Jakarta (ANTARA News) - Mantan Menteri Hukum dan HAM Yusril Ihza
Mahendra mengatakan dirinya tetap akan mempersoalkan Kejaksaan Agung
(Kejagung) terkait surat pencekalan terbaru terhadap dirinya.
"Saya
telah membaca surat cekal yang baru yang dikeluarkan tanggal 27 Juni
2011, namun masih menemukan beberapa kejanggalan dalam surat cekal itu,"
kata Yusril kepada ANTARA News, Jakarta, Rabu.
Salah satu
kejanggalan itu, kata Yusril, adalah dalam konsideran menimbang, yang
menyebutkan alasan perlunya pencekalan itu adalah "dalam rangka
mendukung operasi yustisial pada tahap penyidikan".
Dalam
Peraturan Jaksa Agung No 10/ 2010 memang disebutkan bahwa pencegahan
dilakukan untuk kepentingan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan.
Masalahnya,
Kejagung sudah sejak lama mengatakan bahwa tahap penyidikan dirinya
sudah selesai.
Bahkan, mantan Jaksa Muda Tindak Pidana Khusus
(Jampidsus) M Amari berulangkali mengatakan kepada publik bahwa status
perkara telah P-21, artinya sudah diimpahkan ke Direktorat Penuntutan
karena berkas perkara sudah lengkap.
"Saya menolak pernyataan
Amari, karena Kejagung belum memanggil dan memeriksa dua saksi
meringankan yang saya minta, yakni Susilo Bambang Yudhoyono dan Megawati
Sukarnoputri, tetapi Kejagung berkeras mengatakan penyidikan sudah
selesai," kata mantan Menteri Sekretaris Negara itu.
"Kalau
penyidikan sudah selesai dan berkas sudah lengkap, maka untuk apa lagi
dicekal dengan dalih operasi yustisi pada tahap penyidikan?" tanya
Yusril heran.
Ia menambahkan, dirinya ingin melihat apakah
Kejagung akan memanggil dan memeriksa SBY terkait kasus ini dalam
pencekalan 6 bulan ke depan yang mereka lakukan.
"Meminta
keterangan SBY sangat penting terutama setelah putusan kasasi MA dalam
perkara Romli Atmasasmita. Dalam putusan kasasi itu, MA menolak dakwaan
jaksa bahwa biaya akses Sistem Administrasi Badan Hukum (Sisminbakum)
sebagai uang negara yang tidak disetorkan ke kas negara, sehingga Romli
dan dirinya dituduh bersalah melakukan korupsi. MA menegaskan bahwa
berdasarkan Pasal 2 UU No 17 Tahun 1997 tentang PNBP, maka uang yang
dipungut itu masuk PNBP atau tidak haruslah ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah (PP)," katanya.
Selama Sisminbakum beroperasi sejak 2001,
empat kali Presiden SBY mengubah PP tentang PNBP di Kementerian Hukum
dan HAM, dan baru dalam PP terakhir pada akhir Mei 2009 yang menyatakan
biaya akses itu sebagai PNBP. Sebab itu, MA menyatakan biaya akses
sebelum Mei 2009 bukanlah uang negara dan karena itu "telah tidak
terjadi kerugian negara" seperti didakwakan jaksa.
Supaya
Kejaksaan yakin betul benarkah biaya akses Sisminbakum sebelum Mei 2009
bukanlah uang negara sebagaimana dikatakan MA, maka mutlak perlu bagi
Kejagung untuk meminta keterangan SBY, sebab presiden-lah yang
menandatangani keempat PP PNBP yang berlaku di Kementerian Hukum dan HAM
itu.
"Keterangan SBY ini akan menuntaskan kelanjutan perkara
Sisminbakum, mau dihentikan atau mau diteruskan. Kejagung hingga kini
tidak pernah mau memanggil SBY dengan mengemukakan berbagai alasan yang
sama sekali tidak bersifat yuridis," kata Yusril.
Yusril juga
mengingatkan bahwa sebentar lagi Mahkamah Konstitusi akan memutus
perkara uji tafsir mengenai saksi dalam pasal-pasal KUHAP.
"Kalau
permohonannya dikabulkan, apa Kejagung tidak merasa malu, terpaksa
harus meminta keterangan SBY sebagai konsekuensi putusan MK?" katanya.
Kejagung
hendaknya, memetik pelajaran dari kasus Hendarman. Ketika itu, semua
pihak di jajaran pemerintahan membela mati-matian keabsahan Hendarman.
Namun, setelah MK memutuskan dia illegal, siapa yang bisa melawan MK?
Presiden SBY pun tidak berdaya, sehingga terpaksa harus memberhentikan
Hendarman dari jabatannya.
"Derajat putusan MK adalah sama
dengan norma konstitusi. Nah, apakah Kejagung berani melawan
konstitusi?" tanya Yusril mengakhiri keterangannya. (zul)
Yusril Tetap Persoalkan Surat Cekal Kejagung
30 Juni 2011 14:36 WIB
Yusril Ihza Mahendra (FOTO ANTARA/Rosa Panggabean)
Pewarta: Zul Sikumbang
Editor: Ella Syafputri
Copyright © ANTARA 2011
Tags: