Jakarta (ANTARA) - Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) mendesak Pemerintah untuk meninjau ulang Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan karena LPSK menilai Pasal 52 ayat (1) huruf r ini merugikan masyarakat.
"Pasal 52 ayat (1) huruf r yang mengatur mengenai manfaat yang tidak dijamin telah mengabaikan situasi kedaruratan yang mengancam keselamatan korban jiwa tindak pidana karena konsekuensi penolakan jaminan dari BPJS Kesehatan," kata Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi Pasaribu dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Selasa.
Pasal tersebut menyebutkan pelayanan kesehatan yang tidak dijamin BPJS adalah pelayanan kesehatan akibat tindak pidana penganiayaan, kekerasan seksual, korban terorisme, dan tindak pidana perdagangan orang.
"Pasal ini bertentangan dengan UU Perlindungan Saksi dan Korban karena LPSK memberikan perlindungan kepada korban tindak pidana dengan syarat-syarat yang ditentukan UU, termasuk tindak pidana tertentu yang sudah diatur menjadi prioritas perlindungan LPSK," kata Edwin menegaskan.
Menurut Edwin, pada prinsipnya LPSK keberatan dengan Pasal 52 ayat (1) huruf r yang mengatur mengenai manfaat yang tidak dijamin BPJS karena sedari awal LPSK memang tidak pernah dilibatkan dalam penyusunannya.
Selain itu, LPSK bukanlah lembaga penjamin sebagaimana halnya BPJS. Bahkan, BPJS dalam melaksanakan tugasnya menarik premi (iuran) dari masyarakat.
"LPSK memberikan perlindungan dan hak-hak lain bagi saksi dan/atau korban tindak pidana, murni menggunakan dana APBN. Dengan keterbatasan anggaran yang dialokasikan ke LPSK setiap tahunnya, tidak akan cukup untuk menutupi kebutuhan korban tindak pidana yang tidak dijamin oleh BPJS," ungkap Edwin.
Meski demikian, lanjut Edwin, beberapa tahun terakhir setelah perpres ini terbit, sekalipun bukan lembaga penjamin kesehatan layaknya BPJS, LPSK tidak menutup mata akan kebutuhan medis korban tindak pidana.
Dalam 4 tahun terakhir sejak perpres itu lahir, LPSK menerima lebih 400 permohonan dari korban yang pelayanan kesehatannya tidak dijamin BPJS, terdiri atas sebanyak 7 permohonan pada tahun 2018, 183 permohonan (2019), dan 60 permohonan pada tahun 2020.
Meskipun demikian, kata dia, tidak semua permohonan tersebut dapat diterima LPSK.
Mereka yang mendapatkan bantuan medis merupakan korban dari tindak pidana penganiayaan, kekerasan secara bersama-sama, kekerasan terhadap anak, penganiayaan berat, pencurian dengan kekerasan, dan korban peluru nyasar.
"Pada tahun 2021, LPSK menerima 78 permohonan bantuan medis dari mereka yang tidak dijamin BPJS. Namun, hanya 41 saja yang diterima," kata Edwin.
Ke-78 permohonan medis pada tahun 2021 berasal dari beberapa provinsi, yaitu Jawa Barat (26 permohonan), Sumatera Utara (16 permohonan), Banten (10 permohonan), Sulawesi Selatan (9 permohonan), DKI Jakarta (6 permohonan), Jawa Timur (4 permohonan), Kalimantan Tengah (3 permohonan), serta DIY, Jawa Tengah, Papua dan Sumatera Selatan dengan masing-masing satu permohonan.
Edwin menuturkan bahwa LPSK kerap membayar biaya medis sejak korban masuk rumah sakit. Meski permohonan diajukan saat korban dalam perawatan atau sudah pulang, masih memiliki utang dengan rumah sakit, pada pratiknya LPSK kerap memutuskan membayar pembiayaan medis sejak hari pertama korban mendapatkan tindakan medis dari rumah sakit.
Baca juga: KKP-BPJS Ketenagakerjaan perluas jaminan sosial di perikanan tangkap
Baca juga: BPJS Kesehatan perkuat peran FKTP dalam penyediaan layanan primer
LPSK desak peninjauan ulang Perpres 82/2018
25 Januari 2022 15:41 WIB
Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Edwin Partogi Pasaribu (kanan). ANTARA
Pewarta: Putu Indah Savitri
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2022
Tags: