Jakarta (ANTARA) - Bank Dunia memperkirakan negara-negara dengan ekonomi yang sedang berkembang (emerging market) tumbuh lebih lambat saat pandemi melanda, berbanding terbalik dengan pertumbuhan sebelum pandemi yang cenderung lebih cepat dibanding negara maju.

"Apa yang kita alami adalah pemulihan yang tidak merata, dan perlambatan akan menyebabkan ketidaksetaraan baik antarnegara maupun di dalam negara," ungkap Direktur Pelaksana Bank Dunia Mari Elka Pangestu dalam B20 Indonesia Inception Meeting di Jakarta, Kamis.

Pada tahun 2022, hanya empat dari 10 ekonomi pasar berkembang yang akan pulih kembali ke tingkat pertumbuhan sebelum pandemi, sehingga total keseluruhan pertumbuhan negara emerging market kemungkinan hanya akan sebesar 4,6 persen pada 2022 dan melambat menjadi 4,4 persen di tahun 2023.

Angka tersebut, ucap Mari, cukup jauh dengan rata-rata pertumbuhan negara emerging market sebelum masa pandemi yang sebesar 5,1 persen.

Sementara itu, sembilan dari 10 negara maju akan mendapatkan kembali pertumbuhan ekonomi sebelum masa pandemi pada tahun 2022.

"Ceritanya benar-benar berbeda dengan negara-negara emerging market yang tertinggal dalam pemulihan dan memiliki pertumbuhan yang lebih lambat," katanya.

Dengan demikian, ia menuturkan negara-negara maju akan tumbuh 3,8 persen pada tahun 2022, meski sedikit melambat menjadi 2,3 persen di tahun 2023.

Namun, pertumbuhan tersebut masih akan cukup untuk memulihkan output produk domestik bruto (PDB) dan investasi negara maju, apalagi mengingat pemulihan yang sangat kuat pada tahun 2022 hingga meningkatkan pertumbuhan ekonomi negara-negara tersebut mencapai lima persen.
Baca juga: Bank Dunia: Negara tak bisa pulih dari pandemi tanpa sektor swasta
Baca juga: Negara-negara di Asia diperkirakan lolos dari goncangan inflasi global
Baca juga: ADB pangkas pertumbuhan negara berkembang Asia atas risiko Omicron