Ilmuwan: Butuh riset lanjutan buat strategi pemberian booster tepat
16 Januari 2022 14:39 WIB
Arsip foto - Seorang petugas hendak menyuntikkan vaksin booster di Balai RW 07 Karang Empat Kelurahan Ploso Kecamatan Tambaksari, Kota Surabaya, Jumat (14/1/2022). ANTARA/HO-Diskominfo Surabaya.
Jakarta (ANTARA) - Ilmuwan klinis senior dari Eijkman-Oxford Clinical Research Unit (EOCRU) Raph Hamers mengatakan perlu riset lanjutan untuk membuat strategi pemberian vaksin penguat (booster) yang tepat bagi peningkatan perlindungan diri masyarakat dalam rangka melawan infeksi COVID-19.
"Riset lebih lanjut juga kita perlukan untuk bisa mengidentifikasi strategi boosting (penguatan) yang tepat," kata Raph dalam Webinar Indonesian Congress Symposium on Combating COVID-19 Pandemic without Boundaries di Jakarta, Ahad.
Ia mengatakan vaksin penguat dibutuhkan karena sejumlah faktor, antara lain antibodi semakin menurun seiring berjalannya waktu, dan itu terjadi pada semua jenis vaksin.
Selain itu, varian virus SARS-CoV-2 penyebab COVID-19 juga semakin bertambah, yang mana bukti ilmiah menunjukkan varian Delta dan Omicron makin sulit ditangani oleh vaksin-vaksin sebelumnya.
Baca juga: "Booster" Sinovac mampu tingkatkan antibodi tanpa ada reaksi merugikan
Baca juga: Booster tingkatkan titer antibodi lawan infeksi COVID-19
Para pembuat kebijakan di sejumlah negara juga sudah mulai memberikan vaksin penguat, khususnya untuk kelompok-kelompok paling rentan, dan itu juga dilakukan untuk mitigasi dampak ekonomi dan kesehatan.
Terkait vaksin penguat mana yang sebaiknya dipilih, Raph menuturkan itu masih dalam penelitian. Namun, yang harus dipastikan saat ini adalah bagaimana mengaksesnya dengan mudah di negara tersebut.
"Ada banyak data baru yang terus dihasilkan setiap harinya, tapi yang pasti kita juga membutuhkan bukti yang jelas untuk bisa menentukan vaksin penguat apa yang tepat," ujarnya.
Sekarang ini bukti ilmiah menunjukkan vaksin penguat heterolog atau pencampuran (mix and match) jenis vaksin COVID-19 dapat meningkatkan perlindungan, namun penelitiannya masih terus berjalan terkait dengan efektivitas dan juga capaian klinisnya.
"Selain itu, saat ini dengan adanya varian Omicron, urgensi untuk memberikan penguat ini semakin meningkat," tuturnya.
Vaksin penguat heterolog adalah salah satu kebijakan pemerintah di mana vaksin heterolog menggunakan vaksin ketiga dengan jenis yang berbeda dengan vaksin primer dosis satu dan kedua.
Menurut Raph, bukti dari uji klinis berkualitas tinggi dan studi riil penting untuk memandu keputusan mengenai kapan, populasi mana dan rejimen penguat apa yang harus diberikan dalam menghadapi penurunan kekebalan dan berbagai varian yang muncul.
Temuan percobaan dapat membantu memandu pembuat kebijakan mempertimbangkan strategi pemberian penguat yang paling efektif dan dapat diakses untuk bangkit maju dari dampak pandemi COVID-19.
Selain itu, perlu dilakukan peningkatan kapasitas penelitian dalam negeri dan ilmu vaksinologi lokal melalui kemitraan antara pemerintah, industri dan akademisi untuk menjawab masalah tersebut.
Sebelumnya, pada Rabu (12/1), pelaksanaan vaksinasi penguat resmi bergulir secara nasional untuk mempertahankan kekebalan daya tahan tubuh masyarakat Indonesia dari ancaman COVID-19.
Pemerintah telah mengalokasikan 130 juta dosis vaksin penguat untuk tahap awal dengan total masyarakat sasaran berkisar 21 juta jiwa dari total 179 juta jiwa usia 18 tahun ke atas dan telah menerima dosis lengkap minimal enam bulan terakhir. Kriteria prioritasnya adalah lansia, penerima bantuan iuran BPJS Kesehatan dan kelompok rentan.
Produk vaksin COVID-19 yang mendapat izin penggunaan darurat dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) untuk digunakan sebagai vaksin penguat meliputi CoronaVac produksi PT Bio Farma, vaksin Pfizer, vaksin AstraZeneca, vaksin Moderna, dan vaksin Zifivax. Varian vaksin itu bisa diberikan secara homolog atau merek yang sama dengan dosis lengkap primer maupun heterolog atau kombinasi dari merek berbeda.
Juru Bicara Kementerian Kesehatan RI Siti Nadia Tarmizi menyatakan vaksinasi penguat yang diberikan pemerintah secara gratis untuk meningkatkan proteksi individu dari risiko penularan varian baru COVID-19 tidak bersifat wajib.
Nadia mengatakan saat ini muncul informasi adanya penurunan efikasi vaksin secara alamiah sehingga pemerintah memutuskan untuk memberikan dan menyediakan vaksin penguat.
Kebijakan pemerintah menggratiskan vaksin dosis ketiga itu untuk memastikan agar masyarakat bisa mengakses layanan sehingga upaya penanggulangan pandemi COVID-19 dalam diselesaikan dengan baik.*
Baca juga: Sebanyak 143.020 warga Jakarta sudah terima vaksin "booster"
Baca juga: Inggris buka program suntikan 'booster' COVID bagi usia 16-17 tahun
"Riset lebih lanjut juga kita perlukan untuk bisa mengidentifikasi strategi boosting (penguatan) yang tepat," kata Raph dalam Webinar Indonesian Congress Symposium on Combating COVID-19 Pandemic without Boundaries di Jakarta, Ahad.
Ia mengatakan vaksin penguat dibutuhkan karena sejumlah faktor, antara lain antibodi semakin menurun seiring berjalannya waktu, dan itu terjadi pada semua jenis vaksin.
Selain itu, varian virus SARS-CoV-2 penyebab COVID-19 juga semakin bertambah, yang mana bukti ilmiah menunjukkan varian Delta dan Omicron makin sulit ditangani oleh vaksin-vaksin sebelumnya.
Baca juga: "Booster" Sinovac mampu tingkatkan antibodi tanpa ada reaksi merugikan
Baca juga: Booster tingkatkan titer antibodi lawan infeksi COVID-19
Para pembuat kebijakan di sejumlah negara juga sudah mulai memberikan vaksin penguat, khususnya untuk kelompok-kelompok paling rentan, dan itu juga dilakukan untuk mitigasi dampak ekonomi dan kesehatan.
Terkait vaksin penguat mana yang sebaiknya dipilih, Raph menuturkan itu masih dalam penelitian. Namun, yang harus dipastikan saat ini adalah bagaimana mengaksesnya dengan mudah di negara tersebut.
"Ada banyak data baru yang terus dihasilkan setiap harinya, tapi yang pasti kita juga membutuhkan bukti yang jelas untuk bisa menentukan vaksin penguat apa yang tepat," ujarnya.
Sekarang ini bukti ilmiah menunjukkan vaksin penguat heterolog atau pencampuran (mix and match) jenis vaksin COVID-19 dapat meningkatkan perlindungan, namun penelitiannya masih terus berjalan terkait dengan efektivitas dan juga capaian klinisnya.
"Selain itu, saat ini dengan adanya varian Omicron, urgensi untuk memberikan penguat ini semakin meningkat," tuturnya.
Vaksin penguat heterolog adalah salah satu kebijakan pemerintah di mana vaksin heterolog menggunakan vaksin ketiga dengan jenis yang berbeda dengan vaksin primer dosis satu dan kedua.
Menurut Raph, bukti dari uji klinis berkualitas tinggi dan studi riil penting untuk memandu keputusan mengenai kapan, populasi mana dan rejimen penguat apa yang harus diberikan dalam menghadapi penurunan kekebalan dan berbagai varian yang muncul.
Temuan percobaan dapat membantu memandu pembuat kebijakan mempertimbangkan strategi pemberian penguat yang paling efektif dan dapat diakses untuk bangkit maju dari dampak pandemi COVID-19.
Selain itu, perlu dilakukan peningkatan kapasitas penelitian dalam negeri dan ilmu vaksinologi lokal melalui kemitraan antara pemerintah, industri dan akademisi untuk menjawab masalah tersebut.
Sebelumnya, pada Rabu (12/1), pelaksanaan vaksinasi penguat resmi bergulir secara nasional untuk mempertahankan kekebalan daya tahan tubuh masyarakat Indonesia dari ancaman COVID-19.
Pemerintah telah mengalokasikan 130 juta dosis vaksin penguat untuk tahap awal dengan total masyarakat sasaran berkisar 21 juta jiwa dari total 179 juta jiwa usia 18 tahun ke atas dan telah menerima dosis lengkap minimal enam bulan terakhir. Kriteria prioritasnya adalah lansia, penerima bantuan iuran BPJS Kesehatan dan kelompok rentan.
Produk vaksin COVID-19 yang mendapat izin penggunaan darurat dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) untuk digunakan sebagai vaksin penguat meliputi CoronaVac produksi PT Bio Farma, vaksin Pfizer, vaksin AstraZeneca, vaksin Moderna, dan vaksin Zifivax. Varian vaksin itu bisa diberikan secara homolog atau merek yang sama dengan dosis lengkap primer maupun heterolog atau kombinasi dari merek berbeda.
Juru Bicara Kementerian Kesehatan RI Siti Nadia Tarmizi menyatakan vaksinasi penguat yang diberikan pemerintah secara gratis untuk meningkatkan proteksi individu dari risiko penularan varian baru COVID-19 tidak bersifat wajib.
Nadia mengatakan saat ini muncul informasi adanya penurunan efikasi vaksin secara alamiah sehingga pemerintah memutuskan untuk memberikan dan menyediakan vaksin penguat.
Kebijakan pemerintah menggratiskan vaksin dosis ketiga itu untuk memastikan agar masyarakat bisa mengakses layanan sehingga upaya penanggulangan pandemi COVID-19 dalam diselesaikan dengan baik.*
Baca juga: Sebanyak 143.020 warga Jakarta sudah terima vaksin "booster"
Baca juga: Inggris buka program suntikan 'booster' COVID bagi usia 16-17 tahun
Pewarta: Martha Herlinawati Simanjuntak
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2022
Tags: