Biden sebut kenaikan harga masih terlalu tinggi
13 Januari 2022 06:21 WIB
Presiden AS Joe Biden saat menyampaikan pidato tentang laporan pekerjaan Oktober di Gedung Putih di Washington, D.C., AS, 5 November 2021. ANTARA/Reuters/Evelyn Hockstein.
Washington (ANTARA) - Presiden AS Joe Biden mengakui pada Rabu (12/1/2022) bahwa pemerintahannya masih memiliki "lebih banyak pekerjaan yang harus dilakukan dengan kenaikan harga yang masih terlalu tinggi" bahkan ketika dia menyatakan bahwa ada kemajuan yang dicapai dalam memperlambat laju kenaikan harga.
Pernyataannya dirilis oleh Gedung Putih setelah harga konsumen AS meningkat secara kuat pada Desember, yang berpuncak pada kenaikan inflasi tahunan terbesar dalam hampir empat dekade.
"Kami membuat kemajuan dalam memperlambat laju kenaikan harga. Pada saat yang sama, laporan ini menggarisbawahi bahwa kami masih memiliki lebih banyak pekerjaan yang harus dilakukan, dengan kenaikan harga yang masih terlalu tinggi dan menekan anggaran keluarga," kata Biden, dikutip dari Reuters.
Dalam 12 bulan hingga Desember, indeks harga konsumen melonjak 7,0 persen. Itu adalah peningkatan tahun-ke-tahun terbesar sejak Juni 1982 dan mengikuti kenaikan 6,8 persen pada November.
Laporan dari Departemen Tenaga Kerja pada Rabu (12/1/2022) mengikuti data Jumat lalu (7/1/2022) yang menunjukkan bahwa pasar tenaga kerja berada pada atau mendekati pekerjaan maksimum.
Penasihat ekonomi Gedung Putih Brian Deese mengatakan pada Rabu (12/1/2022) bahwa tantangan rantai pasokan memanifestasikan diri mereka lebih dari yang diantisipasi orang ketika dia menjawab pertanyaan tentang kenaikan inflasi.
"Kami telah melihat sejumlah hasil yang tidak terduga," kata Deese kepada wartawan dalam sebuah pengarahan. Inflasi harga adalah "fenomena global," katanya, yang terkait dengan pandemi COVID-19 dan tantangan rantai pasokan terkait yang telah berkembang.
Deese mengatakan pemerintahan Biden berencana untuk mengambil langkah-langkah tambahan bulan ini guna mencoba lebih mengurangi kemacetan di pelabuhan-pelabuhan. Dia mengatakan sebagian besar peramal memperkirakan harga akan moderat selama 2022.
Baca juga: Wall Street dibuka naik seiring data inflasi AS sesuai ekspektasi
Baca juga: Bank Dunia turunkan proyeksi pertumbuhan global 2022 jadi 4,1 persen
Baca juga: Menkeu AS: Omicron bisa memicu ancaman signifikan bagi ekonomi global
Pernyataannya dirilis oleh Gedung Putih setelah harga konsumen AS meningkat secara kuat pada Desember, yang berpuncak pada kenaikan inflasi tahunan terbesar dalam hampir empat dekade.
"Kami membuat kemajuan dalam memperlambat laju kenaikan harga. Pada saat yang sama, laporan ini menggarisbawahi bahwa kami masih memiliki lebih banyak pekerjaan yang harus dilakukan, dengan kenaikan harga yang masih terlalu tinggi dan menekan anggaran keluarga," kata Biden, dikutip dari Reuters.
Dalam 12 bulan hingga Desember, indeks harga konsumen melonjak 7,0 persen. Itu adalah peningkatan tahun-ke-tahun terbesar sejak Juni 1982 dan mengikuti kenaikan 6,8 persen pada November.
Laporan dari Departemen Tenaga Kerja pada Rabu (12/1/2022) mengikuti data Jumat lalu (7/1/2022) yang menunjukkan bahwa pasar tenaga kerja berada pada atau mendekati pekerjaan maksimum.
Penasihat ekonomi Gedung Putih Brian Deese mengatakan pada Rabu (12/1/2022) bahwa tantangan rantai pasokan memanifestasikan diri mereka lebih dari yang diantisipasi orang ketika dia menjawab pertanyaan tentang kenaikan inflasi.
"Kami telah melihat sejumlah hasil yang tidak terduga," kata Deese kepada wartawan dalam sebuah pengarahan. Inflasi harga adalah "fenomena global," katanya, yang terkait dengan pandemi COVID-19 dan tantangan rantai pasokan terkait yang telah berkembang.
Deese mengatakan pemerintahan Biden berencana untuk mengambil langkah-langkah tambahan bulan ini guna mencoba lebih mengurangi kemacetan di pelabuhan-pelabuhan. Dia mengatakan sebagian besar peramal memperkirakan harga akan moderat selama 2022.
Baca juga: Wall Street dibuka naik seiring data inflasi AS sesuai ekspektasi
Baca juga: Bank Dunia turunkan proyeksi pertumbuhan global 2022 jadi 4,1 persen
Baca juga: Menkeu AS: Omicron bisa memicu ancaman signifikan bagi ekonomi global
Penerjemah: Apep Suhendar
Editor: Kelik Dewanto
Copyright © ANTARA 2022
Tags: