BKKBN: Edukasi reproduksi bantu keluarga rencanakan pernikahan
13 Januari 2022 22:07 WIB
Tangkapan layar Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo dalam Siaran Ngopi Sore Sonora bersama BKKBN yang diikuti secara daring di Jakarta, Kamis (13/1/2022). (FOTO ANTARA/Hreeloita Dharma Shanti)
Jakarta (ANTARA) - Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo mengatakan bila edukasi kesehatan reproduksi dapat membantu sebuah keluarga untuk merencanakan pernikahan secara optimal.
“Marilah kita berfikir secara agak visioner bahwa untuk melahirkan generasi penerus ini, butuh kesungguhan serius dan terencana. Jangan ingin melahirkan generasi penerus tanpa perencanaan,” katanya dalam Siaran Ngopi Sore Sonora bersama BKKBN yang diikuti secara daring di Jakarta, Kamis.
Menanggapi banyaknya anak di desa yang sudah bekerja dan dianggap siap menikah, ia mengatakan bahwa penting untuk memberikan setiap anak konseling pendidikan kesehatan reproduksi yang dimulai sejak di bangku sekolah dasar (SD) hingga SMP.
Dalam hal ini, setiap edukasi kesehatan reproduksi yang diberikan tidak hanya berbicara mengenai hubungan seks saja, tetapi juga bagaimana dengan kesehatan organ kelaminnya maupun usia ideal untuk melangsungkan pernikahan.
“Saya selalu kampanyekan, ayo kita beri kesehatan reproduksi anak remaja itu jangan sexual education yang dianggap tabu. Cara menyampaikannya sex education adalah mengenai laki-laki dan perempuan. Bukan bicara hanya hubungan seks, itu beda dengan 'sexual intercourse',” katanya.
Menurut dia sejak anak menginjak usia remaja, anak perlu mengetahui usia berapa baiknya untuk hamil dan bahaya dari menikah terlalu muda atau terlalu banyak memiliki anak, khususnya pada anak perempuan.
Usia ideal untuk seorang pasangan menikah adalah 20 tahun sampai 35 tahun untuk perempuan supaya memenuhi syarat untuk hamil dan 25 tahun bagi laki-laki. Usia laki-laki tidak memiliki batasan sebab akan terus bisa menghasilkan sperma sampai masa tuanya.
Patokan usia itu, kata dia, penting untuk diketahui guna mengurangi angka perceraian yang bisa mencapai 350 hingga 400 kasus dalam setahun di Indonesia. Sehingga ketahanan keluarga dapat terjaga.
Ia menjelaskan menikah pada usia yang terlalu muda yakni di bawah 20 tahun menyebabkan tulang-tulang pada tubuh ibu akan berhenti tumbuh akibat berbagai asupan gizi dan kalsium diambil bukan untuk tumbuh kembang dirinya sendiri, tapi untuk memenuhi gizi anak yang dikandungnya.
Perempuan yang menikah terlalu muda, bahkan juga rentan terkena kanker serviks karena mulut rahim masih menghadap keluar dan belum siap melahirkan. Sedangkan pada usia di atas 35 tahun, dapat terserang berbagai macam penyakit lainnya.
Ia menegaskan semua suami harus lebih bertanggung jawab memperhatikan kondisi para istri atau memikirkan kembali waktu yang tepat untuk menikah. Karena menurutnya, masih banyak suami yang tidak mengerti banyaknya faktor risiko yang bisa membahayakan nyawa ibu hamil.
Berbicara mengenai edukasi itu sendiri, ia mengaku sudah menghubungi pihak Kementerian Pendidikan Budaya Riset dan Teknologi untuk mempertimbangkan kesehatan reproduksi masuk ke dalam pelajaran di sekolah.
Sebagai upaya untuk membantu putra-putri bangsa merencanakan kelahiran keluarga berkualitas sekaligus mengurangi risiko kematian pada ibu dan bayi atau lahirnya anak dalam keadaan kerdil (stunting).
“Saya juga menggerakkan Duta Genre (Generasi Berencana). Di satu desa, ada dua orang generasi muda yang menjadi tokoh. Di situ diharapkan bisa membantu kami mengkampanyekan kesehatan reproduksi,” demikian Hasto Wardoyo.
Baca juga: BKKBN: Tekan pernikahan dini, siapkan remaja jadi SDM berkualitas
Baca juga: Duta Genre berperan tekan pernikahan dini
Baca juga: IDI edukasi kekedilan-kesehatan reproduksi di sejumlah kota
Baca juga: BKKBN gempur remaja dengan edukasi kesehatan reproduksi
“Marilah kita berfikir secara agak visioner bahwa untuk melahirkan generasi penerus ini, butuh kesungguhan serius dan terencana. Jangan ingin melahirkan generasi penerus tanpa perencanaan,” katanya dalam Siaran Ngopi Sore Sonora bersama BKKBN yang diikuti secara daring di Jakarta, Kamis.
Menanggapi banyaknya anak di desa yang sudah bekerja dan dianggap siap menikah, ia mengatakan bahwa penting untuk memberikan setiap anak konseling pendidikan kesehatan reproduksi yang dimulai sejak di bangku sekolah dasar (SD) hingga SMP.
Dalam hal ini, setiap edukasi kesehatan reproduksi yang diberikan tidak hanya berbicara mengenai hubungan seks saja, tetapi juga bagaimana dengan kesehatan organ kelaminnya maupun usia ideal untuk melangsungkan pernikahan.
“Saya selalu kampanyekan, ayo kita beri kesehatan reproduksi anak remaja itu jangan sexual education yang dianggap tabu. Cara menyampaikannya sex education adalah mengenai laki-laki dan perempuan. Bukan bicara hanya hubungan seks, itu beda dengan 'sexual intercourse',” katanya.
Menurut dia sejak anak menginjak usia remaja, anak perlu mengetahui usia berapa baiknya untuk hamil dan bahaya dari menikah terlalu muda atau terlalu banyak memiliki anak, khususnya pada anak perempuan.
Usia ideal untuk seorang pasangan menikah adalah 20 tahun sampai 35 tahun untuk perempuan supaya memenuhi syarat untuk hamil dan 25 tahun bagi laki-laki. Usia laki-laki tidak memiliki batasan sebab akan terus bisa menghasilkan sperma sampai masa tuanya.
Patokan usia itu, kata dia, penting untuk diketahui guna mengurangi angka perceraian yang bisa mencapai 350 hingga 400 kasus dalam setahun di Indonesia. Sehingga ketahanan keluarga dapat terjaga.
Ia menjelaskan menikah pada usia yang terlalu muda yakni di bawah 20 tahun menyebabkan tulang-tulang pada tubuh ibu akan berhenti tumbuh akibat berbagai asupan gizi dan kalsium diambil bukan untuk tumbuh kembang dirinya sendiri, tapi untuk memenuhi gizi anak yang dikandungnya.
Perempuan yang menikah terlalu muda, bahkan juga rentan terkena kanker serviks karena mulut rahim masih menghadap keluar dan belum siap melahirkan. Sedangkan pada usia di atas 35 tahun, dapat terserang berbagai macam penyakit lainnya.
Ia menegaskan semua suami harus lebih bertanggung jawab memperhatikan kondisi para istri atau memikirkan kembali waktu yang tepat untuk menikah. Karena menurutnya, masih banyak suami yang tidak mengerti banyaknya faktor risiko yang bisa membahayakan nyawa ibu hamil.
Berbicara mengenai edukasi itu sendiri, ia mengaku sudah menghubungi pihak Kementerian Pendidikan Budaya Riset dan Teknologi untuk mempertimbangkan kesehatan reproduksi masuk ke dalam pelajaran di sekolah.
Sebagai upaya untuk membantu putra-putri bangsa merencanakan kelahiran keluarga berkualitas sekaligus mengurangi risiko kematian pada ibu dan bayi atau lahirnya anak dalam keadaan kerdil (stunting).
“Saya juga menggerakkan Duta Genre (Generasi Berencana). Di satu desa, ada dua orang generasi muda yang menjadi tokoh. Di situ diharapkan bisa membantu kami mengkampanyekan kesehatan reproduksi,” demikian Hasto Wardoyo.
Baca juga: BKKBN: Tekan pernikahan dini, siapkan remaja jadi SDM berkualitas
Baca juga: Duta Genre berperan tekan pernikahan dini
Baca juga: IDI edukasi kekedilan-kesehatan reproduksi di sejumlah kota
Baca juga: BKKBN gempur remaja dengan edukasi kesehatan reproduksi
Pewarta: Hreeloita Dharma Shanti
Editor: Andi Jauhary
Copyright © ANTARA 2022
Tags: