Peneliti ICJR: RUU TPKS perlu atur hak korban secara komprehensif
20 Januari 2022 17:49 WIB
Tangkapan layar - Peneliti Institute for Criminal Justice Reform Maidina Rahmawati dalam seminar bertajuk “Memadamkan Kebakaran Lapas: Evaluasi Menyeluruh Kebijakan Sistem Peradilan Pidana Indonesia” yang disiarkan secara langsung di kanal YouTube Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Selasa. (21/9/2021). ANTARA/Putu Indah Savitri/pri.
Jakarta (ANTARA) - Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Maidina Rahmawati mengatakan bahwa Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) perlu mengatur perlindungan jenis-jenis hak korban secara komprehensif.
“Pengaturan tersebut harus menjangkau hak prosedural, hak layanan, dan hak pemulihan,” kata Maidina ketika dihubungi ANTARA dari Jakarta, Kamis.
Ia mengatakan hak layanan terdiri atas layanan kesehatan darurat, seperti kontrasepsi, aborsi, dan visum gratis, kemudian hak layanan berupa pencegahan penyakit, rehabilitasi medis, rehabilitasi sosial, rehabilitasi psikososial, dan rumah aman.
Baca juga: RUU TPKS atur penanganan kekerasan seksual di ruang digital
Kemudian, ujar dia, hak pemulihan terdiri atas pendampingan komprehensif, pemulangan atau reintegrasi, jaminan sosial, restitusi, dan kompensasi.
“Harus dibuka peluang pengaturan kompensasi untuk kekerasan seksual,” kata Maidina.
Pembahasan RUU TPKS menjadi momentum tepat untuk membahas skema bantuan korban melalui mekanisme dana crime victims fund, yaitu dana yang dikelola negara dari penerimaan negara bukan pajak (PNBP) yang dialokasikan untuk biaya pemulihan korban.
Maidina berharap RUU TPKS memberi terobosan hukum dalam hukum acara, seperti jaminan penggunaan alat bukti hasil pemeriksaan forensik, serta pengaturan akomodasi yang layak terhadap saksi dan korban dengan disabilitas.
Baca juga: LSM minta pemaksaan perkawinan masuk DIM RUU TPKS
Terobosan hukum acara lainnya, papar dia, adalah pengaturan mekanisme pemeriksaan dengan perekam elektronik dan pertemuan pendahuluan yang tidak hanya dibatasi pada penyidikan, hingga pengaturan jelas tentang ketentuan teknis acara untuk hak yang membutuhkan implementasi khusus.
“Misalnya, bagaimana penerapan perintah perlindungan sementara oleh kepolisian,” kata dia.
Maidina mengatakan bahwa RUU TPKS harus memuat substansi mengenai pengaturan tindak pidana. Definisi kekerasan seksual dalam RUU TPKS, kata dia, harus menjangkau pengaturan kekerasan seksual dalam berbagai undang-undang.
Baca juga: Anggota DPR: RUU TPKS perlu atur mekanisme untuk lindungi warga
“Hal ini perlu dimasukkan untuk memberikan jaminan korban guna memperoleh hak yang sama, terlepas ketentuan undang-undang yang digunakan,” kata dia.
Maidina mengatakan disetujuinya RUU TPKS menjadi inisiatif DPR, maka pembahasan RUU TPKS telah mengambil satu langkah maju dan pembahasan bisa maju ke ranah yang lebih substansial.
“ICJR sendiri semangatnya nggak cuma mengesahkan RUU ini, tapi secara substansi harus benar-benar prokorban. Semoga pembahasan move on ketiga aspek itu, nggak berhenti di definisi dan pembahasan konsep konsen. Konsep ini mutlak harus ada,” kata dia.
“Pengaturan tersebut harus menjangkau hak prosedural, hak layanan, dan hak pemulihan,” kata Maidina ketika dihubungi ANTARA dari Jakarta, Kamis.
Ia mengatakan hak layanan terdiri atas layanan kesehatan darurat, seperti kontrasepsi, aborsi, dan visum gratis, kemudian hak layanan berupa pencegahan penyakit, rehabilitasi medis, rehabilitasi sosial, rehabilitasi psikososial, dan rumah aman.
Baca juga: RUU TPKS atur penanganan kekerasan seksual di ruang digital
Kemudian, ujar dia, hak pemulihan terdiri atas pendampingan komprehensif, pemulangan atau reintegrasi, jaminan sosial, restitusi, dan kompensasi.
“Harus dibuka peluang pengaturan kompensasi untuk kekerasan seksual,” kata Maidina.
Pembahasan RUU TPKS menjadi momentum tepat untuk membahas skema bantuan korban melalui mekanisme dana crime victims fund, yaitu dana yang dikelola negara dari penerimaan negara bukan pajak (PNBP) yang dialokasikan untuk biaya pemulihan korban.
Maidina berharap RUU TPKS memberi terobosan hukum dalam hukum acara, seperti jaminan penggunaan alat bukti hasil pemeriksaan forensik, serta pengaturan akomodasi yang layak terhadap saksi dan korban dengan disabilitas.
Baca juga: LSM minta pemaksaan perkawinan masuk DIM RUU TPKS
Terobosan hukum acara lainnya, papar dia, adalah pengaturan mekanisme pemeriksaan dengan perekam elektronik dan pertemuan pendahuluan yang tidak hanya dibatasi pada penyidikan, hingga pengaturan jelas tentang ketentuan teknis acara untuk hak yang membutuhkan implementasi khusus.
“Misalnya, bagaimana penerapan perintah perlindungan sementara oleh kepolisian,” kata dia.
Maidina mengatakan bahwa RUU TPKS harus memuat substansi mengenai pengaturan tindak pidana. Definisi kekerasan seksual dalam RUU TPKS, kata dia, harus menjangkau pengaturan kekerasan seksual dalam berbagai undang-undang.
Baca juga: Anggota DPR: RUU TPKS perlu atur mekanisme untuk lindungi warga
“Hal ini perlu dimasukkan untuk memberikan jaminan korban guna memperoleh hak yang sama, terlepas ketentuan undang-undang yang digunakan,” kata dia.
Maidina mengatakan disetujuinya RUU TPKS menjadi inisiatif DPR, maka pembahasan RUU TPKS telah mengambil satu langkah maju dan pembahasan bisa maju ke ranah yang lebih substansial.
“ICJR sendiri semangatnya nggak cuma mengesahkan RUU ini, tapi secara substansi harus benar-benar prokorban. Semoga pembahasan move on ketiga aspek itu, nggak berhenti di definisi dan pembahasan konsep konsen. Konsep ini mutlak harus ada,” kata dia.
Pewarta: Putu Indah Savitri
Editor: Herry Soebanto
Copyright © ANTARA 2022
Tags: