Kemenkes lakukan transformasi layanan deteksi dini penderita kanker
2 Februari 2022 16:19 WIB
Tangkapan layar Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan Maxi Rein Rondonuwu dalam media "briefing" Hari Kanker Sedunia 2022 bertajuk "Close the Care Gap" yang diikuti secara daring di Jakarta, Rabu (2/2/2022). (ANTARA/Hreeloita Dharma Shanti)
Jakarta (ANTARA) - Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan Maxi Rein Rondonuwu mengatakan pihaknya akan melakukan transformasi pada layanan deteksi dini bagi penderita kanker di sejumlah daerah di Indonesia.
“Kita Kemenkes ditransformasi kesehatan menjadi perhatian penting. Khususnya di dalam pelayanan primer yakni deteksi dini penyakit tidak menular, di dalamnya tentu kanker karena ini sangat penting,” katanya dalam media "briefing" Hari Kanker Sedunia 2022 bertajuk "Close the Care Gap" yang diikuti secara daring di Jakarta, Rabu.
Ia menekankan bahwa saat ini pelayanan deteksi dini yang diberikan oleh setiap fasilitas kesehatan belum berjalan secara optimal dan masih terjadi ketimpangan di setiap daerah.
Hal tersebut terlihat dari adanya sebuah temuan kasus di mana penderita kanker yang berasal dari provinsi bagian Indonesia timur ingin melakukan radioterapi, namun harus menempuh jarak yang jauh ke Surabaya terlebih dahulu dan mengantre selama satu hingga dua tahun untuk benar-benar bisa mengakses layanan tersebut.
Hal itu, katanya, menyebabkan pasien baru dapat mengakses layanan tersebut, setelah dinyatakan meninggal.
Baca juga: Kemenkes: Layanan deteksi dini penderita kanker perlu ditingkatkan
Di sisi lain, katanya, rumah sakit yang dipetakan untuk menangani penyakit kanker juga masih banyak yang menumpuk di kota-kota besar, seperti Jakarta.
Guna meratakan berbagai akses pelayanan bagi penderita kanker, baik pada layanan kemoterapi maupun radiologi, pihaknya akan menyediakan rumah sakit yang dapat menjadi rujukan di sejumlah regional.
“Selain penguatan primer, Pak Menteri Kesehatan juga ingin ada transformasi rujukan di sekunder. Rumah sakit-rumah sakit yang akan menangani kanker, tentu akan dipetakan agar tak bertumpuk pada Jakarta tetapi juga di beberapa regional,” ujarnya.
Nantinya, pelayanan kanker di rumah sakit itu diharapkan disediakan dengan lebih baik, tentunya dengan konsep rujukan secara berjenjang.
Menurutnya, layanan pada deteksi dini penderita kanker harus segera ditingkatkan sebagai upaya melakukan pencegahan dengan menghilangkan berbagai faktor risiko, terutama pada kanker payudara dan kanker leher rahim (serviks).
Baca juga: Ahli ajak perempuan lebih peduli dengan kanker serviks
Meskipun Indonesia merupakan negara besar dengan beragam keadaan geografis, status ekonomi, serta sosial di masyarakat, katanya, hal itu tidak menjadi halangan tenaga kesehatan menyediakan semua layanan kesehatan, baik dalam memberikan ilmu pengetahuan maupun layanan dari penyakit yang diderita pasien dengan lebih optimal.
“Mudah-mudahan dalam waktu tiga tahun ke depan, dalam RPJMN kita bisa melakukan kesenjangan kesenjangan itu,” kata Maxi.
Berdasarkan data Globocan 2020, jumlah penderita kanker di Indonesia mencapai 65.858 pasien dan penderita kanker serviks 36.633 pasien.
Berdasarkan data Kementerian Kesehatan, total biaya yang dihabiskan Indonesia dalam penanganan kanker pada 2019 mencapai Rp4,1 triliun dan pada 2020 mencapai Rp3,5 triliun. Hal tersebut akibat banyak pasien kanker yang datang ke fasilitas kesehatan setelah stadium lanjut.
Baca juga: Lima mahasiswa UGM teliti ubur-ubur sebagai penghambat kanker payudara
Baca juga: Masyarakat diimbau tidak takut deteksi dini kanker payudara
“Kita Kemenkes ditransformasi kesehatan menjadi perhatian penting. Khususnya di dalam pelayanan primer yakni deteksi dini penyakit tidak menular, di dalamnya tentu kanker karena ini sangat penting,” katanya dalam media "briefing" Hari Kanker Sedunia 2022 bertajuk "Close the Care Gap" yang diikuti secara daring di Jakarta, Rabu.
Ia menekankan bahwa saat ini pelayanan deteksi dini yang diberikan oleh setiap fasilitas kesehatan belum berjalan secara optimal dan masih terjadi ketimpangan di setiap daerah.
Hal tersebut terlihat dari adanya sebuah temuan kasus di mana penderita kanker yang berasal dari provinsi bagian Indonesia timur ingin melakukan radioterapi, namun harus menempuh jarak yang jauh ke Surabaya terlebih dahulu dan mengantre selama satu hingga dua tahun untuk benar-benar bisa mengakses layanan tersebut.
Hal itu, katanya, menyebabkan pasien baru dapat mengakses layanan tersebut, setelah dinyatakan meninggal.
Baca juga: Kemenkes: Layanan deteksi dini penderita kanker perlu ditingkatkan
Di sisi lain, katanya, rumah sakit yang dipetakan untuk menangani penyakit kanker juga masih banyak yang menumpuk di kota-kota besar, seperti Jakarta.
Guna meratakan berbagai akses pelayanan bagi penderita kanker, baik pada layanan kemoterapi maupun radiologi, pihaknya akan menyediakan rumah sakit yang dapat menjadi rujukan di sejumlah regional.
“Selain penguatan primer, Pak Menteri Kesehatan juga ingin ada transformasi rujukan di sekunder. Rumah sakit-rumah sakit yang akan menangani kanker, tentu akan dipetakan agar tak bertumpuk pada Jakarta tetapi juga di beberapa regional,” ujarnya.
Nantinya, pelayanan kanker di rumah sakit itu diharapkan disediakan dengan lebih baik, tentunya dengan konsep rujukan secara berjenjang.
Menurutnya, layanan pada deteksi dini penderita kanker harus segera ditingkatkan sebagai upaya melakukan pencegahan dengan menghilangkan berbagai faktor risiko, terutama pada kanker payudara dan kanker leher rahim (serviks).
Baca juga: Ahli ajak perempuan lebih peduli dengan kanker serviks
Meskipun Indonesia merupakan negara besar dengan beragam keadaan geografis, status ekonomi, serta sosial di masyarakat, katanya, hal itu tidak menjadi halangan tenaga kesehatan menyediakan semua layanan kesehatan, baik dalam memberikan ilmu pengetahuan maupun layanan dari penyakit yang diderita pasien dengan lebih optimal.
“Mudah-mudahan dalam waktu tiga tahun ke depan, dalam RPJMN kita bisa melakukan kesenjangan kesenjangan itu,” kata Maxi.
Berdasarkan data Globocan 2020, jumlah penderita kanker di Indonesia mencapai 65.858 pasien dan penderita kanker serviks 36.633 pasien.
Berdasarkan data Kementerian Kesehatan, total biaya yang dihabiskan Indonesia dalam penanganan kanker pada 2019 mencapai Rp4,1 triliun dan pada 2020 mencapai Rp3,5 triliun. Hal tersebut akibat banyak pasien kanker yang datang ke fasilitas kesehatan setelah stadium lanjut.
Baca juga: Lima mahasiswa UGM teliti ubur-ubur sebagai penghambat kanker payudara
Baca juga: Masyarakat diimbau tidak takut deteksi dini kanker payudara
Pewarta: Hreeloita Dharma Shanti
Editor: M. Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2022
Tags: