Aktivis HAM sebut kasus pemerkosaan tempati urutan kedua pada 2021
6 Januari 2022 17:35 WIB
Tangkapan layar - Aktivis hak asasi manusia (HAM) Asfinawati menyampaikan paparan dalam webinar bertema Indonesia Darurat Kekerasan Seksual yang disiarkan di platform Zoom Meeting dan dipantau dari Jakarta, Kamis (6/1/2022). ANTARA/Putu Indah Savitri
Jakarta (ANTARA) - Aktivis hak asasi manusia (HAM) Asfinawati mengungkapkan berdasarkan kasus yang ditangani Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), kasus pemerkosaan menempati urutan kedua terbanyak dalam ragam kekerasan seksual pada 2021.
“Kasus pemerkosaan ada 66 kasus, itu banyak sekali sebetulnya. Nomor dua terbanyak setelah pelecehan seksual,” kata Asfinawati ketika menyampaikan paparan dalam webinar bertema Indonesia Darurat Kekerasan Seksual yang disiarkan di platform Zoom Meeting dan dipantau dari Jakarta, Kamis.
Akan tetapi, kata dia, meskipun kasus tersebut memiliki jumlah yang signifikan, DPR justru menghapus pasal mengenai pemerkosaan pada Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
Adapun alasan dari penghapusan pasal mengenai pemerkosaan, kata Asfinawati melanjutkan, adalah karena kasus pemerkosaan akan dibahas oleh pembentuk undang-undang saat menyusun Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP).
“Padahal, di dalam undang-undang lain ada undang-undang induk, tetapi juga ada undang-undang khususnya yang tetap bisa direvisi,” ujar mantan Direktur YLBHI periode 2017-2021 ini pula.
Selain bentuk kekerasan seksual berupa pemerkosaan, Asfinawati juga menjelaskan terdapat empat bentuk lainnya yang tidak dicantumkan dalam RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Bentuk-bentuk tersebut meliputi pemaksaan aborsi, pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, serta perbudakan seksual.
Para penyusun rancangan undang-undang juga tidak mencantumkan kekerasan berbasis gender online (KBGO) sebagai bentuk kekerasan seksual yang diatur di dalam RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Berdasarkan jumlah kasus yang ditangani oleh YLBHI, KBGO menempati posisi keempat terbanyak, yakni 52 kasus pada 2021.
“Kasusnya ada, tetapi pasal itu hilang,” ujar dia lagi.
Data kasus YLBHI pada 2021 menunjukkan terdapat 526 tindakan kekerasan seksual dengan korban yang berjumlah 239 orang. Angka tersebut menandakan bahwa terdapat korban yang mengalami lebih dari satu kali kekerasan seksual.
Oleh karena itu, Asfinawati berharap agar Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS)dapat segera disahkan untuk mengatasi situasi darurat kekerasan seksual yang saat ini sedang terjadi di Indonesia.
Baca juga: Kemenkumham: RUU TPKS masuk Prolegnas 2022
Baca juga: PB HMI dorong pengesahan RUU TPKS
“Kasus pemerkosaan ada 66 kasus, itu banyak sekali sebetulnya. Nomor dua terbanyak setelah pelecehan seksual,” kata Asfinawati ketika menyampaikan paparan dalam webinar bertema Indonesia Darurat Kekerasan Seksual yang disiarkan di platform Zoom Meeting dan dipantau dari Jakarta, Kamis.
Akan tetapi, kata dia, meskipun kasus tersebut memiliki jumlah yang signifikan, DPR justru menghapus pasal mengenai pemerkosaan pada Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
Adapun alasan dari penghapusan pasal mengenai pemerkosaan, kata Asfinawati melanjutkan, adalah karena kasus pemerkosaan akan dibahas oleh pembentuk undang-undang saat menyusun Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP).
“Padahal, di dalam undang-undang lain ada undang-undang induk, tetapi juga ada undang-undang khususnya yang tetap bisa direvisi,” ujar mantan Direktur YLBHI periode 2017-2021 ini pula.
Selain bentuk kekerasan seksual berupa pemerkosaan, Asfinawati juga menjelaskan terdapat empat bentuk lainnya yang tidak dicantumkan dalam RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Bentuk-bentuk tersebut meliputi pemaksaan aborsi, pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, serta perbudakan seksual.
Para penyusun rancangan undang-undang juga tidak mencantumkan kekerasan berbasis gender online (KBGO) sebagai bentuk kekerasan seksual yang diatur di dalam RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Berdasarkan jumlah kasus yang ditangani oleh YLBHI, KBGO menempati posisi keempat terbanyak, yakni 52 kasus pada 2021.
“Kasusnya ada, tetapi pasal itu hilang,” ujar dia lagi.
Data kasus YLBHI pada 2021 menunjukkan terdapat 526 tindakan kekerasan seksual dengan korban yang berjumlah 239 orang. Angka tersebut menandakan bahwa terdapat korban yang mengalami lebih dari satu kali kekerasan seksual.
Oleh karena itu, Asfinawati berharap agar Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS)dapat segera disahkan untuk mengatasi situasi darurat kekerasan seksual yang saat ini sedang terjadi di Indonesia.
Baca juga: Kemenkumham: RUU TPKS masuk Prolegnas 2022
Baca juga: PB HMI dorong pengesahan RUU TPKS
Pewarta: Putu Indah Savitri
Editor: Budisantoso Budiman
Copyright © ANTARA 2022
Tags: