seolah-olah kami tidak melibatkan partisipasi publik. Padahal Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) yang dijadwalkan tiga hari diperpanjang menjadi lima hari," katanya.

Anggota Baleg DPR RI Luluk Nur Hamidah mengatakan partisipasi publik tidak bisa meniadakan peran suatu kelompok, misalnya perempuan.

Karena itu, dia ingin mengetahui mekanisme umum yang dilakukan dalam memantau efektivitas berlakunya suatu UU atau "post legislative scrutiny" (PLS) dan pengarusutamaan gender.

Baca juga: 9 anggota DPR terkonfirmasi positif COVID-19

"Ini sekaligus semangat kita bersama bahwa produk UU yang mau dibahas tidak boleh mengabaikan pengarusutamaan gender," ujarnya.

Sebelumnya, dalam Rapat Pleno Baleg DPR RI pada Rabu Kepala Badan Keahlian (BK) DPR RI Inosentius Samsul menjelaskan materi Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU PPP) secara garis besar mengatur metode omnibus dan peningkatan kualitas partisipasi publik.

"Jangkauan dan arah pengaturan terkait mengakomodasi metode omnibus dalam penyusunan peraturan perundang-undangan dan memperjelas partisipasi masyarakat yang lebih bermakna atau 'meaning full participation' dalam tahap perencanaan, penyusunan, serta pembahasan peraturan perundang-undangan," kata Inosentius dalam Rapat Pleno Badan Legislasi (Baleg) DPR RI di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu.

Dia menjelaskan, beberapa pasal dalam UU tentang PPP belum menjadi landasan hukum pembentukan peraturan perundang-undangan dengan metode omnibus, yaitu Pasal 1, Pasal 42, dan Pasal 64.

Selain itu menurut dia, Pasal 96 UU tentang PPP belum merumuskan dengan tepat terkait konsep partisipasi masyarakat yang lebih bermakna.