DFW: Pengaduan ABK WNI lebih banyak datang dari kapal ikan asing
2 Februari 2022 08:03 WIB
Ilustrasi: Sejumlah ABK kapal tengah menurunkan ikan hasil tangkapan di laut saat bersandar di TPI Juwana, Kabupaten Pati, Jawa Tengah. (ANTARA/Akhmad Nazaruddin Lathif)
Jakarta (ANTARA) - Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia mengemukakan jumlah pengaduan yang dilakukan Anak Buah Kapal (ABK) perikanan berkewarganegaraan Indonesia, lebih banyak datang dari mereka yang bekerja di kapal ikan asing.
Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia Moh Abdi Suhufan di Jakarta, Rabu, mengatakan dalam kurun waktu dua tahun terakhir ini, DFW Indonesia telah menerima 69 pengaduan awak kapal perikanan.
"40,57 persen pengaduan dilaporkan oleh awak kapal dalam negeri, dan 55,07 persen berasal dari mereka yang bekerja di kapal ikan luar negeri," katanya.
Adapun profil kasus yang sering kali diadukan oleh para awak kapal perikanan tersebut meliputi masalah asuransi dan jaminan sosial, gaji yang tidak dibayarkan atau pemotongan gaji, penipuan, dan kekerasan.
Ia mengungkapkan rata-rata pengaduan yang disampaikan terkait dengan pelanggaran ketenagakerjaan yang mengarah pada praktik kerja paksa.
Selain itu dalam kurun waktu 2020-2021, pihaknya menerima 69 pengaduan dengan total korban sebanyak 169 orang.
Baca juga: DFW: Tingkatkan akurasi data kapal dan perlindungan ABK perikanan
Untuk itu, ujar dia, pemerintah Indonesia melalui kementerian terkait perlu meningkatkan upaya perlindungan awak kapal perikanan yang bekerja di kapal ikan dalam dan luar negeri.
Sejauh ini, kata dia, walaupun sejumlah aturan dan regulasi telah dikeluarkan pemerintah namun kenyataan di lapangan menunjukkan banyaknya masalah yang dialami oleh para awak kapal perikanan.
Kesenjangan implementasi dan minimnya pengawasan, lanjutnya, ditengarai menjadi sebab belum optimalnya perlindungan yang diberikan kepada para awak kapal perikanan tersebut.
"UU No. 18/2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia belum mampu menjawab masalah carut marut tersebut karena aturan teknis terkait awak kapal perikanan tak kunjung dikeluarkan," kata Abdi.
Akibatnya, kata dia, proses rekruitmen dan penempatan awak kapal perikanan bisa dilakukan oleh siapa saja tanpa kontrol dan pengawasan ketat dari pemerintah.
Selain UU Nomor 18/2017, Indonesia memiliki UU Nomor 17/2008 tentang Pelayaran dan UU Nomor 40/2007 tentang Perseroan Terbatas yang menjadi dasar manning agent melakukan usaha perekrutan dan penempatan awak kapal perikanan migran.
"Banyaknya regulasi yang saling tumpang tindih ini menjadi titik lemah tata kelola awak kapal perikanan migran," kata Abdi.
Baca juga: DFW: 35 WNI awak kapal perikanan meninggal di luar negeri
Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia Moh Abdi Suhufan di Jakarta, Rabu, mengatakan dalam kurun waktu dua tahun terakhir ini, DFW Indonesia telah menerima 69 pengaduan awak kapal perikanan.
"40,57 persen pengaduan dilaporkan oleh awak kapal dalam negeri, dan 55,07 persen berasal dari mereka yang bekerja di kapal ikan luar negeri," katanya.
Adapun profil kasus yang sering kali diadukan oleh para awak kapal perikanan tersebut meliputi masalah asuransi dan jaminan sosial, gaji yang tidak dibayarkan atau pemotongan gaji, penipuan, dan kekerasan.
Ia mengungkapkan rata-rata pengaduan yang disampaikan terkait dengan pelanggaran ketenagakerjaan yang mengarah pada praktik kerja paksa.
Selain itu dalam kurun waktu 2020-2021, pihaknya menerima 69 pengaduan dengan total korban sebanyak 169 orang.
Baca juga: DFW: Tingkatkan akurasi data kapal dan perlindungan ABK perikanan
Untuk itu, ujar dia, pemerintah Indonesia melalui kementerian terkait perlu meningkatkan upaya perlindungan awak kapal perikanan yang bekerja di kapal ikan dalam dan luar negeri.
Sejauh ini, kata dia, walaupun sejumlah aturan dan regulasi telah dikeluarkan pemerintah namun kenyataan di lapangan menunjukkan banyaknya masalah yang dialami oleh para awak kapal perikanan.
Kesenjangan implementasi dan minimnya pengawasan, lanjutnya, ditengarai menjadi sebab belum optimalnya perlindungan yang diberikan kepada para awak kapal perikanan tersebut.
"UU No. 18/2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia belum mampu menjawab masalah carut marut tersebut karena aturan teknis terkait awak kapal perikanan tak kunjung dikeluarkan," kata Abdi.
Akibatnya, kata dia, proses rekruitmen dan penempatan awak kapal perikanan bisa dilakukan oleh siapa saja tanpa kontrol dan pengawasan ketat dari pemerintah.
Selain UU Nomor 18/2017, Indonesia memiliki UU Nomor 17/2008 tentang Pelayaran dan UU Nomor 40/2007 tentang Perseroan Terbatas yang menjadi dasar manning agent melakukan usaha perekrutan dan penempatan awak kapal perikanan migran.
"Banyaknya regulasi yang saling tumpang tindih ini menjadi titik lemah tata kelola awak kapal perikanan migran," kata Abdi.
Baca juga: DFW: 35 WNI awak kapal perikanan meninggal di luar negeri
Pewarta: M Razi Rahman
Editor: Risbiani Fardaniah
Copyright © ANTARA 2022
Tags: