Peristiwa itu merupakan penahanan terbaru dalam tindakan keras yang dilancarkan militer terhadap media sejak kudeta tahun lalu.
Moe Myint, seorang jurnalis berusia 35 tahun dan ibu dari tiga anak, ditahan pada Selasa (18/1) di Dawei, sebuah kota di Myanmar selatan, kata editor itu, yang meminta untuk tidak disebut namanya karena kepekaan masalah ini.
Jurnalis lain, Ko Zaw, 38 tahun, dan Thar Gyi, seorang perancang visual media digital berusia 21 tahun di penerbitan tersebut, ditangkap pada Rabu (19/1).
"Mereka saat ini ditahan di kantor polisi di Dawei dan alasan penangkapan mereka masih belum diketahui," kata editor itu, yang menyerukan agar mereka segera dibebaskan.
Seorang juru bicara junta militer yang berkuasa tidak menanggapi permintaan komentar.
Junta sebelumnya mengatakan pihaknya menghormati peran media tapi tidak akan membiarkan pelaporan yang dianggapnya salah atau mungkin akan menyebabkan kerusuhan publik.
Baca juga: Kekerasan pascakudeta berlanjut, Myanmar tangkap dua jurnalis lagi
Militer Myanmar sejak kudeta 1 Februari telah mencabut izin media, memberlakukan pembatasan pada internet dan siaran satelit, serta menangkap puluhan wartawan.
Myanmar menduduki peringkat kedua terburuk di dunia sebagai negara yang memenjarakan wartawan dalam sebuah laporan yang diterbitkan oleh Committee to Protect Journalists.
Reporting ASEAN, yang adalah sebuah kelompok advokasi media Asia Tenggara, mengatakan bahwa sejak kudeta sudah 115 wartawan yang mengalami penahanan, 44 jurnalis masih ditahan, dan tiga orang meninggal.
Beberapa wartawan asing juga ditahan, termasuk jurnalis Amerika Danny Fenster, yang merupakan redaktur pelaksana majalah daring independen Frontier Myanmar.
Fenster dijatuhi hukuman 11 tahun penjara November lalu terkait hasutan, pelanggaran undang-undang tentang imigrasi, serta melakukan pertemuan yang melanggar hukum.
Ia kemudian dibebaskan setelah ada negosiasi antara mantan diplomat AS Bill Richardson dan junta Myanmar.
Sumber: Reuters
Baca juga: Wartawan AS dibebaskan dari penjara Myanmar
Baca juga: Pejabat PBB khawatir dengan kekerasan militer di Myanmar