Jakarta (ANTARA News) - Semakin lama semakin jelas ada agenda neoliberal dalam pembahasan RUU Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) karena disinyalir sejak lama ada perebutan pengaruh antara World Bank, IMF, ADB dan lembaga keuangan global lainnya dengan ILO.

Lembaga keuangan global ini tentu melihat program jaminan sosial sebagai arena permainan mesin finansial, sedangkan ILO lebih menjalankan program proteksi sosial-ekonomi terhadap pekerja.

Lolosnya konsep dua BPJS yang disodorkan Kemkeu dan dibahas dalam Panja RUU BPJS memastikan terlibatnya kekuatan neoliberal dalam merumuskan skenario format masa depan jaminan sosial di Indonesia.

Mungkin pada saat pembahasan RUU BPJS merupakan saat yang tepat yang sudah lama ditunggu oleh antek neoliberal untuk menghancurkan empat BPJS. (PT Jamsostek, PT Taspen, PT Askes dan PT Asabri).

Implementasi UU Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang seharusnya berpijak pada desain program, perluasan cakupan dan mekanisme pembiayaan justru berujung pada usaha-usaha delegitimasi secara sistematis terhadap empat BPJS.

Secara cerdas, agen neoliberal ini meracuni kaum sosialis dungu yang tidak paham akar sejarah, ideologi dan konteks jaminan sosial, baik praktik jaminan sosial di level nasional maupun pertarungan ideologis jaminan sosial di tingkat global.

Bagaimana mungkin penyelenggaraan jaminan sosial akan ditarik dari otoritas Negara padahal kita mengetahui akar historis jaminan sosial justeru karena faktor kegagalan pasar (market failure), bahkan sistem kapitalisme bisa bertahan karena ditopang oleh sistem jaminan sosial yang dapat melindungi buruh dari eksploitasi kaum pemodal.

Namun, mereka yang ingin melaksanakan SJSN mendesak agar negara bertanggung jawab atas pembiayaan jaminan sosial, tapi anehnya mereka menuntut agar negara tidak bertanggung jawab dan melepaskan otoritas dalam penyelenggaraannya.

Bayangkan saja, di negara-negara kampiun neoliberal, AS dan Inggris, penyelenggara jaminan sosial tetap diposisikan di tangan Negara. Karena itu, di semua belahan dunia, jaminan sosial merupakan benteng terakhir dari kedaulatan ekonomi politik suatu bangsa.

Namun, di Indonesia, tampaknya kaum sosialis "dungu" telah diperdaya kaum neoliberal, dengan menyediakan proteksi dasar oleh negara dengan cara yang tidak lazim yaitu membongkar empat BPJS ke arah yang tidak jelas, dengan mengabaikan desain program dan pembiayaan yang tidak terjangkau.

Ketika negara telah mengucurkan program jaminan kesehatan masyarakat, layanan kesehatan gratis bagi masyarakat miskin dan tidak mampu, tetapi dinilai salah dan bukan jaminan sosial padahal jaminan sosial itu terdiri dari asuransi sosial dan bantuan sosial, dimana kedua program jaminan sosial ini secara administratif dan finansial dipisahkan.

Saya yakin, perubahan bentuk kelembagaan BPJS hanyalah sasaran antara, tujuan sejati-nya adalah hilangnya otoritas negara dalam jaminan sosial, bahkan kalau bisa BUMN penyelenggara jaminan sosial itu bisa lepas dan terkapar kemudian dikuasai asing seperti Indosat, pertambangan, perbankan, telekomunikasi, perkebunan dan industri strategis lainnya.

Saya hanya ingin mengingatkan ada "sponsor" dan "donator" asing dari kekuatan neoliberal sejak dalam pembuatan UU SJSN, dan sesungguhnya sudah puluhan tahun pasar jaminan sosial di Indonesia diincar oleh kekuatan neoliberal.

Tentu saja, agen neoliberal itu bertebaran baik di pejabat pemerintah, anggota parlemen, aktivis serikat pekerja, aktivis LSM, intelektual, pengusaha. Dalam kasus RUU BPJS, sangat kelihatan jelas, seorang pejabat Kemkeu telah menelikung dengan mendikte dan menjadi juru bisik tunggal dalam Tim Pemerintah yang sejak awal telah membawa konsep konsultan asing.

Regulasi empat BPJS yang sudah berjalan baik dan terbukti unggul terus dikritik dan dibenturkan dengan status badan hukum yang harus non-BUMN. Mereka tidak malu, meskipun setiap saat sudut pandangnya berubah-ubah terus.

Kemarin, mereka bilang status badan penyelenggara adalah wali amanat, hari ini berubah menjadi badan hukum publik, besok seperti bank sentral, lusa seperti LPS dan LPEI. Padahal di dunia ini hanya dikenal ada dua bentuk badan penyelenggara jaminan sosial, yaitu lembaga pemerintah (kementerian) atau dikelola secara korporasi.

Jadi status badan hukum BUMN justru sangat tepat dan relevan karena mengakomodasi dua model penyelenggaraan jaminan sosial, dan terbukti telah melayani peserta dengan baik, memberi benefit yang bagus kepada peserta, kinerja dan pengelolaan dana yang sustainable, menjalankan praktek good governance dan tidak memberatkan anggaran Negara.

Salah satu prinsip dalam pengelolaan dana jaminan sosial adalah bersifat prudent (kehati-hatian) dan menghindari risiko.

Namun pada pembahasan RUU BPJS, prinsip tersebut dijadikan badan hukum BPJS seperti "trial and error" walaupun implementasi UU SJSN harus disinkronkan dan diharmonisasikan terlebih dahulu dengan peraturan perundangan lainnya, tetap saja diabaikan bahkan ketika UU SJSN masih terus diuji (judicial review) ke MK, agen neoliberal dan kaum sosialis "dungu" maju terus tak peduli.

Apabila RUU BPJS yang saat ini digodok Pemerintah dan DPR bermaksud melebur empat BPJS pasti menimbulkan gejolak dan dampak sistemik yang luar biasa dalam perekonomian nasional, dan akan mengarah pada ketidakpastian dan ketidakpercayaan publik terhadap BPJS.

Situasi "chaos" dalam proses transformasi akan dipelihara, dan pada saatnya, kekuatan neoliberal akan memberi jalan yang lapang dan leluasa kepada sektor privat berskala global untuk menguasai pasar jaminan sosial yang tidak lagi diurusi Negara.

Kita akan menyaksikan sebuah tragedi reformasi jaminan sosial yang jauh melenceng seperti yang diamanatkan konstitusi. Kalau boleh mengutip kata-kata Vladimir Putin, mereka yang mau menghancurkan empat BPJS itu tidak punya hati, dan jika pemerintah dan parlemen mau juga menghabisi empat BPJS berarti tidak punya kepala.(***)

*Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja BUMN