Saksi: Matematika FMIPA UI tidak miliki guru besar sejak 2018
24 Januari 2022 18:14 WIB
Tangkapan layar Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman memimpin sidang lanjutan perkara Nomor 20/PUU-XIX/2021 di Gedung MK, Jakarta, Senin (24/1/2022). ANTARA/Muhammad Zulfikar
Jakarta (ANTARA) - Saksi sekaligus Guru Besar Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) Universitas Indonesia (UI) Yoki Yulizar menyebutkan sejak 2018 departemen tersebut tidak memiliki guru besar.
"Sejak 2018, Departemen Matematika FMIPA tidak memiliki guru besar sehingga kesulitan membuka program Studi Doktor," kata Prof. Yoki Yulizar pada sidang lanjutan Pengujian Undang-Undang (PUU) Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen yang digelar Mahkamah Konstitusi di Jakarta, Senin.
Sidang perkara Nomor 20/PUU-XIX/2021 tersebut digelar dengan agenda mendengarkan keterangan saksi dari Universitas Indonesia sebagai pihak terkait.
Perkara tersebut dimohonkan oleh Sri Mardiyati yang pernah sebagai dosen FMIPA UI. Pemohon mempersoalkan Pasal 50 ayat (4) Undang-Undang Guru dan Dosen yang menghalangi pemohon untuk memperoleh gelar guru besar.
Dalam keterangannya, Prof. Yoki mengatakan bahwa guru besar memegang posisi penting dan strategis di UI.
Ia menyebutkan jumlah guru besar juga menentukan pemeringkatan atau ranking UI di tingkat nasional maupun internasional.
"Oleh karena itu, terkait dengan penambahan guru besar, menjadi sasaran strategis yang dimuat dalam rencana strategis UI," kata dia.
Dalam kesaksiannya, dia menjelaskan pengajuan guru besar di UI penuh dengan prinsip kehati-hatian. Hal itu diawali dari departemen, FMIPA, hingga tingkat Universitas Indonesia.
Sebagai contoh, yang dialami Sri Mardiyati selaku pemohon sejak 2016 sudah mengajukan penilaian angka kredit dari lektor kepala dengan angka kredit 550 ke guru besar dengan angka kredit 850.
Artinya, pemohon membutuhkan 300 angka kredit. Dari angka kredit tersebut, komponen paling besar adalah penelitian yang memerlukan 45 persen atau sekitar 135 angka kredit.
Singkatnya, setelah dinyatakan lengkap tanpa kekurangan, berkas Sri Mardiyati diserahkan kepada pihak Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti). Namun, dalam penilaian pengajuan Sri Mardiyati ditolak.
Sebelumnya, pemohon menguji Pasal 50 ayat (4) Undang-Undang Guru dan Dosen.
Pemohon mendalilkan seharusnya menurut Pasal 50 ayat (4) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005, pengangkatan dan penetapan jenjang jabatan akademik tertentu, termasuk guru besar, merupakan kewenangan satuan pendidikan tinggi atau universitas atau rektor.
Akan tetapi, karena adanya pedoman operasional penilaian angka kredit pada tahun 2019 yang ditetapkan oleh menteri terkait, kewenangan mengangkat dan menetapkan jabatan akademik menjadi kewenangan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi.
Baca juga: Kuasa Hukum: Pasal 50 Ayat (4) Undang-Undang Guru dan Dosen ambigu
Baca juga: Pemohon uji materi Undang-Undang Guru dan Dosen perbaiki permohonan
"Sejak 2018, Departemen Matematika FMIPA tidak memiliki guru besar sehingga kesulitan membuka program Studi Doktor," kata Prof. Yoki Yulizar pada sidang lanjutan Pengujian Undang-Undang (PUU) Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen yang digelar Mahkamah Konstitusi di Jakarta, Senin.
Sidang perkara Nomor 20/PUU-XIX/2021 tersebut digelar dengan agenda mendengarkan keterangan saksi dari Universitas Indonesia sebagai pihak terkait.
Perkara tersebut dimohonkan oleh Sri Mardiyati yang pernah sebagai dosen FMIPA UI. Pemohon mempersoalkan Pasal 50 ayat (4) Undang-Undang Guru dan Dosen yang menghalangi pemohon untuk memperoleh gelar guru besar.
Dalam keterangannya, Prof. Yoki mengatakan bahwa guru besar memegang posisi penting dan strategis di UI.
Ia menyebutkan jumlah guru besar juga menentukan pemeringkatan atau ranking UI di tingkat nasional maupun internasional.
"Oleh karena itu, terkait dengan penambahan guru besar, menjadi sasaran strategis yang dimuat dalam rencana strategis UI," kata dia.
Dalam kesaksiannya, dia menjelaskan pengajuan guru besar di UI penuh dengan prinsip kehati-hatian. Hal itu diawali dari departemen, FMIPA, hingga tingkat Universitas Indonesia.
Sebagai contoh, yang dialami Sri Mardiyati selaku pemohon sejak 2016 sudah mengajukan penilaian angka kredit dari lektor kepala dengan angka kredit 550 ke guru besar dengan angka kredit 850.
Artinya, pemohon membutuhkan 300 angka kredit. Dari angka kredit tersebut, komponen paling besar adalah penelitian yang memerlukan 45 persen atau sekitar 135 angka kredit.
Singkatnya, setelah dinyatakan lengkap tanpa kekurangan, berkas Sri Mardiyati diserahkan kepada pihak Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti). Namun, dalam penilaian pengajuan Sri Mardiyati ditolak.
Sebelumnya, pemohon menguji Pasal 50 ayat (4) Undang-Undang Guru dan Dosen.
Pemohon mendalilkan seharusnya menurut Pasal 50 ayat (4) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005, pengangkatan dan penetapan jenjang jabatan akademik tertentu, termasuk guru besar, merupakan kewenangan satuan pendidikan tinggi atau universitas atau rektor.
Akan tetapi, karena adanya pedoman operasional penilaian angka kredit pada tahun 2019 yang ditetapkan oleh menteri terkait, kewenangan mengangkat dan menetapkan jabatan akademik menjadi kewenangan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi.
Baca juga: Kuasa Hukum: Pasal 50 Ayat (4) Undang-Undang Guru dan Dosen ambigu
Baca juga: Pemohon uji materi Undang-Undang Guru dan Dosen perbaiki permohonan
Pewarta: Muhammad Zulfikar
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2022
Tags: