Menurutnya, hal itu terjadi akibat degradasi rasa syukur sebagai anak bangsa sehingga mereka menyalahgunakan kebebasan di negara demokrasi menjadi kebebasan liar, bukan kebebasan yang bertanggung jawab.
"Akibat hilangnya rasa syukur ini, mereka memanfaatkan kebebasan sebagai negara demokrasi, tetapi cenderung sebagai kebebasan yang liar, bukan kebebasan yang bertanggung jawab,” ujar KH Utawijaya Kusumah dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Sabtu.
Baca juga: Akademisi: Pahami persepsi toleransi untuk hindari ujaran kebencian
Baca juga: Polri ingatkan masyarakat bijak bermedia sosial
Lebih lanjut, Utawijaya mengatakan fenomena ujaran kebencian dan provokasi tidak terlepas dari kondisi ketika peraturan perundang-undangan yang ada sering dinafikan oleh bangsa Indonesia.
Dengan demikian, kata dia, fenomena saling lapor, saling tuduh, dan saling gugat semakin mudah dijumpai.
Untuk mengatasi persoalan tersebut, Utawijaya mengimbau masyarakat memiliki kesadaran untuk menahan diri dan tidak mudah terpengaruh ujaran kebencian melalui dua tindakan.
“Pertama adalah bagaimana melakukan satu upaya jangan menjadi 'sumbu pendek', sedikit-sedikit marah. Yang kedua, negara ini dipimpin oleh pemerintahan yang perlu diikuti. Kalau ada yang kurang, ya didiskusikan, kita bicarakan, kita musyawarahkan sesuai dengan dasar negara kita, yaitu Pancasila. Ada musyawarah. Nah, itu kan kita jadi pemaaf,” jelas Utawijaya.
Di samping itu, pendiri Forum Pondok Pesantren (FPP) ini pun memandang maraknya ujaran kebencian ikut pula dipengaruhi faktor kepentingan terselubung sehingga negara diwajibkan belajar dari pengalaman masa lalu, yaitu Kerajaan Majapahit.
"Negara harus belajar dari sejarah masa lalu Majapahit di mana bangsa Indonesia bisa berjaya di dunia dengan tri tantu, yakni tata salira, tata negara dan tata buana. Ketiganya saling berkaitan," kata Utawijaya.
Ia menjelaskan tata salira berkaitan dengan penataan kesejahteraan lahir batin warga negara. Lalu, tata negara berkaitan dengan ratusan suku bangsa yang bersatu dalam NKRI sehingga harus menjadi kekuatan yang patut disyukuri.
Berikutnya, tata buana adalah menjaga hubungan baik dengan Tuhan serta hubungan dengan manusia dan alam yang perlu untuk saling menghormati.
“Pembelajaran dari masa lalu inilah yang berguna untuk menyongsong Indonesia Emas 2045,” tegasnya.
Selanjutnya, Utawijaya juga mengatakan pemerintah memiliki 3 peran dalam menghadapi fenomena ujaran kebencian.
Pertama adalah sosialisasi terhadap seluruh komponen masyarakat bahwa Indonesia memiliki undang-undang tentang ujaran kebencian sehingga jika dilakukan, akan ada hukumannya.
"Kedua adalah pembinaan, yaitu melakukan pembinaan terhadap elemen organisasi masyarakat (ormas) sebagaimana ormas sendiri memiliki massa yang dapat digerakkan dan disadarkan terkait bahaya ujaran kebencian," lanjutnya.
Kemudian yang ketiga, bimbingan untuk mereka yang sudah mengujarkan kebencian agar tidak memengaruhi orang lain untuk ikut melakukan kesalahan yang sama.
Utawijaya pun mengajak para tokoh agama untuk bekerja sama membangun negara tanpa ujaran kebencian dan mengimbau masyarakat untuk selalu waspada dan tabayyun atau meneliti informasi yang diterima.
Dengan demikian, ujar dia, masyarakat tidak terjerumus pada ujaran kebencian dan provokasi yang justru dapat merusak persatuan dan keutuhan bangsa.