Mataram (ANTARA News) - Ketua Ketua Kamar Masyarakat Dewan Kehutanan Nasional, Hedar Laudjeng, menyatakan, konflik kepentingan dalam pengelolaan kawasan hutan di Indonesia terjadi pada 19.420 desa di 32 provinsi.

"Luasan kawasan hutannya tentu saja sangat luar biasa dan ini mempengaruhi perikehidupan sangat banyak penduduk Indonesia dengan seluruh ikutannya. Hal ini terjadi karena beberapa hal yang saling berkaitan. Krisis ekologi yang dahsyat. Salah satu penyebab krisis tersebut adalah deforestasi yang tidak terkendali," katanya, kepada ANTARA, di Mataram, NTB, Senin.

Laudjeng berada di Mataram sebagai pembicara pada Konferensi Internasional Tentang Pengelolaan Hutan, Pengalaman dan Kesempatan Asia 2011. Konferensi itu dihadiri 250 orang dari mancanegara, terdiri dari ahli kehutanan, birokrat terkait kehutanan, masyarakat pemangku hutan, pengusaha perhutanan, dan LSM.
Dari hulu, katanya, permasalahan tentang ini terjadi karena perundang-undangan yang bias secara hukum. Hukum di Indonesia berada dalam masa transisi dari system hukum yang otoriter menuju system hukum yang populis.

Hukum kolonial masih sangat menjiwai sistem hukum yang berlaku sehingga tidak ramah terhadap keberadaan masyarakat setempat. "Bahkan terhadap masyarakat yang sudah bermukim secara turun-temurun, jauh sebelum republik ini didirikan," katanya.

Tata batas kawasan hutan yang belum selesai. Sejauh ini baru sekitar 14 juta hektar yang selesai di tata batas atau sekitar 10,5% dari luas kawasan hutan yang ada.

Kedua hal tersebut seringkali menimbulkan konflik antara masyarakat setempat dengan pemerintah dan pihak-pihak lain yang memperoleh hak dari pemerintah. Ditandai dengan amandemen UUD 1945 yang menambahkan satu bab khusus tentang hak-hak asasi manusia.

Untuk itu, Dewan Kehutanan Nasional sudah menyusun Naskah Akademik Revisi UU Nomor 5/1990 dan merekomendasikan revisi UU Nomor 41/1999.

"Kita berharap, akan lahir perundang-undangan di bidang kehutanan yang menghormati keberadaan masyarakat setempat, terutama mereka yang secara turun-temurun tinggal di dalam dan di sekitar kawasan hutan," katanya.

Kawasan hutan yang belum ditata batas, seringkali menimbulkan konflik antara masyarakat setempat dengan pemerintah dan pihak lain yang mendapatkan hak dari pemerintah.

Hal itu berdasarkan penunjukan tertentu sebagai kawasan hutan --yang selalu berarti hutan negara-- pemerintah merasa sudah berwewenang penuh untuk memberikan hak kepada pihak lain.

"Celakanya, seringkali areal yang diberi hak kepada pihak lain merupakan ruang kehidupan dan sumber penghidupan masyarakat setempat yang sudah berlangsung secara turun-temurun," katanya. Rencana Kehutanan Tingkat Nasional 2011-2030 sebetulnya menunjukkan komitmen pemerintah untuk menyelesaikan permasalahan tersebut.
(ANT)