Jakarta (ANTARA News) - "Dengan bangga saya katakan bahwa Amerika Serikat (AS) secara resmi mengakui Republik Sudan Selatan sebagai negara yang merdeka dan berdaulat pada 9 Juli 2011. Hendaknya kita mengingat, setelah kegelapan perang akan selalu ada cahaya terang menanti," kata Presiden AS, Barrack Hussein Obama.

Demikian petikan pernyataan Presiden Obama dalam pengakuan resminya terhadap kemerdekaan Republik Sudan Selatan (The Republic of South Sudan).

Kemerdekaan ini apakah menunjukkan kelahiran negara baru atau mengisyaratkan perang lama akan terjadi kembali, hal ini lebih ditentukan oleh kemauan rakyat Sudan Selatan yang telah memilih pemimpinnya..

Sudan Selatan, yang wilayahnya 619.745 km persegi dan kaya minyak serta berpenduduk 8.260.490 jiwa dalam sensus tahun 2008 ini, kini sebuah negara baru.

Pemerintahnya telah mempersiapkan lagu kebangsaan: "South Sudan Oyee", mata uang: pound, dan bahasa nasional: bahasa Inggris.

Pada 9 Juli 2011, negara ini memproklamirkan kemerdekaannya dengan memilih presidennya, Salva Kiir Mayardit dan wakil presidennya, Riek Machar.

Jika tokoh legendaris Sudan selatan, John Garang, masih hidup, kemungkinan besar dia lah yang akan dipilih oleh rakyat Sudan selatan menjadi presiden.

Perlu kita ketahui, tokoh legendaris Sudan selatan, (mendiang) John Garang de Mabior (23 Juni 1945-30 Juli 2005) adalah seorang politisi dan pemimpin rakyat Sudan selatan.

Sejak tahun 1983 hingga 2005 ia memimpin Sudan People's Liberation Army (SPLA) dalam Perang Sipil Sudan ke-II. Setelah perjanjian perdamaian, ia menjadi Wakil Presiden dari Januari 2005 hingga ia meninggal akibat kecelakaan helikopter pada 30 Juli 2005.

Beberapa waktu lalu, sebuah referendum digelar di Sudan selatan, untuk menentukan apakah rakyatnya menginginkan kemerdekaan dari pemerintah Sudan utara.

Sebanyak 98,83 persen rakyat Sudan Selatan setuju dan hanya 1,17 persen menentang.

Sudan Selatan yang beribukota Juba, berdiri melalui konflik berkepanjangan. Yakni dua perang saudara melawan utara. Dalam perang pertama, sekitar 500.000 warganya tewas, sedangkan pada perang saudaral kedua, sekitar dua juta warganya tewas.

Secara resmi, Sudan yang bersatu dibentuk oleh penjajah Inggris pada 1946. Mereka memutuskan untuk menyatukan dua kawasan yang tak punya urusan, menjadi sebuah negara. Semenjak itu, Selatan terus memberontak melawan dominasi Utara.

Kemerdekaan

Pemberontakan tersebut terus berlanjut hingga Comprehensive Peace Agreement (CPA) yang diperantarai Amerika Serikat pada tahun 2005. Wilayah Sudan Selatan saat ini merupakan bagian dari kondominium (negeri yang dikuasai bersama) Inggris-Mesir milik Anglo-Egyptian Sudan.

Setelah perang sipil pertama, wilayah otonomi Sudan Selatan didirikan pada tahun 1972 dan bertahan selama 11 tahun. Kemudian, terjadi perang sipil kedua yang berakhir dengan CPA dan berlaku kembali otonomi Sudan Selatan. Referendum kemerdekaan pun dilakukan pada Januari 2011.

Pada 13 Juli 2011, Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menemui perwakilan dari Sudan Selatan mendiskusikan kemerdekaan secara resmi. Kemudian, akan ada sidang umum untuk mengambil suara apakah negara ini bisa menjadi anggota PBB ke-193.

Republik Sudan Selatan, yang memiliki motto "Justice, Liberty, Prosperity" ini juga telah mempersiapkan pengakuan lain, seperti mengajukan diri sebagai anggota Negara Persemakmuran yang dipimpin kerajaan Inggris. Selain Komunitas Afrika Timur, Dana Moneter Internasional (IMF), Bank Dunia, dan Liga Arab.

Meskipun memiliki persamaan agama, budaya, dan etnis, menyatukan Sudan selatan dan utara bukan perkara mudah. Saat menjajah Eropa pada awal abad 20, penjajah Eropa seringkali menyatukan wilayah-wilayah yang dihuni kelompok-kelompok yang sangat bertentangan.

Sepeninggal Eropa, Afrika bahkan dipenuhi perang saudara. Hampir seluruh perang saudara itu melibatkan kelompok-kelompok dari etnis atau budaya dan juga agama yang berbeda. Jika Afrika dipecah berdasarkan etnis, maka jumlah negara di benua itu akan berlipat ganda.

Menurut spesialis Sudan di International Crisis Group, Zach Vertin, bahwa kedua negara ini bisa disatukan oleh sebuah persamaan: minyak bumi.

"Sumber minyaknya banyak di selatan. Namun, infrastruktur untuk mengekspornya harus melalui utara," katanya.

Menyimak perjuangan menuju kemerdekaan Republik Sudan Selatan hingga pemisahan diri dari Republik Sudan, untuk langkah selanjutnya, ini akan lebih ditentukan oleh rakyat Sudan selatan sendiri yang telah memilih pemimpinnya, apakah negeri baru ini akan lebih baik atau lebih buruk pasca pemisahan dirinya dari Sudan Utara.

(M012)