Pasar Baja 2011 Diperkirakan Mencapai Rp63,7 Triliun
12 Juli 2011 15:31 WIB
Seorang pekerja melintas di depan gulungan baja atau coil di PT. Krakatau Steel, Cilegon, Banten, Selasa (6/4). Harga bijih besi naik 90 persen, dari harga 80-90 dolar Amerika per ton menjadi 150-160 dolar Amerika per ton. (ANTARA/Rosa Panggabean/ss/pd/10)
Jakarta (ANTARA News) - Pasar baja di Indonesia diperkirakan meningkat 53,4 persen atau mencapai Rp63,7 triliun setara dengan 9,5 juta ton pada 2011 dibanding pencapaian 2010 yang senilai Rp41,5 triliun.
Vice President Chief Economist Strategic Planning Division PT Bank Negara Indonesia (BNI), Ryan Kiryanto di Jakarta, Selasa mengatakan, ekspektasi pertumbuhan ekonomi yang dapat mencapai 6,4 persen pada tahun ini akan berdampak positif pada industri baja nasional.
"Konsumsi baja dari sektor manufaktur dan konstruksi diperkirakan naik tajam tahun ini, sejalan dengan pertumbuhan ekonomi yang diramal bisa mencapai 6,4 persen," katanya dalam seminar "Kesiapan Industri Baja Menghadapi Revitalisasi Industri Strategis".
Ia menambahkan, sektor kontruksi akan tumbuh menjadi 7,3 persen pada 2011 dibanding tahun sebelumnya yang sebesar 6,8 persen dan manufaktur ditargetkan tumbuh 6,2 persen dari realisasi 2010 yang sebesar lima persen.
Dalam semester pertama 2011, lanjut dia, perkembangan industri metal dunia menunjukkan perkembangan signifikan. Terjaganya kisaran harga minyak yang maulai stabil di level 95-103 dolar AS per barel dan prospek pertumbuhan ekonomi dunia yang masih positif, menjadikan permintaan logam berat tetap prospektif.
"Permintaan logam berat yang notabene sebagai bahan baku industri mayoritas masih cukup kencang dilakukan oleh negara-negara industri besar dunia," katanya.
Indonesia, tambah dia, sebagai salah satu negara produsen sekaligus eksportir komoditi logam berat, tentu memperoleh keuntungan dari kondisi tersebut.
Namun saat ini, kata Ryan Kiryanto, sekitar 4-5 juta ton pasokan baja yang ditujukan guna memenuhi kebutuhan nasional masih diimpor, angka itu hampir setara dengan 40-50 persen dari total kebutuhan baja nasional.
Hal itu, kata dia, akan mendorong investasi baja di Indonesia tetap menarik bagi perusahaan domestik dan asing. Namun, calon investor baja perlu mengantisipasi persaingan dengan produk impor baja murah asal Cina yang selama ini diduga membanjiri pasar Indonesia.
Ia menambahkan, sektor perbankan saat ini memiliki kelebihan dana yang belum dapat disalurkan, bahkan pemerintah sendiri memiliki dana Rp600 triliun yang juga belum disalurkan.
"Maka itu, modal yang dibutuhkan untuk pengembangan industri baja nasional sebenarnya tidak ada masalah, hanya perlu pelaksanaannya saja," kata dia.
Vice President Chief Economist Strategic Planning Division PT Bank Negara Indonesia (BNI), Ryan Kiryanto di Jakarta, Selasa mengatakan, ekspektasi pertumbuhan ekonomi yang dapat mencapai 6,4 persen pada tahun ini akan berdampak positif pada industri baja nasional.
"Konsumsi baja dari sektor manufaktur dan konstruksi diperkirakan naik tajam tahun ini, sejalan dengan pertumbuhan ekonomi yang diramal bisa mencapai 6,4 persen," katanya dalam seminar "Kesiapan Industri Baja Menghadapi Revitalisasi Industri Strategis".
Ia menambahkan, sektor kontruksi akan tumbuh menjadi 7,3 persen pada 2011 dibanding tahun sebelumnya yang sebesar 6,8 persen dan manufaktur ditargetkan tumbuh 6,2 persen dari realisasi 2010 yang sebesar lima persen.
Dalam semester pertama 2011, lanjut dia, perkembangan industri metal dunia menunjukkan perkembangan signifikan. Terjaganya kisaran harga minyak yang maulai stabil di level 95-103 dolar AS per barel dan prospek pertumbuhan ekonomi dunia yang masih positif, menjadikan permintaan logam berat tetap prospektif.
"Permintaan logam berat yang notabene sebagai bahan baku industri mayoritas masih cukup kencang dilakukan oleh negara-negara industri besar dunia," katanya.
Indonesia, tambah dia, sebagai salah satu negara produsen sekaligus eksportir komoditi logam berat, tentu memperoleh keuntungan dari kondisi tersebut.
Namun saat ini, kata Ryan Kiryanto, sekitar 4-5 juta ton pasokan baja yang ditujukan guna memenuhi kebutuhan nasional masih diimpor, angka itu hampir setara dengan 40-50 persen dari total kebutuhan baja nasional.
Hal itu, kata dia, akan mendorong investasi baja di Indonesia tetap menarik bagi perusahaan domestik dan asing. Namun, calon investor baja perlu mengantisipasi persaingan dengan produk impor baja murah asal Cina yang selama ini diduga membanjiri pasar Indonesia.
Ia menambahkan, sektor perbankan saat ini memiliki kelebihan dana yang belum dapat disalurkan, bahkan pemerintah sendiri memiliki dana Rp600 triliun yang juga belum disalurkan.
"Maka itu, modal yang dibutuhkan untuk pengembangan industri baja nasional sebenarnya tidak ada masalah, hanya perlu pelaksanaannya saja," kata dia.
Editor: Ella Syafputri
Copyright © ANTARA 2011
Tags: