Jakarta (ANTARA) - Kementerian Perindustrian berupaya mentransformasi industri petrokimia menjadi industri hijau dengan merealisasikan berbagai proyek petrokimia yang menggunakan bahan-bahan fosil sebagai bahan baku dan energi.

"Kami ikut dalam nationally determined contribution, kita selama ini dipantau kita juga melaporkan dan melakukan koordinasi. Apalagi sekarang sudah ditetapkan COP26, jadi sebenarnya sektor industri coba untuk mulai melakukan yang disebut dengan reduksi gas rumah kaca," kata Direktur Jenderal Industri Kimia Farmasi dan Tekstil Kementerian Perindustrian Muhammad Khayam secara virtual yang diikuti dari Jakarta, Jumat.

Khayam memaparkan pada industri kimia, khususnya petrokimia, merupakan yang paling banyak membutuhkan bahan baku turunan dari minyak bumi, seperti nafta, kondensat, juga elpiji.

Kemudian, turunan dari gas bumi juga banyak digunakan untuk memproduksi amonia dan metanol yang kemudian dibutuhkan sebagai bahan baku industri petrokimia.

Saat ini, tengah dikembangkan gasifikasi batubara oleh PT Bukit Asam, yang telah dipersiapkan selama tiga hingga empat tahun.

"Ini artinya ke depan, batu bara yang dianggap sebagai penyumbang atau kontributor terbesar dari gas rumah kaca, itu kita coba manfaatkan hilirisasinya," ujar Khayam.

Selain itu, sektor industri petrokimia kemudian coba untuk juga memanfaatkan bahan-bahan nabati, di mana ada empat teknologi yang sedang didorong untuk digunakan.

Pertama adalah gasifikasi nabati, yang serupa dengan gasifikasi batu bara, di mana prosesnya relatif sama dan akan menghasilkan sin gas yang dapat diubah menjadi gas H2 dan CO2 untuk selanjutnya diubah menjadi metanol maupun amonia.

"Metanol sendiri sekarang teknologinya bisa dimanfaatkan untuk menjadi metanol dan olefin, di mana ini merupakan bahan baku plastik. Jadi, kita berharap disamping kita nanti mempunyai proses produksi gasifikasi batu bara, ini juga nantinya dapat dimanfaatkan untuk gasifikasi nabati," ujar Khayam.

Proyek lainnya yang juga akan direalisasikan adalah memanfaatkan nabati, dalam hal ini Crude Palm Oil (CPO) yang diubah menjadi diesel 100 persen atau bensin 100 persen, kemudian juga avtur 100 persen.

Salah satu produk lainnya yang juga tengah dikembangkan yaitu nafta. Padahal, lanjut Khayam, nafta selama ini diproduksi dengan turunan minyak bumi.

"Nah, dengan nanti diproduksi sekaligus baik diesel 100 persen, bensin 100 persen, dan avtur 100 persen akan dihasilkan nafta 100 persen juga. Nafta ini menjadi bahan baku untuk membuat olefin dan aromatik. Bahan baku plastik dan juga tekstil," ujar Khayam.


Baca juga: Kemenperin fokus subtitusi impor di sektor industri kimia
Baca juga: Pembenahan aromatik TPPI turunkan impor produk turunan petrokimia
Baca juga: Lotte bangun kompleks petrokimia yang mangkrak 5 tahun