Jakarta (ANTARA News) - Membandingkan perlindungan TKI dengan sapi Autralia memang tidak pantas karena yang satu manusia, berakal dan berbudi, sedang yang satu lagi binatang untuk konsumsi manusia.

Namun, lihatlah apa yang dilakukan oleh Australia terhadap sapi yang mereka ekspor ke Indonesia. Karena alasan perlindungan dari perlakuan sadis dan dinilai tidak semestinya di rumah pejagalan di Indonesia, negara tetangga itu menghentikan ekspor sapi ke Indonesia.

Lalu apa hubungannya dengan TKI, khususnya mereka yang bekerja di rumah tangga atau bahasa populernya pekerja informal? Adakah perlindungan dari pemerintah Indonesia atas mereka?

Haruskah Indonesia menghentikan penempatan TKI informal ke luar negeri?

Ini adalah pertanyaan krusial yang gampang-gampang susah untuk menjawabnya. Bagi yang berfikir praktis, penyelesaiannya gampang. Hentikan saja penempatan TKI informal ke luar negeri.

Bagi yang berfikir komprehensif akan melihat permasalahannya lebih dalam. Apakah pemancungan Ruyati Binti Satubi, TKW asal Bekasi, di sudah mencukupi bagi Indonesia untuk menghentikan penempatan TKI ke Saudi Arabia.

Siapa yang bersalah dalam hal ini. Susilo Bambang Yudhoyono? Menakertrans Muhaimin Iskandar? Jumhur Hidayat? atau Menlu Marty Natalegawa. Biasanya, ada yang mengambil langkah praktis, salahkan saja perusahaan jasa TKI yang menempatkannya, habis perkara.

Jika itu yang dilakukan, Indonesia tak akan pernah belajar dari peristiwa yang ada karena sesungguhnya permasalahan TKI, berikut segala eksesnya adalah tanggungjawab bersama.

Tanggung jawab pemerintah dan pengusaha untuk menciptakan kesempatan kerja bagi semua orang, termasuk kalangan marjinal, yakni calon TKI wanita.

Jika tidak ada peluang kerja bagi mereka, apa solusi yang bisa diberikan bagi mereka yang jumlahnya sekitar 52 persen tamat dan tidak tamat sekolah dasar itu?

Dengan kualifikasi pendidikan seperti itu, pasar kerja dalam negeri tidak akan mampu menyerap mereka. Di kota-kota besar, angkatan kerja seperti itu akan bekerja di sektor yang sama di luar negeri, yakni jadi pembantu rumah tangga.

Pada kalangan tertentu, mereka lebih suka menerima pembantu rumah tangga berpendidikan minimal SMP atau SLTA. Alasannya, lebih mudah dididik dan lebih mudah diajak bicara.

Lalu apa jadinya, jika mereka yang berpendidikan SD atau SMP yang bekerja jauh ke luar negeri, seperti ke Arab Saudi. Negeri yang hanya mereka dengar dari mulut ke mulut. Negeri yang mereka tidak kenal.

Kalangan PJTKI banyak yang menyatakan, sesungguh TKI informal di luar negeri adalah pejuang gigih yang tidak hanya mengorbankan waktu dan tenaga, tetapi tak jarang yang mengorbankan jiwanya (sakit dan kecelakaan) untuk perbaikan ekonomi keluarga.

Sebagian mereka adalah pekerja keras yang gigih, rela berutang untuk dapat pergi. Sesungguhnya mereka berjuang karena alasan ekonomi. Kegigihan mereka mendatangkan devisa ke dalam negeri. Angkanya sangat fantastis, Rp100 triliun di tahun 2010, kedua terbesar setelah migas.

Kenyataan ini agaknya yang memunculkan gelar pahlawan devisa bagi mereka. Namun, pertanyaannya bagaimana dengan perlindungan atas mereka.

Perlindungan Minim
Jujur, harus diakui, perlindungan atas mereka sangat minim. Bukan pada tekad dan niatnya, tetapi pada sistem yang dibangun.

Banyak kalangan sadar bahwa TKI informal sangat rentan pada masalah. Setiap saat mereka harus siap dirundung masalah, bahkan jika bekerja di dalam negeri sekali pun mengingat kualifikasi pendidikan mereka yang seperti itu.

Oleh karena itu Asosiasi Perusahaan Jasa Indonesia (Apjati) beberapa waktu lalu kembali mengingatkan pemerintah agar mensyaratkan pelatihan 100 jam (22 hari) pada pemerintah.

Usulan itu tidak mulus, tarik ulur karena dua instansi yang mengatur masalah TKI, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi dan BNP2TKI semula tidak sepakat. Alasannya, tidak jelas.

Lobi sana-sini, akhir dicapai kata sepakat, calon TKI informal wajib mengikuti pelatihan 100 jam. Sudah cukup? Belum karena perlindungan lain diperlukan adalah perlindungan atas risiko kerja.

Semua pihak terkait sepakat TKI informal harus dilindungi dari risiko kerja secara menyeluruh, tidak hanya dari risiko penganiayaan, pelecehan seksual, upah tak dibayar, kematian, dan pelayanan kesehatan, tetapi juga pembelaan hukum.

Lembaga seperti apa yang bisa memberi perlindungan menyeluruh seperti ini?

Sejarah penempatan TKI sudah menelurkan sejumlah bentuk perlindungan dan lembaga perlindungan, misalnya jaminan sosial yang diselenggarakan PT Jamsostek di era Menaker Abdul Latief, lalu wali amanah (yayasan) di era Menakertrans Jacob Nuwawea, terakhir perlindungan asuransi di era Menakertrans Erman Suparno dan Muhaimin Iskandar.

Kerajaan Saudi Arabia memiliki kenangan baik atas PT Jamsostek yang memulangkan ribuan TKI dan jemaah umroh yang bermasalah dan `over stay`.

Pemulangan massal juga pernah dilakukan lembaga waliamanah (yayasan) perlindungan TKI di era Jacob Nuwawea.

Kini pemerintah menggunakan konsorsium asuransi untuk melindungi TKI. Permasalahannya, perlindungan dengan prinsip asuransi menggunakan prinsip pembayaran klaim per kepala.

Perusahaan asuransi hanya akan membayar klaim atas orang yang tertanggung, tidak bisa substitusi dimana yang lemah membantu yang kuat, yang sehat membantu yang sakit dan yang muda membantu yang tua.

Bantuan hukum seperti apa yang bisa diberikan perusahaan asuransi pada TKI jika mereka tidak memiliki atau merekrut pengacara di negara tujuan penempatan.

Yang lebih prinsip lagi, apa yang bisa dilakukan perusahaan asuransi dan konsorsiumnya jika mereka tidak memliki izin beroperasi di negara tujuan penempatan.

Bagaimana kerjasama kosorsium asuransi dengan Kementerian Luar Negeri Indonesia. Apakah Kemenlu tau bahwa perusahaan jasa TKI menyisihkan Rp400 ribu untuk setiap TKI yang ditempatkan.

Apakah kemenlu tahu bahwa Rp400 ribu itu terbagi atas Rp50.000 untuk perlindungan sebelum penempatan dan Rp50.000 purnapenempatan. Apakah Kemenlu tahu ke mana Rp300.000 sisanya, siapa yang mengelola dan untuk apa?

Pertanyaan mendasar lainnya, apakah Kemenlu RI membutuhkan konsorsium perusahaan asuransi perlindungan TKI untuk melaksanakan tugasnya sebagai pihak yang bertanggung jawab atas kepentingan badan hukum dan warga negera Indonesia di luar negeri?

Perkembangan terakhir dari perundingan pejabat tinggi RI dengan Kementerian Tenaga Kerja Kerajaan Saudi adalah majikan akan diwajibkan untuk mengiktusertakan TKI informal dalam program asuransi?

Belum sempat itu dilaksanakan Ruyati keburu dipancung di negeri bergurun itu.

Jika ditanya kepada kalangan PJTKI, apakah mereka tidak was-was dengan nasib TKI yang mereka tempatkan. Nurani mereka mengatakan sangat khawatir dan was-was.

Mereka menyadari dan sangat paham kemampuan aparat KBRI dan KJRI di luar sangat terbatas, sementara jumlah WNI yang bekerja, bersekolah, berbisnis dan aktivitas lainnya di Saudi sangat besar. Nomer dua terbesar setelah Malaysia.

PJTKI inginkan perlindungan yang komprehensif, menyeluruh, tidak sekadar perlindungan hukum, tetapi juga peduli pada perlakuan baik majikan, pembelaan jika dilecehkan karena tidak semua kasus berujung ke pengadilan. Mereka ingin martabat TKI dijaga.

Argumentasinya sederhana. Ibarat barang, TKI informal fragile, mudah pecah, mudah bermasalah. Untuk itu diperlukan perlindungan yang menyeluruh. Jika tidak, lebih baik Indonesia bersikap seperti Bangladesh yang melarang perempuan bekerja di luar negeri di sektor informal (rumah tangga).
(E007/H-KWR)