Tradisi "Larung Sesaji" Petik Laut di Madura
30 Juni 2011 11:20 WIB
Sejumlah perahu hias mengiringi replika ikan berisi sesaji, saat akan dilarung pada pelaksanaan tradisi petik laut, di Branta Pesisir, Pamekasan, Madura, Jatim, Kamis (30/6). (ANTARA/Saiful Bahri)
Pamekasan (ANTARA News) - Masyarakat nelayan Branta Pesisir, Kecamatan Tlanakan, Pamekasan, Madura, Jawa Timur, Kamis melakukan "larung sesaji" ke tengah laut sebagai bentuk ritual selamatan laut dari para nelayan di wilayah itu.
Larung sesaji ini dilakukan pada akhir kegiatan rangkaian "petik laut" yang dilakukan oleh para nelayan di wilayah ini sejak Minggu (26/6) kemarin.
Menurut panitia petik Laut Haji Fadhli, larung sesaji yang dilakukan oleh para nelayan ini sebagai perlambang kebersamaan di kalangan para nelayan. Disamping itu juga sebagai bentuk rasa syukur para nelayan atas rizki yang diterima nelayan dari hasil laut.
"Nilai filosofisnya sebenarnya ini bentuk rasa syukur kami, para nelayan," kata Fadhli menjelaskan.
Larung sesaji oleh para nelayan ini ditempatkan di sebuah "bitek" yakni perahu kecil yang terbuat dari pohon pisang dan di dalamnya berisi berbagai jenis makanan.
Namun bitek yang dibuat para nelayan di Desa Branta Pesisir ini berbeda dengan jenis bitek yang biasa digunakan larung sesaji pada umumnya, yakni terbuat dari kayu.
Sehingga terlihat lebih menarik, karena "bitek" ini persih seperti miniatur perahu mesin motor yang digunakan para nelayan "kardan" di pesisir pantai Desa Branta.
Sebelum bitek dilarung, masyarakat menggelar doa bersama yang dipimpin oleh tokoh masyarakat agama setempat dengan harapan upaya yang mereka lakukan akan menambah penghasilan tangkapan nelayan disana di masa-masa yang akan datang.
Bau kemenyan dan kembang tujuh rupa seolah menambah suasana doa masyarakat nelayan ini semakin hikmat.
Menurut Haji Fadli, semua jenis sesajen yang ada di dalam bitek itu sebenarnya mengandung nilai filosofis kehidupan sehari-hari.
Kembang tujuh rupa melambangkan jumlah hari dalam seminggu, yakni sebanyak tujuh hari. "Dan kembang itu kan harum, maksudnya kita berharap agar kehidupan kita senantinya bermanfaat, memberikan rasa harus kepada sesama," katanya menjelaskan.
(*)
Larung sesaji ini dilakukan pada akhir kegiatan rangkaian "petik laut" yang dilakukan oleh para nelayan di wilayah ini sejak Minggu (26/6) kemarin.
Menurut panitia petik Laut Haji Fadhli, larung sesaji yang dilakukan oleh para nelayan ini sebagai perlambang kebersamaan di kalangan para nelayan. Disamping itu juga sebagai bentuk rasa syukur para nelayan atas rizki yang diterima nelayan dari hasil laut.
"Nilai filosofisnya sebenarnya ini bentuk rasa syukur kami, para nelayan," kata Fadhli menjelaskan.
Larung sesaji oleh para nelayan ini ditempatkan di sebuah "bitek" yakni perahu kecil yang terbuat dari pohon pisang dan di dalamnya berisi berbagai jenis makanan.
Namun bitek yang dibuat para nelayan di Desa Branta Pesisir ini berbeda dengan jenis bitek yang biasa digunakan larung sesaji pada umumnya, yakni terbuat dari kayu.
Sehingga terlihat lebih menarik, karena "bitek" ini persih seperti miniatur perahu mesin motor yang digunakan para nelayan "kardan" di pesisir pantai Desa Branta.
Sebelum bitek dilarung, masyarakat menggelar doa bersama yang dipimpin oleh tokoh masyarakat agama setempat dengan harapan upaya yang mereka lakukan akan menambah penghasilan tangkapan nelayan disana di masa-masa yang akan datang.
Bau kemenyan dan kembang tujuh rupa seolah menambah suasana doa masyarakat nelayan ini semakin hikmat.
Menurut Haji Fadli, semua jenis sesajen yang ada di dalam bitek itu sebenarnya mengandung nilai filosofis kehidupan sehari-hari.
Kembang tujuh rupa melambangkan jumlah hari dalam seminggu, yakni sebanyak tujuh hari. "Dan kembang itu kan harum, maksudnya kita berharap agar kehidupan kita senantinya bermanfaat, memberikan rasa harus kepada sesama," katanya menjelaskan.
(*)
Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2011
Tags: