Jakarta (ANTARA News) - Ketua DPR RI Marzuki Alie mengungkapkan bahwa moratorium pengiriman tenaga kerja Indonesia (TKI), khususnya wanita, ke Arab Saudi dan negara-negara Timur Tengah lainnya mulai berlaku pada 1 Agustus 2011.

"Tadi malam (22/6) saya di telepon Pak Jumhur (Kepala BNP2TKI) bahwa dia sudah respon, sudah putuskan akan menyetop pengiriman TKI khusus wanita ke Timur Tengah, khususnya Arab Saudi. Tetapi berlakunya 1 Agustus 2011," ujar Marzuki Alie kepada pers di Gedung DPR Jakarta, Kamis.

Sebelumnya, rapat paripurna DPR pada Selasa (21/6) telah memutuskan diberlakukannya moratorium atau penghentian sementara pengiriman TKI ke Arab Saudi.

DPR RI memutuskan penghentian sementara pengiriman TKI dan TKW ke luar negeri itu terutama kepada negara-negara yang tidak mau menandatangani nota kesepahaman yang melindungi TKI dan TKW Indonesia.

Sikap DPR RI akan berubah dan moratorium dicabut bila sudah ada perbaikan dan pembenahan, yang sistematis terhadap berbagai tata aturan dan penjelasan pengiriman TKI ke luar negeri.

Menurut Marzuki, BNP2TKI meminta waktu moratorium pengiriman TKI itu hingga tanggal 1 Agustus 2011 karena membutuhkan waktu untuk persiapannya.

"Kasihan juga katanya mereka-mereka yang saat ini sudah mengikuti pendidikan dan siap berangkat, diterima disana dengan baik, itu dibatalkan untuk berangkat," ujar Marzuki.

Lebih lanjut Ketua DPR menegaskan bahwa desakan moratorium pengiriman TKI ke negara-negara yang belum memberikan perlindungan terhadap TKI hingga saat ini, khususnya negara-negara di kawasan Timur Tengah, harus ditindak lanjuti pemerintah karena DPR paham betul banyak sekali permasalahan ketenagakerjaan yang tidak terselesaikan.

"Sampai sekarang belum jelas MoU-nya, walaupun pemerintah mengatakan sudah ada penandatanganan kesepahaman untuk membuat suatu perjanjian perlindungan tenaga kerja antara BNP2TKI dengan Kementerian tenaga kerja Arab Saudi. Ini harus segera ditindaklanjuti," ujarnya.

Pada kesempatan itu, Marzuki juga menyinggung tentang target legislasi tahun 2011. Menurut dia, untuk masalah itu, karena merupakan tanggung jawab bersama DPR dan pemerintah, maka kalau ada keterlambatan atau ketidaksiapan dalam proses legislasi maka hal tersebut menjadi tanggung jawab antara DPR dan pemerintah puloa.

"Tidak bisa seperti kata pengamat yang selalu menyalahkan DPR. Ini harus kita jelaskan bahwa ini tanggung jawab DPR dan pemerintah," ujarnya.

Dikatakannya pula bahwa apabila dalam setiap penyelesaian RUU itu ada hal-hal yang tidak disepakati dengan pemerintah maka RUU juga tidak jadi.

"Jadi kalau hanya menyalahkan DPR itu kurang tepat. Kita bicarakan juga dengan pemerintah," demikian Marzuki.