Pandeglang, Banten (ANTARA) - Pemerintah Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten mengusulkan pembangunan gedung shelter di tiga titik untuk perlindungan dan penyelamatan masyarakat pesisir pantai dari ancaman gelombang tsunami.

"Ketiga titik itu antara lain di pesisir Panimbang, Sumur dan Cigeulis, " kata Kepala Seksi Kedaruratan dan Logistik Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Pandeglang, Emil Salim di Pandeglang, Jumat.

Pengajuan usulan pembangunan gedung shelter tersebut kepada pemerintah pusat, karena jika dibebankan kepada anggaran daerah dipastikan tidak mampu membiayainya.

Baca juga: Warga Pandeglang dambakan perbaikan rumah
Pesisir pantai ketiga titik itu, karena lokasi alamnya dataran dan tidak ada perbukitan maupun pegunungan.

Pembangunan shelter itu nantinya dapat menampung ribuan warga pesisir jika sewaktu-waktu terjadi tsunami.

Selama ini, kata dia , wilayah pesisir pantai Pandeglang masuk kategori rawan gempa dan tsunami.

Sedangkan, kata dia, kini pembangunan gedung shelter yang ada di Pandeglang yakni di Labuhan.

Baca juga: Gempa bumi di Pandeglang berdampak pada 30 kecamatan
Karena itu, pihaknya mengajukan kembali pembangunan gedung shelter bertingkat enam hingga mampu menampung ribuan orang.

"Kami berharap tahun ini bisa direalisasikan pembangunan gedung shelter itu," katanya menjelaskan.

Menurut dia, selama ini, kerap kali wilayah pesisir Pandeglang terjadi gempa tektonik karena memiliki potensi tsunami.

Berdasarkan Perairan Selat Sunda Banten diketahui memiliki catatan kelam soal gempa dan tsunami.

Baca juga: Kemensos siapkan tenda dekat rumah warga korban gempa
Sebab Selat Sunda adalah salah satu zona celah seismik (seismic gap) yang berpotensi kuat menjadi sumber gempa.

Berdasarkan catatan sejarah gempa dan tsunami di wilayah Selat Sunda terjadi pada 1722 silam, kemudian pada 1852, serta pada 1958, yang semua disebabkan gempa.

Kemudian, tsunami yang berkaitan dengan erupsi Gunung Krakatau berdasarkan catatan sejarah terjadi pada 416 silam, kemudian pada 1883, pada 1928, serta pada 2018.

Selain itu tsunami yang terjadi pada 1851, 1883, dan 1889 dipicu aktivitas longsor.

Dengan demikian, pihaknya berharap pesisir pantai Pandeglang terpenuhi sarana dan prasarana mitigasi guna mengurangi risiko kebencanaan.

"Kami tidak bisa membayangkan jika terjadi gelombang tsunami di Selat Sunda dipastikan banyak korban jiwa jika tidak dilakukan sosialisasi kemigitasian itu," katanya menjelaskan.

Ia mengatakan pihaknya menyambung positif adanya desa siaga yang digagas oleh Kemensos.

Kehadiran desa siaga itu nantinya dapat menyelamatkan warga dari korban bencana alam.

"Kami meyakini desa siaga itu bagian garda terdepan untuk penyelamatan masyarakat jika terjadi bencana gelombang tsunami," katanya.