Produk Lokal Butuh Dukungan Pemerintah
20 Juni 2011 23:11 WIB
Ilustrasi: Sejumlah pekerja menyortir biji kopi untuk ekspor di PT Sari Makmur Tunggal Mandiri, Deli Serdang, Sumut, Selasa (7/6). (ANTARA/Evalisa Siregar)
Jakarta (ANTARA News) - Kalangan industri lokal yang tergabung dalam Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia (HIPPI) mengharapkan dukungan pemerintah agar produk-produk lokal bisa bersaing dengan produk impor yang membanjir belakangan ini.
HIPPI mengakui bahwa diberlakukannya perjanjian perdagangan bebas ASEAN-China (ACFTA) merupakan tantangan bagi pengusaha lokal untuk meningkatkan daya saing produk dan bisa membendung barang impor yang merajalela.
HIPPI menginginkan adanya dukungan pemerintah melalui kebijakan untuk membantu produk-produk dan industri lokal bisa menjadi pemain utama di negeri sendiri.
"Bawa jeruk dari Kalimantan ke Jakarta, biayanya masih lebih murah kalau kita bawa jeruk dari China ke Jakarta, bayangkan saja truk tiga hari tertahan di pelabuhan berapa cost-nya," kata Ketua Umum HIPPI Suryani Sidik Motik.
Dalam diskusi bertajuk "Pengusaha Pribumi Harus Menjadi Pemain Utama di Negerinya" di kawasan Cilandak, Jakarta, Senin, Suryani Motik mengatakan bahwa HIPPI ingin menjadi yang terdepan dalam penggalanan konsumsi produk dalam negeri sehingga memperluas lapangan pekerjaan dan tercipta pemerataan ekonomi.
Agar upaya mendorong penggunaan produk dalam negeri bisa efektif, HIPPI membutuhkan dukungan pemerintah melalui kebijakan. HIPPI juga siap membantu mengawasi masuknya produk impor ilegal ke dalam negeri.
Dalam pencegahan produk impor ilegal yang membanjiri pasar, HIPPI berharap pemerintah bisa melakukan sejumlah upaya diantaranya menutup pintu masuk impornya, pembenahan tarif, dan pembenahan logistik.
Suryani juga menegaskan bahwa pengusaha pribumi yang tergabung dalam HIPPI konteksnya nasionalis, jadi tidak rasis, "dan bagi kita yang penting adalah nasionalismenya dalam membuat ekonomi Indonesia maju."
Sementara anggota dewan pakar HIPPI Drajat Wibowo mengatakan: "Harus kita akui bahwa beberapa produk kita kalah saing dari negara lain dan faktor penyebabnya terlalu banyak dan yang kita harapkan dari banyak penyebab itu yang dibenahi adalah yang paling simpel yaitu pemangkasan biaya perizinan."
Menurut Drajat, biaya perizinan resmi memang nilainya kecil, tetapi banyak sekali biaya-biaya tambahan yang tidak resmi.
"Kalau perizinan dipangkas maka 20 persen biaya produksi bisa dikurangi dan membuat produk kita akan kompetitif, jadi harus ada lomba pemangkasan perizinan (di daerah) oleh pemerintah yang bisa menolong," jelas Drajat.
Drajat mengatakan bahwa kita sering terkecoh dengan data agregat nilai ekspor yang kelihatannya seolah-olah tidak ada persoalan, padahal yang menikmati keuntungan hanyalah pengusaha sektor tertentu seperti perkebunan dan pertambangan. Sementara pengusaha menengah dan bawah justru dirugikan.
"Akibat adanya ACFTA itu temen-teman anggota HIPPI lebih menjadi net user sehingga impor menjadi lebih besar dan yang terimbas adalah pengusaha bawah," katanya
Solusinya pemerintah harus membuat kebijakan alternatif dengan menetapkan bahwa untuk belanja modal APBN harus dipenuhi dari dalam negeri.
Menurut Drajat, ada tujuh komoditas non migas yang memiliki prospek ekspor tinggi tahun 2011, antara lain tekstil dan produk tekstil (TPT), alas kaki, otomotif, kertas, kelapa sawit (CPO), dan produk turunannya, kakao olahan dan biji kakao serta kopi.
Dengan potensi itu sudah seharusnya pemerintah memberikan peluang usaha terhadap industri dan produk dalam negeri dengan mengusahakan peluang usaha dalam sektor vital sehingga mampu menopang perekonomian domestik dan peningkatan nilai ekspor.
(Yud/S026)
HIPPI mengakui bahwa diberlakukannya perjanjian perdagangan bebas ASEAN-China (ACFTA) merupakan tantangan bagi pengusaha lokal untuk meningkatkan daya saing produk dan bisa membendung barang impor yang merajalela.
HIPPI menginginkan adanya dukungan pemerintah melalui kebijakan untuk membantu produk-produk dan industri lokal bisa menjadi pemain utama di negeri sendiri.
"Bawa jeruk dari Kalimantan ke Jakarta, biayanya masih lebih murah kalau kita bawa jeruk dari China ke Jakarta, bayangkan saja truk tiga hari tertahan di pelabuhan berapa cost-nya," kata Ketua Umum HIPPI Suryani Sidik Motik.
Dalam diskusi bertajuk "Pengusaha Pribumi Harus Menjadi Pemain Utama di Negerinya" di kawasan Cilandak, Jakarta, Senin, Suryani Motik mengatakan bahwa HIPPI ingin menjadi yang terdepan dalam penggalanan konsumsi produk dalam negeri sehingga memperluas lapangan pekerjaan dan tercipta pemerataan ekonomi.
Agar upaya mendorong penggunaan produk dalam negeri bisa efektif, HIPPI membutuhkan dukungan pemerintah melalui kebijakan. HIPPI juga siap membantu mengawasi masuknya produk impor ilegal ke dalam negeri.
Dalam pencegahan produk impor ilegal yang membanjiri pasar, HIPPI berharap pemerintah bisa melakukan sejumlah upaya diantaranya menutup pintu masuk impornya, pembenahan tarif, dan pembenahan logistik.
Suryani juga menegaskan bahwa pengusaha pribumi yang tergabung dalam HIPPI konteksnya nasionalis, jadi tidak rasis, "dan bagi kita yang penting adalah nasionalismenya dalam membuat ekonomi Indonesia maju."
Sementara anggota dewan pakar HIPPI Drajat Wibowo mengatakan: "Harus kita akui bahwa beberapa produk kita kalah saing dari negara lain dan faktor penyebabnya terlalu banyak dan yang kita harapkan dari banyak penyebab itu yang dibenahi adalah yang paling simpel yaitu pemangkasan biaya perizinan."
Menurut Drajat, biaya perizinan resmi memang nilainya kecil, tetapi banyak sekali biaya-biaya tambahan yang tidak resmi.
"Kalau perizinan dipangkas maka 20 persen biaya produksi bisa dikurangi dan membuat produk kita akan kompetitif, jadi harus ada lomba pemangkasan perizinan (di daerah) oleh pemerintah yang bisa menolong," jelas Drajat.
Drajat mengatakan bahwa kita sering terkecoh dengan data agregat nilai ekspor yang kelihatannya seolah-olah tidak ada persoalan, padahal yang menikmati keuntungan hanyalah pengusaha sektor tertentu seperti perkebunan dan pertambangan. Sementara pengusaha menengah dan bawah justru dirugikan.
"Akibat adanya ACFTA itu temen-teman anggota HIPPI lebih menjadi net user sehingga impor menjadi lebih besar dan yang terimbas adalah pengusaha bawah," katanya
Solusinya pemerintah harus membuat kebijakan alternatif dengan menetapkan bahwa untuk belanja modal APBN harus dipenuhi dari dalam negeri.
Menurut Drajat, ada tujuh komoditas non migas yang memiliki prospek ekspor tinggi tahun 2011, antara lain tekstil dan produk tekstil (TPT), alas kaki, otomotif, kertas, kelapa sawit (CPO), dan produk turunannya, kakao olahan dan biji kakao serta kopi.
Dengan potensi itu sudah seharusnya pemerintah memberikan peluang usaha terhadap industri dan produk dalam negeri dengan mengusahakan peluang usaha dalam sektor vital sehingga mampu menopang perekonomian domestik dan peningkatan nilai ekspor.
(Yud/S026)
Pewarta: Yudha Pratama Jaya
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2011
Tags: